Aku semakin bersemangat untuk menyiapkan diriku berbagi kemampuan sulap untuk acara televisi. Semoga tak ada yang kecewa.
JDUK!
Tubuh pria sialan. Pintu ini kecil sekali. Kenapa kau tak membantuku menundukkan kepala?
"Maaf jika pintunya terlalu kecil." Kata Sei. "Nanti akan kubicarakan pada produser untuk mengurus pintu itu."
"Ah, selamat pagi. Aku menunggu kalian sejak tadi..." Kata seorang pria kecil berjas hitam dengan bahasa Jepang, yang kemudian diterjemahkan oleh Sei.
"Sei, bisakah kau tanyakan padanya sejak kapan dia menungguku?" Aku berbisik pada Sei.
Sei kemudian menjawab, "Dia sudah menunggumu sejak 30 detik yang lalu."
30 detik? Orang gila mana yang menganggap 30 detik itu waktu yang lama? Apakah semua orang Jepang begitu gila kerja hingga mengidap OCD?
"Astaga, apakah semua orang Jepang seperti ini?"
"Kami selalu memastikan semuanya sempurna dan terjadwal, bahkan untuk jadwal kedatangan pegawai juga diawasi." Jawab Sei datar. "Pulang terlalu cepat, kau dipecat. Pulang terlalu larut, kau bisa diusir dari kantor tapi hanya diskors untuk beberapa hari."
"Tak heran jika akhirnya setiap pekerja Jepang akan digantikan dengan robot." Gumamku seraya berjalan mengikuti Sei menuju studio. Disana, Sei bercakap-cakap dengan seseorang dalam Bahasa Jepang. Sekali lagi, aku tak paham apa yang diucapkannya. Tapi satu hal yang pasti: aku takkan menggunakan Bahasa Inggris untuk tampil.
Tak lama berselang, sebuah suara bisikan terdengar olehku.
"Magister Draco, waktunya beraksi"
"HIIIIIIIIIIIY!" Karena kaget, aku menampar wajah siapapun di belakangku. Suara hantaman pelan pun terdengar, diikuti oleh suara langkah kaki yang mendadak.
Hingga kemudian aku menoleh ke belakang dan menemukan lelaki berpakaian koki mengusap pipinya kesakitan.
"Astaga, Daikokuten!" Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku, kemudian berbisik. "Kau baik-baik saja?"
"Tamparanmu keras sekali! Lagipula, kau tidak seharusnya melakukan itu." Bentak Daikokuten.
"Kau tidak seharusnya ada disini! Aku akan tampil sebentar lagi!"
"Aku menemanimu untuk menangkap roh jahat. Kau ingat?"
"Disini? Kau tidak lihat aku akan tampil? Tanda "on air" sudah menyala." Aku menunjuk tanda "on air" yang menyala di atas pintu studio.
"Roh jahat tidak menunggu pertunjukanmu selesai. Mistress Beardie diculik." Daikoku menarik lenganku untuk segera pergi. Dengan pasrah, aku mengikuti jalannya karena bagaimanapun juga aku akan terjebak dengannya sampai pekerjaanku dengan roh jahat telah selesai.
"Whoa, Mistress Beardie? Maksudmu, penyanyi pria berjenggot yang crossdress itu? Yang terlihat memiliki dua anak kecil sebagai kacungnya?"
Daikoku mengangguk.
"Mungkin sebaiknya aku harus bicara dulu pada Sei. Dia akan mencariku."
Daikoku melesat pergi, menarik tanganku menuju sebuah cermin.
"Daikoku, itu cermin... ITU CERMIN!"
Aku menutup mata ketakutan. Ketika aku seharusnya menabrak cermin, aku justru tak merasakan apapun. Kubuka mataku perlahan, menemukan diriku mengambang di suatu ruang putih terang benderang dengan sebuah cermin menuju tempat lain. Cermin tersebut menampakkan sebuah penampakan seorang pria berjanggut berpakaian sebagai pelayan sedang ditahan dan disiksa oleh sebuah robot wanita yang sepertinya berada di dalam studio tak jauh dari tempatku akan tampil. Kamera yang menyala menandakan kejadian itu sedang disiarkan di televisi.
"Robot yang memberontak? Tapi, bukankah seharusnya mereka sudah diprogram?" Aku menunjuk robot tersebut.
"Perhatikan lebih dekat. Apa lagi yang kau lihat?" Daikoku menegaskan insiden di dalam cermin.
Aku memicingkan mataku, menyadari bahwa robot itu memiliki aura kehitaman. Aura kehitaman itu merasuki setiap orang di dalam studio tersebut, mengubah mereka menjadi sekelompok manusia beringas di bawah perintah sang robot.
Aku meneguk ludah. Tugas ini akan jauh lebih berat untukku, bahkan sebagai tugas pertamaku. Tanpa kemampuan bertarung atau senjata perang, aku akan tak berdaya.
"Daikoku, kau bisa panggil Benzaiten untuk siapkan seragamku?"
"Kau baik-baik saja dengan kemeja itu. Kenapa harus ganti pakaian?" Daikoku mengangkat bahunya.
"Halo, kita sedang berada di MEDAN PERANG! Tentu saja aku akan butuh seragam dan senjata!"
"Kau perlu senjata? Ini senjatamu." Daikoku memberiku dua pak kartu remi, kemudian menjentikkan jarinya dan menghilang menjadi kerlap-kerlip cahaya. Tak lama kemudian, secercah cahaya menampakkan diri kembali. Kali ini, Benzaiten yang menghampiriku.
"Sebentar, kartu remi?" Aku menatap kartu-kartu tersebut kebingungan.
"Tak ada waktu menjelaskan. Aku siapkan seragam pahlawanmu setelah kita keluar dari sini." Benzaiten tersenyum, kemudian mendorongku dengan kuat menuju cermin yang tampak seperti portal itu.
Aku menutup mataku ketakutan, namun setelah kubuka mataku kembali, aku sudah berada di lokasi kejadian. Hanya pakaianku sudah berbeda-Hampir serba putih. Rambutku juga terasa berbeda. Entah apa tadi aku menata rambutku dahulu.
"Bagaimana penampilanku?" Tanyaku kepada cermin tak berbayang. Tak mampu melihat seperti apa pakaian yang diberikan Benzaiten kepadaku.
"Bicaranya nanti saja. Pergilah!" Daikoku mengisyaratkan tangannya agar aku segera pergi ke studio. Sesampainya disana, si robot gila menyambutku dengan sekerumunan penari latar yang tampak seperti monster di seri film Parasyte dan Venom bergabung jadi satu iblis yang mengerikan.
Aku meneguk ludah, kemudian mengambil beberapa lembar kartu. Menatapnya dengan bingung.
"Harus kuapakan kartu-kartu ini?" Gumamku.
Sebuah suara wanita di dalam headphone yang terpasang di telingaku berkata, "Kartu-kartu itu kurancang agar kau bisa membuat kipas-"
Belum selesai Ia bicara, satu iblis datang menghampiriku hingga aku melempar selembar kartuku padanya. Seiring aura kegelapan monster tersebut menghilang, Ia berubah kembali menjadi penari latar yang kini tak sadarkan diri.
"...atau kau bisa melemparnya begitu saja."
Robot gila yang menyandera Mistress Beardie kini membawa pria itu sambil merayap ke langit-langit bak laba-laba. Lebih banyak monster berdatangan, namun kali ini dari para juru kamera.
"Kipas, Marie. Kipas!" Sahut suara wanita di dalam telingaku.
Kusatukan beberapa lembar kartu yang masih ada ditanganku membentuk sebuah kipas. Secara ajaib, lembaran kartu tersebut menampakkan gerigi tajam.
Aku menatap dengan terpana, hingga terlintas dari sudut mataku, pria berjanggut itu terjatuh dari langit-langit.
"AKU DATANG!" Aku berlari dengN kedua tangan di belakangku, lalu melompat untuk meraihnya dan mendarat dengan keren.
"Lompatanmu tinggi sekali, dan matamu sangat menawan." Ucap pria itu.
"Uhm...benarkah? Terima kasih, Mistress Beardie." Aku tersipu malu. Entah berapa lama aku tak mendengar pujian seperti itu dari orang lain.
"Sebentar, dimana mikrofon emasku?"
"aduh!" Sesuatu terjatuh di atas kepalaku, yang kemudian aku tangkap. "Ah, ini dia."
"DI BELAKANGMU!" Mistress Beardie terperanjat dan berdiri mengingatkanku.
Tanpa sadar, aku memiting monster di belakangku, menendangnya dan memusnahkannya dengan kipas kartuku, lalu melempar beberapa lembar kartu pada monster lainnya.
"Astaga, apa yang baru saja aku lakukan?" Gumamku.
Robot yang kerasukan itu pun akhirnya melompat ke arahku, yang kutangkis hanya dengan kedua tanganku. Aku pikir takkan sakit tapi ternyata robot itu menendang dengan kuat. Tanganku serasa akan patah. Kartuku kini hanya tersisa kartu berwajah yang entah apa gunanya.
"Gunakan kartu Ratu untuk memanggil benda mungil yang kau butuhkan." Bisik sebuah suara di dalam kepalaku.
"Benzaiten?" Aku mencoba mengenali suara itu. Aku tak tahu apakah itu akan berhasil namun aku hanya bisa berharap aku mendapat benda yang cukup membantuku.
"I summon Queen of Hearts!"
Sinar cahaya memancar dari kartu yang aku angkat ke atas. Sinar itu terlalu menyilaukan, sehingga aku menggenggamnya dengan kedua tanganku agar cahaya itu meredup. Ketika kubuka tanganku, bukan lagi selembar kartu yang ada di genggamanku, melainkan sebuah jepit rambut berwarna merah jambu.
"Pasangkan pada rambut robot itu."
"Kau gila? Robot itu bisa membunuhku dan aku memasangkan jepit rambut di rambutnya?"
"Percaya saja padaku."
Ini ide dan kekuatan kartu paling tak masuk akal yang pernah ada, terutama robot itu sedang menghampiriku dengan kecepatan tinggi.
"Berhenti!" Aku mengisyaratkan tanganku pada robot itu untuk berhenti. "Kau tampak seperti robot pembawa berita yang baik. Bolehkah aku menghias rambutmu?"
Robot itu pun berhenti sejenak, membiarkan aku menyematkan jepit rambut merah jambu pada rambutnya yang pirang, lalu melangkah pergi seakan tak ada yang terjadi.
KA-BOOM!
Tanah bergetar, aku sedikit terpeleset karena getaran tersebut. Namun tetap berjalan santai membelakangi ledakan. Benar, aku harus tetap terlihat keren. Jika sifatku tampak mencurigakan, lebih banyak musuh yang akan mengincarku.
Sementara aku berjalan dan berdiri membelakangi cermin yang berada di ruang rias tak jauh dari studio, Mistress Beardie menatapku terpana.
"Kau tampak keren, dan kau menyelamatkanku. Terima kasih telah menyelamatkanku." Pria berjanggut tebal itu memelukku erat hingga aku sulit bernafas.
"Ya...aku...hah...hah..." Nafasku terengah-engah karen sesak.
"Ah, maafkan aku. Aku sampai lupa bertanya. Siapa namamu? Aku berharap bisa sedikit membantumu sebagai tanda terima kasihku."
Berdiri membelakangi cermin, aku membungkuk padanya dengan anggun.
"Magister Draco The Dazzling Joker, at your service."
Tiba-tiba, sepasang tangan seakan merenggut pundakku dan menarikku ke dalam cermin. Dalam kedipan mata, aku sudah ada di studio tempat diriku seharusnya tampil. Aku kembali mengenakan kemeja yang tadi kubeli dari toko.
"Marcus, kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi." Ucap Sei kesal.
Berpikir Marie. Katakan sesuatu yang benar dan baik... Ucapkan sesuatu.!
"Maaf, Sei. Tadi Mistress Beardie diculik oleh robot yang kerasukan roh jahat di studio sebelah jadi aku mampir dulu. Kau berbincang lama sekali dan aku tak paham ucapanmu."
Kenapa aku malah berkata jujur? Apa dia akan percaya?
"Baiklah, maaf jika aku meninggalkanmu terlalu lama." Sei membungkuk tanda maaf.
"Tak usah begitu. Wajah tampanmu tidak terlihat, padahal kau tampak manis jika tersenyum."
Sial, kenapa aku malah berkata seperti itu?
Baiklah, dia memang manis, tapi kenapa malah jadi seperti menggoda? Tubuh ini meracuni pikiranku!
Oh, tidak. Wajah Sei memerah, dia malu. Atau dia akan marah besar.
"Cukup. Sekarang cepat naik panggung!" Sei mendorongku ke panggung dengan tubuh kecilnya.
Selanjutnya aku tampil di panggung seperti biasa, namun dengan semua dorongan impulsif yang tiba-tiba ini, aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Seusai aku tampil di panggung, kami berdua hanya terdiam dengan canggung hingga Sei mengantarku pulang.
Entah bagaimana, Sei tahu dimana letak apartemenku.
"Sei, terima kasih sudah mengantarku pulang. Kau sudah baik sekali." ucapku pada Sei di depan pintu.
"Sama-sama. Aku akan menantimu untuk menjalani lebih banyak penampilan hebat seperti tadi." Lelaki bersurai keperakan itu tersenyum padaku dan memainkan pena yang ada di tangannya.
Bagus, sekarang waktunya mengucapkan perpisahan sebagai mana seorang pria.
"Seira Yoshii...kimi to boku...your house...tomorrow..."
APA YANG BARU SAJA KUKATAKAN?!
Apa aku baru saja mengedipkan mata? Jangan...balas...kedipanku...
"ah...baiklah. Aku tunggu jam 8. Jangan terlambat." Sei tersenyum padaku, lalu membalas kedipan mataku.
Bagus, aku baru saja mengundangnya membuat adegan porno Jepang.
"Terlambat? Kita kan berangkat bersama..."
Oh, tidak. Aku baru saja mengucapkannnya dengan nada manja.
APA YANG BARU SAJA TERJADI PADAKU?