1 Amoa

Mo tergera-gesa memasangkan tas rangsel dipunggungnya, begitu bel pulang berbunyi. Tanpa menghiraukan teman-teman yang menatapnya bingung, Moa bergegas keluar kelas. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergerak ke kanan, dan ke kiri saat ia berlari menghampiri Mas Bayu, tetangga yang bekerja sebagai tukang ojek, dan diminta kedua orang tuanya untuk mengantar jemput Moa ke sekolah, maupun ke tempat les. Kesibukan kedua orang tua Moa sebagai pedagang di pasar, membuat mereka harus berangkat pagi-pagi sekali sebelum Moa berangkat sekolah, dan pulang petang saat Moa sudah berada di rumah. Sebagai anak tunggal, Moa sangat dimanja kedua orang tuanya. Mereka menjaga Moa seperti menjaga sebongkah berlian. Tidak akan membiarkan sang anak berada di luar pengawasan mereka. Selama 17 tahun ia hidup, Moa bahkan belum pernah sekalipun merasakan yang namanya kencan. Kedua orang tuanya dengan tegas melarang gadis itu berkencan. Setiap teman laki-laki yang mencoba mendekati Moa, akan perlahan mundur begitu mendatangi rumah sang gadis. Moa yang merasa hidupnya terlalu terkekang berkeinginan untuk menikmati masa remaja dengan bebas. Ia yang bahkan tidak pernah sekalipun jauh dari kedua orang tuanya, nekat mendaftar di salah satu universitas terbesar di negeri paman sam yang berlokasi di Manhattan, New york. Bak gayung bersambut, applikasinya di terima, dan dia akan segera menjadi salah satu mahasiswa di Universitas ternama tersebut.

"Ayo cepatan Mas." Pinta Mo, setelah memasang helm ke atas kepala. Ia segera menaiki boncengan motor Mas Bayu.

"Emang habis ini mau ada les lagi?" tanya Bayu sambil menoleh ke belakang, memastikan Moa sudah duduk dengan nyaman di boncengannya. Moa menggeleng.

"Engga Mas. Mo cuma pengin cepet-cepet sampai di rumah. Udah lapar." Alasan yang diberikan Moa untuk membuat Bayu diam, dan segera menuruti keinginan gadis tersebut.

"Pegangan." Perintah Mas Bayu sebelum memutar gas di tangan kanannya. Motor matik itu melaju cukup kencang. Moa berpegangan pada sisi samping jaket pria 28 tahun tersebut. 15 menit mereka tiba di depan rumah besar tak berpagar yang sudah Moa tinggali selama 17 tahun. Rumah yang berada di salah satu desa yang terletak di Semarang Barat, Jawa tengah itu terlihat lebih besar dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Meskipun begitu, rumah itu tidak berpagar, karena memang seperti itulah rumah di pedesaan dengan warga yang masih saling mengenal satu persatu tetangga dengan baik. Baru saja Bayu menekan rem, Moa sudah meloncat turun, lalu buru-buru melepaskan helm yang dia pakai. Moa memberikan helm tersebut ke tangan Bayu.

"Lapar banget ya, Mo? nggak sabaran amat." Moa hanya meringis, lalu melambaikan tangannya.

"Makasih Mas Bayu. Jangan lupa jemput Mo besok pagi." Bayu tertawa.

"Yo pasti. Mas masih ingat kalau besok baru hari jumat. Belum waktunya Mas terima gaji dari Mama kamu." Celoteh Bayu yang sudah tidak didengar Moa, karena gadis itu sudah melesat masuk ke pekarangan rumahnya. Bayu memang dibayar seminggu sekali setiap hari Sabtu, untuk bantuan pria itu mengantar jemput Moa ke sekolah, dan juga tempat les.

Setelah masuk ke dalam rumah, Moa segera berlari menuju ke kamar. Mbok Miyem yang baru saja memasukkan pakaian yang sudah selesai ia setrika ke dalam lemari pakaian Moa, terlonjak kaget begitu pintu kamar terbuka.

"Aduh non Mo, ngagetin simbok aja." Moa meringis, merasa bersalah sudah membuat wanita 40 tahun di hadapannya mengelus dada karena kaget.

"Maaf Mbok … Mo nggak tahu ada Simbok di dalam."

"Ya sudah, simbok siapin dulu makan siangnya." Kata perempuan paruh baya tersebut, sebelum berjalan ke luar kamar Moa. Moa melepas, kemudian melempar tas rangsel ke atas ranjang begitu saja. Ia bergerak cepat menghidupkan laptop yang terletak diatas meja belajarnya. Wajah gadis itu cerah dengan senyum mengembang. Ia bahagia setelah mengetahui bahwa dirinya di terima di New York University. Sekarang, dia harus mulai mencari tahu tentang seluk beluk kota tersebut, juga mencari flat untuk ia tinggali saat menuntut ilmu di sana. Ia memiliki waktu 3 bulan untuk mempersiapkan semuanya, sebelum berangkat ke negara adi kuasa tersebut. Impiannya untuk hidup mandiri, tanpa kekangan kedua orang tua akan segera terwujud. Sebentar lagi. Ia kembali tersenyum menatap layar di hadapannya. Tangan lincah itu bergerak cepat menggulir kursor. Memperhatikan apa yang layar didepannya tunjukkan.

"Woah … welcome New York." Gumam Moa. Suara ketukan di pintu membuat gadis itu menoleh.

"Makan siangnya sudah siap Non." Suara mbok Miyem terdengar.

"Iya Mbok … sebentar lagi Mo keluar. Makasih Mbok." Teriak Moa tanpa beranjak dari tempat duduk. Ia masih ingin meliat apa saja yang di tawarkan kota New York kepadanya saat nanti ia sudah berada di sana. Kedua orang tuanya belum tahu tentang ia yang mendaftar di Universitas, dengan jarak belasan ribu kilometer dari tempat mereka tinggal sekarang. Orang tuanya meminta dia mendaftar di Universitas Diponegoro, universitas negeri yang ada di Semarang. Ia hanya mengangguk waktu kedua orang tuanya menyuarakan keinginan mereka, tanpa melakukannya. Mama dan Papanya pasti akan terkejut saat ia memberi tahu tentang Universitas New York. Dia masih belum bisa menebak reaksi seperti apa yang akan terlihat dari kedua orang terkasihnya tersebut. Sang Mama … apakah akan menangis lalu melarangnya pergi? Moa menggeleng. Tidak, Mamanya tidak boleh melarang keinginan Moa untuk sekolah di tempat itu. Lalu, bagaimana dengan sang Papa? Apa Papa akan menahannya untuk pergi juga? Moa mendesah, pikirannya membuat ia menjadi gusar sendiri. Sepertinya dia harus segera membicarakan masalah itu dengan kedua orang tuanya. Moa menghela nafas panjang. Beranjak dari kursi tempat ia duduk, kemudian bergerak menuju lemari pakaian. Ia akan mengganti baju sebelum keluar untuk makan siang. Dia memang harus segera mengisi perut yang sudah keroncongan.

***

Moa melirik kedua orang tuanya dari garis atas mata yang tidak selebar orang jawa pada umumnya. Tentu saja karena sang Mama adalah keturunan Tionghoa. Sang Mama menikah dengan Papanya yang orang Jawa asli. Kisah cinta mereka tergolong unik jika diceritakan.

Mereka bertiga sekarang sedang menikmati makan malam. Moa sudah bersiap untuk memberitahu keduanya mengenai dia yang diterima di Universitas New York. Ia menyuap nasi dengan perlahan. Dilihatnya sang Papa sudah meletakkan sendok, dan garpu ke atas piring dengan posisi terbalik. Tanda sang Papa sudah selesai menikmati makan malamnya. Lalu lirikannya beralih ke piring sang Mama. Sebentar lagi, batin Moa. Sebentar lagi sang Mama juga akan menandaskan isi dalam piringnya. Lalu ia melihat kearah piring di hadapannya. Masih setengah. Ia terlalu fokus merangkai kata untuk membuka percakapan, sehingga melupakan isi piringnya sendiri. Moa mulai mempercepat kunyahan, menelan bahkan sebelum kunyahan tersebut benar-benar halus. Biarkan ususnya bekerja sedikit lebih keras kali ini.

Moa mendesah lega, begitu isi piringnya tandas bersamaan dengan sang Mama yang membalik sendok dan garpu yang ia pegang. Moa meraih gelas berisi air putih, kemudian meneguknya hingga setengah. Ia perlu membersihkan kerongkongan sebelum memulai percakapannya.

"Pa … Ma … "Moa menatap kedua orang tuannya secara bergantian. Sang Papa meletakkan cangkir teh di tangan. Kebiasaan sang Papa setelah selesai makan malam, pria itu selalu menikmati satu cangkir teh panas. Pandangan mata sang Papa sudah teralih sempurna ke arah Moa. Begitupun sang Mama yang sudah menunjukkan ketertarikan untuk mendengarkan sang putri. Mereka memang seperti itu. Selalu berusaha memberikan perhatian pada putri tunggal mereka, setiap saat mereka memiliki waktu. Keduanya sudah cukup menyadari kesibukan mereka sebagai pedagang membuat waktu kebersamaan mereka berkurang. Jadi sekalipun lelah, saat sang putri ingin berbicara, mereka akan dengan senang hati mendengarkannya.

"Ya … "sang Papa bersuara. Moa mendadak grogi. Jari-jari tangannya terjalin di depan dada. Ia menatap gelisah kedua orang tuanya. Sang Mama sudah menaikkan kedua alis yang tidak seberapa tebal itu, seolah meminta Moa untuk segera berbicara.

"Mo mau omong, tapi Papa sama Mama janji jangan marah ya?" Alis sang Papa berkerut.

"Apa yang mau Mo katakan? "

"Tapi janji dulu jangan marah." Kedua orang tuanya saling melempar pandang, kemudian sama-sama mengangguk. Mereka berdua seperti punya telepati hingga tak perlu bicara sudah tahu yang di maksud pasangannya.

"Mo … ketrima … kuliah …di … N … Y … U." Moa mengatakannya pelan-pelan sambil menatap sang Papa, dan sang Mama secara bergantian. Kedua orang tuanya kembali saling pandang, kemudian bersama-sama menggeleng. Mereka berdua memang benar memiliki telepati, batin Mo.

"Kami tidak paham. Apa itu tadi N …?" tanya sang Papa dengan alis berkerut.

"New … York … University." Kembali Moa mengucapkannya dengan pelan. Mata sang Mama langsung mengerjap berkali-kali. Ia menatap sang suami.

"New York? itu bukannya di Amerika ya, Pa?" tanya sang Mama pada Pak Amir Suteja, suaminya. Sang suami mengangguk, lalu secepat kilat beralih fokus kearah sang putri yang mengangguk dengan ringisan di wajah oval gadis itu. Sang Papa memajukan tubuh besarnya ke depan.

"Benar … Amerika?" tanyanya tidak percaya. Moa mengangguk mantap.

"Bukannya kamu mau daftar ke Undip? setahu Papa Undip itu di Semarang, bukan di Amerika." Moa menarik bibir tengahnya ke atas.

"Undip memang di Semarang Pa. dari dulu belum pindah tempat. Tapi ini Mo ngomong soal Universitas New York." Kening sang papa masih berkerut.

"Mo daftar ke NYU, dan ketrima. Itu universitas besar Pa … Ma … nggak gampang masuk ke sana. Mama sama Papa harus bangga dong." Moa menarik nafas panjang.

"Jadi … Mo mau kuliah di Amerika." Kalimat yang membuat mulut kedua orang tuanya menganga tak percaya. Selama ini mereka menjaga sang putri agar tetap berada dalam jangkauannya. Mereka tidak bisa membayangkan melepas putri mereka sendirian di negri orang, tanpa ada pengawasan.

avataravatar
Next chapter