webnovel

Yang Terbaik | Pukul 08.00

Biasanya rutinitas pagi para pengusaha besar sebelum melakukan aktivitasnya adalah bersantai dengan ditemani kopi atau teh. Seperti yang dilakukan oleh Wilan. Pagi ini, di ruang tengah, dia bersantai dengan ditemani secangkir teh. Satu kakinya bertumpu ke kaki yang satunya lagi. Pandangannya lurus ke depan. Menatap lukisan besar di dinding. Itu adalah lukisan kesayangan Ibunya. Konon katanya, lukisan itu adalah hadiah Anniversary pernikahan yang pertama. Ibunya memang penggemar lukisan sejak masih remaja. Dan itu terlihat di dinding-dinding rumah. Beberapa lukisan masih terpasang rapi.

"Selamat pagi."

Sapa Gino begitu turun dari tangga dan melihat Ayahnya sedang duduk bersantai, sendiri.

"Aku pergi dulu."

Karena tidak ada jawaban dan sikap Wilan begitu dingin. Gino memilih pergi. Lagi pula dia juga malas kalau seandainya harus berdebat dengan Papanya pagi-pagi.

"Gino. Papa mau bicara."

Baru dua langkah berjalan, tapi dia harus kembali dan duduk di sebelah Wilan.

"Aku nggak punya banyak waktu. Aku harus berangkat kuliah."

"Kamu nggak akan terlambat."

Sebelum memulai obrolan, Wilan melihat leher Gino yang terluka. Goresannya memang cukup panjang. Bahkan masih terlihat merah. Karena Gino tidak mengobatinya sama sekali. Memberinya obat merah saja tidak dia lakukan.

"Lehermu kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa. Cuman ke gores aja."

"Gino, dengar. Kamu ini kan sudah dewasa dan bisa buat keputusan sendiri..."

"Tapi?!" Gino memotong pembicaraan Papanya. Dia menjawab tanpa melihat Wilan. Karena sudah paham betul arah pembicaraan Papanya ke mana.

"Tapi, saat kamu bilang kamu akan berubah, kamu malah kayak gini. Kayak anak nggak punya aturan."

Gino mulai mengepalkan tangannya. Tapi dia tetap berusaha untuk tenang.

"Kamu jarang pulang ke rumah. Kamu tinggalin meja makan begitu saja. Padahal kita semua lagi kumpul."

"Pa..."

"Nilai-nilai mu juga selalu jelek."

"Dari kecil Papa selalu nuntut. Gino ini Gino itu. Gino harus begini, Gino harus begitu."

"Papa cuma pengen lihat anak Papa itu membanggakan Papa. Tapi Papa nggak dapetin itu dari kamu. Nggak ada. Papa nggak pernah melihatnya."

Gino terus memainkan jari-jarinya di kursi. Seperti orang yang sedang menekan tuts piano. Di samping itu, amarahnya juga tertahan. Tarikan napasnya mulai dipercepat dengan sendirinya.

"Kamu pikir Papa suka kamu kayak gini terus? Ini nggak ada habisnya selama bertahun-tahun. Kamu selalu berulah. Bahkan kamu terlibat dalam kecelakaan yang membuat Papa marah, nak. Kita semua tau itu kan?"

"Iya. Iya benar. Kenapa kecelakaan itu selalu jadi tameng."

Mendengar kata 'kecelakaan' nada bicara Gino mulai meninggi. Tapi tetap dengan tatapan lurus ke depan. Selama perdebatan itu berlangsung, tidak sedikit pun pandangan Gino tertuju ke arah Papanya. Dia terus membuang muka.

"Jaga nada bicaramu. Ingat, kamu lagi bicara sama Papamu. Dengar, Gino. Jujur saja, Papa iri dengan kesuksesan anak temen-temen Papa, dan Papa berharap anak Papa juga bisa seperti mereka. Tapi kamu malah kayak gini."

"Nggak usah besar-besarin masalah, Pa. Di kampus, nilaiku emang nggak bagus. Dan mungkin menurut Papa aku anak bermasalah yang selalu bikin ulah. Tapi aku baik-baik aja kok Pa."

"Tidak cukup baik-baik aja. Kamu nggak boleh biasa aja. Kamu itu Putra Wilantara Abiyaksa. Kamu harus menjadi yang terbaik. Ngerti? YANG TERBAIK!"

Dengan tegas Wilantara berucap di hadapan Gino. Tapi tiba-tiba dari arah kolam renang, Maya datang, masih dengan baju renang yang dibalut dengan Bathrobe berwarna putih tulang.

"Selamat pagi. Wah wah, seru banget kayaknya," sapanya menghampiri Gino dan Wilan.

Perdebatan pun mendadak selesai dan Gino pamit untuk pergi ke kampus.

"Aku harus pergi."

***

Tok tok tok.

"Iya sebentar," teriak seorang wanita dari dalam.

Tak lama setelah itu, pintu terbuka.

Terkejut. Ternyata yang datang adalah Galina. Pagi ini dia sengaja menjemput sahabatnya itu dan berinisiatif untuk mengantarkannya ke kampus. Tumben sekali. Saat Jasmine bertanya, kenapa? Galina hanya menjawab, karena dia tidak ingin lagi mendengar sahabatnya itu terkena sial di lampu merah. Seperti biasanya. Itu adalah jawaban yang sebenarnya tidak bisa diterima dengan baik oleh Jasmine.

Awalnya Jasmine hanya mengira bahwa mereka akan naik KRL berdua seperti biasanya saat Jasmine tidak membawa motor. Tapi ternyata salah. Begitu keluar rumah, keterkejutan Jasmine bertambah. Pasalnya, di seberang jalan sudah ada Pak Amri yang duduk manis di dalam mobil Merci hitam. Itu adalah mobil yang dipakai waktu dia berdebat dengan Gino kemarin. Dan hari ini dia harus berangkat ke kampus dengan mobil itu lagi.

Huft... Astaga. Apa yang akan terjadi kali ini? Apakah perdebatan konyol lagi? Atau malah lebih parah dari itu?

"Galina, apa ini?"

"Surpriseee..."

Wajah Galina begitu sumringah. Kedua tangannya terbuka. Seperti orang yang sedang memberi kejutan ulang tahun.

"Galinaaa."

"Ah. Udah. Jangan banyak tanya. Jangan ngajak debat. Sekarang kita harus pergi. Karena kalau enggak, kamu akan terlambat. Bukan begitu Bapak Amri?"

"Betul sekali Nona-nona cantik."

Kali ini bukan lampu merah yang membuatnya kesal. Tetapi Galina. Dia bekerja sama dengan Pak Amri. Padahal katanya, sebenarnya tujuan Pak Amri hari ini adalah diminta bos untuk mengambil berkas-berkas dari kantor yang ada di dekat kampus. Tapi Galina malah mengajak Pak Amri untuk nyeleweng dari tugas. Dan tanpa basa-basi pula Pak Amri setuju dengan siasat Galina. Dengan alasan dia sangat menyayangi Jasmine dan sudah dianggap seperti anak sendiri.

"Pak Amri tahu? Dengan begini mahasiswa-mahasiswa itu akan tetap mengira Jasmine anak orang kaya."

"Galina stop. Apaan sih. Mereka nyimpulin sendiri apa yang mereka lihat. Mereka nggak pernah tanya langsung ke aku. Seandainya mereka nanya, aku pasti akan jelasin."

"Jasmine, bukannya itu lebih baik? Kalau aku jadi kamu, aku akan tetep biarin mereka ngira aku orang kaya. Terutama Gino."

"Apanya yang lebih baik? Yang ada risih Galina. Aku risih dengan cara mereka natap aku."

"Menurutmu, kalau Gino nggak ngira kamu setara dengan dia, dia mau berdebat hanya gara-gara masalah sepele kayak kemaren? Udahlah Jasmine. Percaya sama aku."

Jasmine hanya menghembuskan napasnya.

"Yas, dia anak pemilik Abiyaksa University. Kalau kamu bisa deket sama dia, kamu bisa jadi mahasiswa terkenal di kampus. Kepopuleran dia akan nempel ke kamu juga."

"Galina, plislah. Yang ada nanti aku malah mempersulit diriku sendiri."

"Pak Amri. Otak gadis ini nggak bisa di ajak untuk kejahatan sedikit pun. Tolong beri tau dia, Pak."

Pak Amri hanya tersenyum melihat perdebatan dua sahabat itu.

Pucuk dicintai ulam pun tiba. Saat masuk parkiran mobil, ternyata Gino dan Bian juga baru saja sampai. Mereka berdua berjalan beriringan. Gino memakai kaos biru dan jeans hitam. Sedangkan Bian memakai kaos cream dengan Jeans Navy.

"Pak Amri, tolong berhenti di samping mereka," ucap Galina.

Dan sial. Pak Amri benar-benar menuruti apa kata Galina. Dia memberhentikan mobilnya tepat di samping Gino dan Bian. Bahkan Pak Amri juga buru-buru turun untuk membukakan pintu sebelum dibuka sendiri oleh Jasmine.

"Apa ini Pak Amri." gerutunya.

"Silahkan Nona Jasmine."

Dengan sangat terpaksa Jasmine mengikuti permainan Galina. Seandainya tahu akan begini, dia lebih memilih berangkat ke kampus pakai vespa kesayangannya. Atau naik KRL dan jalan kaki menuju kampus. Menurutnya itu lebih baik.

Semenjak kejadian di perpus kemarin, Bian menjadi lebih agresif mendekati Jasmine. Tapi Jasmine memilih untuk terus menghindar. Dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Bian dengan ketus. Seperti pagi ini.

"Hai. Apa kabar?"

"Baik."

Wajahnya terkesan cuek, sangat datar dan malas meladeni. Sementara Gino, dia menjadi saksi sahabatnya itu dijutek-in Jasmine. Tidak ada ekspresi aneh yang ditunjukkan Gino saat melihat sahabatnya dijutek-in Jasmine. Karena memang seperti itulah Bian. Dan Gino sudah hafal betul.

"Kita bisa jalan ke kelas bareng-bareng kalau mau."

"Kelas kita beda. Dan aku bisa jalan sendiri."

Tanpa basa-basi lagi, Jasmine meninggalkan dua laki-laki yang katanya digandrungi banyak cewek-cewek di kampus itu. Khususnya Gino. Ya, itu pasti. Melihat sosoknya yang hampir sempurna, siapa yang tidak mau jadi kekasihnya. Tampan, karismatik, jago basket, anak orang kaya. Caranya berjalan saja seperti model. Sedangkan Fabian yang selalu menempel ke mana pun Gino pergi, seperti kecipratan popularitas sahabatnya itu. Ditambah lagi dia juga sering melakukan hal konyol ketika Gino menginap di rumahnya. Seperti live Instagram saat Gino sedang molor. Hal itu membuat para gadis pengagum Gino selalu menanti-nantikan live Instagram nya.

"Gadis yang spesial. Dia memang beda dari yang lain," ucap Bian.

"Menurut gue dia aneh."

"Lo liat. Gue pasti bisa dapetin tuh cewek," pungkasnya.

***

*Telepon Gino berdering. Telepon dari Rio.*

"Oke. Aku ke sana sekarang."

Ternyata Rio memintanya untuk segera datang ke ruangannya. Ada hal penting yang ingin dibicarakan.

Meskipun kampus atas nama Abiyaksa. Bukan berarti Gino bisa seenaknya. Tidak mengikuti aturan yang dibuat pihak kampus. Dan meski Rio menjabat sebagai Rektor. Bukan berarti juga boleh seenaknya mengatrol nilai-nilai Gino agar bagus. Gino tetap harus berusaha dengan kemampuannya sendiri. Seperti keinginan Papanya selama ini. Yang tidak pernah dia penuhi.

Saat masuk ruangan, Rio langsung mempersilakan Gino untuk duduk. Gino langsung duduk di sofa berwarna abu-abu, menghadap Timur.

"Kita jarang ngobrol berdua di rumah. Jadi aku pengen ngobrol sama kamu disini. Oke. Jadi, gimana kabarmu hari ini, Gino? Gimana kuliahmu?"

"Oh... Jadi Papa mulai nyuruh Mas Rio buat nyerang aku juga?"

"Ya. Oke. Aku nggak bisa bohong. Itu bener."

"Mas Rio udah jadi mata-matanya Papa sekarang?"

Mereka berdua tertawa. Entah kenapa Gino lebih jinak saat bersama dengan Kakak dan Kakak iparnya, ketimbang dengan Papanya sendiri.

"Papamu bilang, aku harus awasi kamu, Gino. Tapi tanpa diminta juga aku pasti akan awasi kamu hahaha."

"Mas Rio, aku bukan anak TK yang kalau sekolah harus diawasi. Tapi ya, aku hargai itu. Bukan karena Papa ya. Tapi karena Mas Rio suaminya Mbak Gita."

"Ya, oke terserah kamu. Jadi gimana?" Rio mengganti posisi duduknya. Dia yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya, kini beralih hanya fokus berbicara dengan Gino.

"Aku lihat, nilai-nilai kamu jeblok semua. Sebelum ambil mata kuliah selanjutnya, kamu harus memperbaiki nilaimu yang gagal itu dulu."

"Iya. Mas Rio bener. Tapi untuk lulus di semua mata kuliah penting itu nggak mudah."

"Aku punya cara biar kamu bisa lulus dari mata kuliahmu itu. Tapi kalau nantinya masih gagal juga. Aku nyerah. Aku angkat tangan," godanya, disertai dengan gerakan mengangkat kedua tangannya.

"Oke. Apa solusinya?"

"Tapi kamu harus janji dulu. Jangan bolos, jangan kabur-kaburan."

"Mas Rio, Please. Sekali lagi aku bukan anak kecil."

"Kamu akan belajar dengan Mahasiswi terbaik di kampus ini."

Gino kaget. Karena itu pasti akan membuatnya kesusahan. Dia sempat sedikit protes, tapi itu tidak berlaku. Janji sudah diucapkan di awal bahwa Gino bersedia memperbaiki kegagalannya dan tidak akan mangkir. Lagi pula bukankah sebagai lelaki omongannya harus dapat dipercaya?

"Kamu akan tau. Sebentar lagi dia datang."

Dan benar saja. Beberapa detik kemudian ada seseorang yang mengetuk pintu.

"Masuk."

Jasmine masuk dan Gino menoleh. Keduanya saling beradu pandang. Sama-sama kaget. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa dan tetap berusaha untuk tenang. Hanya bisa diam dan saling menatap satu sama lain.

"Silahkan masuk Jasmine. Silahkan duduk."

Jasmine duduk berhadapan dengan Gino. Masih dengan mulut yang sama-sama terkunci.

Jasmine terlihat sangat cantik. Dia memakai kemeja berwarna putih dengan motif bunga-bunga dan Jeans Navy. Dipadukan dengan sneakers hitam. Meski pun secara style dia tomboi, tapi wajahnya tidak ada ketomboian sama sekali. Dia tetap cantik dengan rambut keritingnya. Dan seperti biasa dia cepol ke atas. Senyumnya selalu tulus, suaranya juga lembut. Meski terkadang ceroboh, tapi pembawaannya selalu memancarkan aura yang positif bagi orang-orang sekitarnya. Gadis sederhana dengan sejuta pesona.

"Kenalkan ini Mahasiswi terbaik kita. Jasmine. Dan Jasmine ini Gino."

Rio mengenalkan dua anak manusia yang sesungguhnya takdir sudah mempertemukan mereka beberapa kali. Tetapi belum saling kenal satu sama lain.

"Ya. Kita udah pernah ketemu sebelumnya."

"Oh ya? Bagus dong kalau gitu. Jadi kalian bisa saling bersinergi satu sama lain dengan lebih mudah."

Jasmine masih terdiam. Tidak mengucap satu patah kata sekali pun. Mereka berdua malah seperti patung. Kaku sekali. Tidak terlihat Jasmine yang biasanya bawel. Tidak terlihat pula Gino yang biasanya arogan.

"Jadi begini, rencananya adalah, Jasmine akan menjadi tutor kamu di akhir semester ini."

Setelah Rio selesai mengutarakan rencananya, Gino langsung melihat Jasmine. Ekspresi wajah Gino tidak bisa bohong, dia terjebak di situasi yang aneh. Ingin memberontak tapi tidak bisa. Dia sudah terlanjur janji. Tidak ada pilihan lain. Maka jalan satu-satunya memang harus setuju dengan keputusan Rio.

Detik berikutnya Gino dan Jasmine keluar dari ruangan Rio. Dan Boom, barulah terjadi perdebatan sengit.

"Jangan liat gue kayak gitu. Gue juga nggak suka ide ini."

"Kalau kamu nggak suka, kenapa diem aja tadi? Kenapa nggak bilang?"

"Maksud lo apa gue cuma diem?"

"Iya, kamu bisa bilang kalau kamu nggak setuju kan? Tapi kamu cuma diem aja tadi."

"Lo nggak ngerti? Pak Rio udah mutusin kalau kita harus belajar bareng. Itu artinya lo harus jadi tutor gue. Nggak ada pilihan lain. Dan lo juga, kenapa diem aja? Kenapa tadi lo nggak bilang kalau lo nggak mau?"

"Menurutmu? Pak Rio minta tolong sesuatu dan aku harus nolak gitu? Aku udah bilang iya, bahkan sebelum aku tau rencananya apa."

"Dasar bodoh!"

Jasmine memelototi Gino.

"Udahlah. Kita nggak bisa berbuat apa-apa. Tapi, gue punya satu pertanyaan buat lo. Apa masalah lo sama gue. Kenapa sikap lo kayak gini ke gue?"

"Sikap apa?"

"Sikap lo yang nyebelin."

Gino diam sejenak. Mencoba mengingat-ingat mungkin dia melupakan sesuatu dan itu berhubungan dengan gadis bawel yang sekarang ada di depannya. Tapi nihil. Dia tidak ingat apa pun. Ya, jelas saja. Mana mungkin dia mengingat sesuatu hal. Setelah Mamanya pergi, apa pun yang terjadi dalam hidupnya itu seperti angin yang berseliweran.

"Sebelum kejadian kemaren. Apa kita pernah ketemu sebelumnya dan gue lupa itu? Yah mungkin, kayaknya kita pernah ketemu dan gue pernah buat salah sama lo."

"Oh wow, rupanya tingkat kesadaran kamu dalam menjalani hidup ini sangat rendah ya? Sampai-sampai kamu lupa siapa aja yang datang dan pergi dalam hidup kamu."

Setelah berjalan beberapa langkah, Gino seperti mengingat sesuatu.

"Tunggu. Kayaknya bener deh, gue pernah ketemu sama lo di suatu tempat."

Jasmine benar-benar harus ekstra sabar menghadapi cowok gondrong ini. Bagaimana tidak? Setiap pertemuannya pasti membawa perdebatan panjang. Kebayang bagaimana pusingnya Jasmine setelah ini karena harus berhadapan dengannya setiap hari, akibat permintaan Pak Rio. Akankah setiap momen belajarnya nanti juga akan terselip perdebatan? Entahlah. Membayangkan saja rasanya sudah menguras energi.

"Ahhaa, kita pernah ketemu di lampu merah."

Jasmine kaget dengan pernyataan Gino. Teringat beberapa kejadian konyol di lampu merah yang pernah dia alami. Dengan sedikit tertawa dia kembali bertanya, "Eheem, kenapa di lampu merah?"

"Whooo, ternyata lo bisa ketawa. Bahkan lo punya gigi juga."

Senyum Jasmine semakin lebar. Kali ini dia seperti berhadapan dengan orang yang sama, tapi dengan kepribadian yang berbeda. Ternyata laki-laki kaku itu bisa bercanda juga. Ini adalah sisi lain dari seorang Gino yang mungkin tidak semua orang tahu.

"Udah, cukup ketawanya."

Jasmine menghentikan keanehan diantara mereka.

"Kenapa? Lo cuma bisa ketawa dengan takaran waktu?"

"Maksudnya?"

"Iya, gue rasa lo cuma ketawa biar wajah lo nggak keriput aja."

Jasmin semakin ingin tertawa, tapi sengaja di tahan. Yang terlihat hanya senyum tipisnya yang sangat manis.

"Udah, cukup. Aku harus masuk kelas sekarang. Setelah itu kita bisa ketemu dan bikin rencana, enaknya gimana."

"Gimana gue bisa hubungi lo nanti?"

"Emmm, aku kasih nomerku ke kamu kalau gitu."

Gino mengiyakan dan memberikan HP nya ke Jasmine. Setelah itu mereka berdua berpisah disudut lorong dari ruangan Pak Rio. Jasmine belok ke kanan sedangkan Gino entah melipir ke mana.