"Aku...ingin...menjadi..."
.
.
.
Hah...hah...hah...
Apa yang terjadi?
Aku...berubah kembali?
Bagaimana...
Apakah aku baru saja bermimpi menjadi seorang lelaki yang mendapat panggilan untuk menyelamatkan dunia?
Dengan kondisi kutukan yang memakanku hidup-hidup dan menyiksaku dengan menghapus ingatanku, aku tak bisa berbuat apa-apa...kecuali menanyakannya jauh di awang-awang.
Terbangun dari tidurku, aku berjalan menuju balkon dan duduk meringkuk di sebuah kursi malas sembari menatap cakrawala. Menanti sang mentari memancarkan keindahannya. Tak lama berselang, seorang gadis dengan jubah merah jambu datang menghampiriku.
"Boleh aku duduk disini?" tanya wanita itu.
"Ya, Benzaiten. Tentu saja." aku mempersilakan sosok wanita bernama Benzaiten itu untuk duduk bersamaku. Secara tidak sadar aku menyebut namanya, seakan aku pernah mengenalnya.
"Soal kemarin, kau sempat lepas kendali, jadi kami harus berusaha mengubahmu kembali." tuturnya.
"Maksudmu tak terkendali?" Aku mengernyitkan dahi, penasaran tentang apa yang sebelumnya terjadi.
"...aku tak bisa menjelaskannya..." wajah Benzaiten berubah merah dan memainkan jarinya.
Astaga, jangan bilang aku menghamilinya. Jangan sampai aku menghamilinya...
Aku melirik tempat tidurku, yang entah bagaimana ada sebungkus permen kunyah yang panjang di atasnya.
Tiba-tiba...
"LOOOONG, LOOOONG, MAAAAAAAN!"
Musik terompet yang romantis terdengar entah dari mana. Kucari sekelilingku, ternyata bersumber dari seorang pria yang berpakaian seperti Buddha.
"HOTEI!"
Permainan terompet itupun terhenti. Hotei menatap cengo dan berkata, "I-itu idenya Fukurofuju. Aku bersumpah."
"...apa?"
TING TONG!
SIAPA LAGI YANG MEMBUNYIKAN BEL DI PAGI BUTA SEPERTI INI?!
"SIAPA KAU?!" teriakku menggunakan suara terdalam hingga terdengar seperti suara laki-laki.
"Marcus, ini aku!" jawab seorang lelaki dari seberang pintu. Aku mengenal suara itu.
Ya, itu suaranya Sei.
...Yoga anjing.
"Kita akan tampil untuk fans di Yokohama. Kita harus cepat sebelum ketinggalan kereta."
...sialan. Apa cara tercepat untuk bunuh diri?
Fukurofuju sudah memegang alat berbentuk kotak perhiasan aneh di tangannya, kemudian memutar tuasnya dengan sigap.
Tiba-tiba, perutku merasakan sakit yang tak tertahankan.
"SEBENTAR, AKU MASIH DI TOILET!" sahutku dengan suara seperti tadi.
"uhm, baiklah. Aku tunggu di luar..." balas Sei dari luar pintu.
Rasa sakit itu kemudian menyebar ke sekujur tubuhku, diikuti rasa panas yang terbakar hingga aku harus merobek bajuku. Satu-satunya lembaran kain yang membalut tubuhku hanyalah sebuah celana pendek berbahan spandex berwarna hitam yang bisa meregang jika sesuatu hal seperti ini akan terjadi lagi.
KRAK!
KRAK!
KRETAK!
Demikian suara tulang belulang yang bergemeretak disertai kejang otot yang membuatku meringkuk karena sekarang dadaku juga sudah rata seperti papan. Dalam diam, aku menahan sakit dan menjaga mataku tetap terpejam agar tidak kaget hingga mengakibatkan lebih banyak rasa sakit yang timbul.
Setelah menahan sakit selama lima menit, kejang dan gemeretak itu pun berhenti. Hingga tiba-tiba...
"OOOOOOOOH, AAAAAAH!"
Ada sesuatu yang terasa seperti sedang terdorong keluar dariku. Namun itu tak terasa seperti rasa sakit, namun cenderung menggelitik dan terasa lega. Perasaan aneh seperti ketika dirimu berhasil buang air besar.
Napasku terengah-engah, namun aku berusaha berdiri dengan tenagaku yang entah bagaimana telah pulih dengan cepat. Mencoba mencari tahu kembali caraku berjalan, aku memulai langkah demi langkah dengan mantap dan membuka pintu.
Tampak Sei sudah menungguku di ambang pintu dengan papan dada dan pena di tangannya. Entah bagaimana ketika aku menatap matanya, aku seperti sedang menatap matahari yang bersinar. Wajahnya selalu membuatku tersenyum.
Cukup dengan monolog itu, Marie. Pikirkan sesuatu untuk mengungkapkan perasaanmu padanya!
"...Halo, Sei."
"...apa dia baru saja bilang "Halo, Sei"? " bisik Ebisu pada Fukurofuju.
"Halo, Marcus. Kau masih belum memakai bajumu?" balas Sei datar, "Cepat pakai bajumu. Kita akan sarapan dulu sebelum ke stasiun kereta. Aku akan menunggumu di luar apartemen.
"Stasiun kereta?" Aku memicingkan mataku bingung. Terlebih lagi karena Sei tak menanggapi apapun tentang pakaian yang sedang kukenakan dan pemandangan kamar yang berantakan. Ini terdengar aneh karena aku tak ingat apapun tetapi aku mengharapkan seseorang berteriak atau menatapku dengan rasa malu. "T-tunggu aku!"
Aku bergegas mengenakan kemeja putihku, kemudian berlari menyusulnya hingga kami berdua bertemu di dalam lift.
Sei hanya melirikku dan kembali menatap kekosongan, lalu berkata, "Hari ini kita akan menjemput Aizen Kisaragi dari stasiun. Aku harap dari kolaborasimu dengan seorang idol asli Jepang kita bisa membicarakan karir yang berjalan panjang."
Aizen...
Lagi-lagi, nama yang seakan pernah kukenali...
"Aizen...yang mana?" Aku memiringkan kepalaku mencoba memutat otakku yang sedang kosong pagi ini.
"Kau bercanda, 'kan?" Sei mencibir bibirnya, "Aizen Kisaragi yang sejak dulu sangat ingin kau temui. Kau banyak bercerita kalau dia idolamu dan kau suka semua gerakan menarinya yang selalu tepat dan tanpa cela, juga kepribadiannya yang cakap dan cerdas."
"Aku...pernah bilang begitu?"
"Satu lagi: kau bilang dia punya hobi menguntit orang, yang entah bagaimana membuatmu lebih menyukainya."
"Menguntit orang? Aku tak suka orang menguntit-maksudku, apa aku seputus asa itu mencari perhatian orang lain?"
Sei menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu mengangguk dan berkata, "Ya. Kau tampak seperti Sekuhara dari caramu berpakaian."
"Sei, sebaiknya kau tarik ucapanmu. Aku tak tahu apa artinya tapi aku tahu kau menghinaku."
Pertama Gaijin, sekarang Sekuhara. Entah hinaan Bahasa Jepang apa lagi yang akan dilontarkannya selagi aku tak paham apapun yang dikatakannya.
"Kau butuh lebih banyak motivasi. " ucapnya datar.
Aku tak butuh motivasi sebanyak dirimu, Sei. Kau butuh waktu liburan.
Sambil memutar bola mataku dengan perasaan kesal yang mengganjal, kami menghabiskan waktu di lift dan perjalanan dengan diam seribu bahasa. Permainan diam ini terus terjadi hingga kita selesai sarapan dan berkendara menuju sebuah stasiun kereta. Kami berdiri menunggu sebuah kereta untuk berhenti. Tak seorangpun datang menyambutnya kecuali kami berdua hingga sebuah kereta cepat berwarna putih berhenti dan pintu kereta memuntahkan puluhan hingga ratusan penumpang di dalamnya. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki bersurai biru langit yang poninya dibelah ke kiri dan rambutnya diikat separuh datang menghampiriku. Seperti Sei, wajahnya cukup datar. Yang berbeda hanyalah mata birunya yang menatapku penasaran. Sebagai seorang lelaki yang suka menguntit orang lain, dia justru terlihat lebih ramah dari yang asistenku katakan.
"Kau pasti Marcus Thomas Flynn. Aku Aizen Kisaragi." Lelaki bernama Aizen itu mengulurkan tangannya. "Aku dengar kau salah satu penggemar setiaku. Aku cukup tersanjung."
Astaga, bahkan sang idola sendiri telah bersabda. Aku masih menatap tangan Aizen yang sangat mulus dan tubuhnya yang cukup ideal, lalu melihat tanganku sendiri seraya menjawab panggilannya untuk bersalaman-tanganku yang besarnya melebihi tangan mulusnya. Aku hanya bisa berharap tubuh lelaki yang besar ini tidak membuatnya menjerit ketakutan dan kesakitan karena aku meremas tangannya dengan kuat.
"Kisaragi-san, mobilnya ada disini. Ayo ikut aku." Sei mempersilakan Aizen untuk ikut dengan kami menuju mobil sedan putih yang diparkir di depan stasiun kereta tersebut. Aizen kemudian duduk di kursi sebelah pengemudi dan aku duduk di belakangnya sementara Sei berkendara menuju tempat yang ditentukannya.
Jika kalian berpikir berada satu mobil dengan seseorang tak dikenal yang ternyata adalah idola kalian serasa di surga, maka jawaban kaian salah. Anggap saja, kalian bertemu dengan seseorang yang kalian sukai tapi kalian bahkan tak tahu jika orang itu akan menyukai kalian atau membalas sapaan kalian. Disini akan menjadi alasan sempurna untuk tak terlalu menyukai sesuatu dan berharap setinggi langit-kalian akan mudah terjatuh, dan semakin besar harapan itu semakin sakit juga jatuhnya.
Masalah yang lebih parah adalah: aku bahkan tak mengingat sosok lelaki yang kaku ini pernah menjadi idolaku, ditambah banyaknya suara yang mengisi kepalaku dan itu bukan suaraku sendiri-melainkan suara lima dewa yang saling bersahutan dan sling beradu mulut.
Hingga akhirnya, sebuah suara yang terdengar berat, tenang dan parau bergema di telingaku berkata, "Waspadalah pada Aizen."
Lalu suara berisik itupun berhenti. Tak ada lagi yang mengganggu isi kepalaku.
Langit yang cerah berubah mendung seiring kami bertiga keluar dari mobil yang berhenti di sebuah taman bermain. Puluhan orang datang dan pergi, lampu jalan seribu warna berkelap-kelip menghiasi taman bermain yang meriah itu. Ornamen berbentuk bitang dan galaksi memperindah pemandangan gapura degan loket yang penuh antrean, menjajakan tiket masuk pada setiap pengunjung.
"Sei, kau akan urus peralatannya. Marcus, kau akan ikut aku berganti pakaian di belakang." Aizen tiba-tiba memegang tanganku dan membawaku ke lorong bercabang dua dengan toilet di satu ujung dan akses kebelakang panggung di ujung lainnya. Kami berjalan menuju lorong yang mengarah ke toilet, aku yang berada di belakangnya langsung menutup pintu.
Lampu terus berkedip. Aku tak menemukan Aizen disana, meskipun tadi aku pergi bersamanya. Bulu kudukku berdiri seiring aku terus menyebut namanya dan mengecek bilik demi bilik, berharap Aizen tak meninggalkanku disana.
"Aizen, ini tidak lucu. Jangan menakutiku seperti ini."
Tepat saat aku menyentuh kenop pintu toilet...
"Dimana gadis itu?"
sebuah suara lelaki yang parau menggema di seluruh ruangan seiring lampu toilet terus berkedip dengan tidak sewajarnya.
Aku berbalik ke arah suara itu. Sosok Aizen kini tampak menyeramkan dengan mata yang berubah kunig menyala dan percikan listrik yang keluar dari kedua matanya.
"Dengar, aku tak tahu gadis mana yang kau maksud. Bisakah kita pergi saja?" Tubuhku gemetar, berusaha untuk kembali meraih kenop pintu toilet dan segera keluar dari sana. Namun Aizen dengan ajaibnya mengeluarkan petir dari ujung jemarinya, hampir menyetrum tanganku dengan percikan listriknya yang menjalar ke pintu toilet hingga meninggalkan bekas berwarna kehitaman.
"Kau tahu persis gadis yang mana," Kata Aizen yang kini wajahnya memiliki bercak kebiruan yang menyala. "Gadis yang kukutuk agar mati perlahan, mengirimmu sebagai penjaganya untuk menyabotase rencanaku!"
Aku masih tak paham apa yang Aizen katakan tapi gadis itu terdengar akrab di telingaku.
"Dengar. Pertama: aku masih tak paham maksud pembicaraanmu, kedua: aku bahkan tak tahu rencana apa yang ada di pikiranmu hingga aku mau menyabotasenya, dan ketiga: kenapa dengan penampilanmu yang seperti Pikachu berwarna biru itu?"
"Percuma jika aku akan menjelaskannya padamu. Para dewa itu akan membuatmu melupakannya di esok hari. Tapi akan kuberikan satu hal yang akan kau ingat," Aizen melesat bagai kilat dan mencekik leherku hingga memojokkanku di dinding toilet. "Namaku Susano'o, Dewa Petir dan Halilintar. Aku ada dimana-mana, dan aku akan terus menghantui hingga di dalam tidurmu sampai gadis itu aku temukan."
Cengkeraman lehernya sagat kuat, aku menendang kepalanya agar aku bisa melepaskan diri. Namun kepalanya putus, meninggalkan potongan kabel yang terburai dari lehernya.
Aku masih tak mempercayai yang kualami tadi hingga Sei mendobrak pintu toilet pria.
"Marcus, syukurlah kau baik-baik saja." Kata Sei panik. "Dimana Ai—whoa..."
Sei ikut terpaku melihat penampakan Aizen yang kepalanya putus. Matanya terbelalak seraya berkata, "Selama ini, Aizen Kisaragi itu... Android?"
Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepadanya, namun dengan kondisi saat ini aku khawatir jika Sei tak mampu menerimanya atau justru membuatnya dalam bahaya. Aku tak tahu apa yang direncanakannya, tapi cepat atau lambat Susano'o akan melakukan apa saja untuk membunuhku.
SoniCanvas sedang ulang tahun, jadi beberapa chapter yang sudah ada di Wattpad akan dipublish kesini.
setlah chapter berikutnya yang akan dirilis besok, saya akan merilis satu chapter per bulan...kalau tidak lupa.
Terima kasih pada kalian yang memberi vote. Meskipun belum ada ulasan atau komen, saya berharap bisa mendengar suara kalian para pembaca agar saya bisa berkembang jadi lebih baik lagi.