webnovel

Riuh | Pukul 10.45

Banyak orang ingin kaya dan terkenal. Dengan stigma masyarakat yang sudah menempel bahwa orang yang terkenal bisa mendapatkan privillage dalam banyak hal. Padahal kenyataannya tidaklah seindah itu. Apalagi kalau dikenal banyak orang karena nama besar keluarga. Ada banyak hal yang harus di jaga. Reputasi bisa jadi diatas segalanya. Kakak beradik Gita dan Gino adalah contohnya. Dibalik segala kemudahan dan kemewahan yang mereka dapat. Ada segudang aturan keluarga yang harus dipatuhi. Mulai dari peraturan yang kedengarannya sepele, sampai hal yang penting. Seperti, tidak boleh meninggalkan meja makan ketika belum selesai makan. Harus selalu humble. Tidak boleh melakukan hal-hal yang bisa menjadi perhatian publik. Dan masih banyak lagi.

Dari semua anggota Abiyaksa, hanya Gino orang yang paling susah menjalankan aturan-aturan yang paling sederhana itu. Dia sering kali menentang, tidak peduli, dan melakukan sesuatu sesuai kemauannya sendiri. Dia adalah orang yang tidak suka di atur-atur.

Dan karena sikap tidak pedulinya itu, siang ini hampir memakan korban. Tapi untungnya terselamatkan karena keberanian seorang Jasmine Arunika. Saat melihat perempuan itu ada di atas gedung kampus, dia langsung berinisiatif untuk naik. Meskipun sebenarnya memiliki fobia ketinggian, tapi dia kesampingkan itu sejenak demi menyelamatkan nyawa orang lain. Walaupun dia tidak kenal sebelumnya.

Perempuan itu berambut pendek dan di cat pirang di beberapa bagian. Dilihat dari cara berpakaiannya, dia sangat tomboi. Ke mana-mana selalu memakai kemeja dan topi.

Di bawah gedung itu, para mahasiswa sudah bergerombol melihat ke atas gedung. Mereka semua saling bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mendasari perempuan itu sampai mau bunuh diri? Apa masalahnya sampai dia bisa senekat itu? Tapi tidak ada seorang pun yang tahu. Sebelumnya perempuan itu dikenal sangat tertutup. Dia selalu sendiri. Dan hari ini dia menghebohkan penghuni kampus Abiyaksa.

Diantara gerombolan Mahasiswa-mahasiswa itu, ada Gino, Bian dan Serena. Melihat perempuan di atas gedung dengan membentangkan kedua tangannya, Bian dan Gino kaget. Itu adalah perempuan yang tadi pagi dikasih Bian topi milik Gino. Iya. Sebelum kelas dimulai, Bian dan Gino bertemu dengan perempuan itu di lorong kelas. Karena buru-buru ingin menghampiri Bian, Gino tidak sengaja menabraknya dan membuat buku-buku yang dibawa perempuan itu jatuh berserakan. Spontan Gino membantu membereskan. Tapi, saat Gino menghampiri Bian, perempuan itu mengikutinya. Lalu berkata,

"Hai." Dia menyodorkan tangannya. Tapi tak dihiraukan oleh Bian dan Gino. Gino malah tidak peduli sama sekali. Dia hanya melihat sekilas saja. Dan berpikiran, siapa dia? Sok kenal.

"Ngomong-ngomong topimu bagus. Aku cari-cari topi yang kayak gitu susah," ucapnya saat melihat topi hitam yang dibawa Gino.

"Oh ini?" Bian menyahut topi itu dan memberikannya ke si perempuan, "Nih buat lo kalau gitu."

Perempuan itu sangat senang dan langsung memakai topinya.

"Bagus nggak?" tanyanya dengan wajah sumringah.

"Wuih, bagus banget. Cocok banget sama lo," jawab Bian.

Setelah mendapatkan topi Gino, perempuan itu pergi. Sedangkan Gino hanya bisa diam menyaksikan itu semua. Terkadang dia suka heran dengan kelakuan sahabatnya itu. Apakah si Bian ini memang terlalu friendly ke semua orang, atau malah bajingan ke semua perempuan.

"Lo gila apa! Ngapain lo kasih topi gue ke dia?!"

"Bro. Lo nggak denger tadi dia bilang apa? Dia suka sama topi lo."

"Ya, tapi lo nggak harus kasih kan?"

"Halah udah. Lo masih bisa beli lagi. Lo borong juga bisa kan?"

Dan sekarang, perempuan yang mereka temui tadi ingin mengakhiri hidupnya. Bian dan Gino berpandangan satu sama lain. Sama seperti yang lain, mereka berdua juga bertanya-tanya. Ada apa dengan perempuan itu? Tapi karena memang pada dasarnya tidak ada rasa kepedulian, mereka bertiga malah pergi. Bian dan Serena berjalan lebih dulu, sedangkan Gino mengikuti di belakangnya.

"Stop!" Teriak seorang wanita yang terdengar samar-samar di telinga Gino. Dia berhenti. Kembali menengok ke atas gedung.

Diatas sana sudah ada Jasmine. Kekagetan Gino bertambah lagi. "Ngapain dia di sana? Peduli amat. Emang dia kenal sama perempuan itu?" Batinnya.

Tapi, disisi lain dia juga khawatir melihat Jasmine ada di atas gedung. Berdua dengan perempuan yang entah ada masalah apa dalam hidupnya. Membiarkan Serena dan Bian pergi, Gino kembali memantau Jasmine dari bawah. Dia lihat orang-orang di sampingnya teriak, turut membujuk perempuan itu agar mau turun.

Jasmine hanya berdua di atas gedung itu. Dia bersama dengan perempuan yang bahkan dia sendiri juga tidak tahu siapa dan apa masalahnya. Tapi dari lubuk hatinya dia seperti memiliki keharusan untuk menolong perempuan itu. Teringat kejadian yang menimpa Kay, badannya seketika gemetar. Dia ingat betul seperti apa kondisi kakaknya di bathub kamar mandi pada saat itu. Sekarang dia harus berhadapan dengan momen yang hampir sama. Hatinya harus kuat. Pikirannya harus tetap fokus.

"Hai. Aku tau kita nggak saling kenal. Tapi, kamu nggak boleh kayak gini."

"Enggak! Dia... dia, jahat sama aku."

"Ok, baik. Kita bisa selesaiin masalahnya bareng-bareng ya. Aku akan bantu kamu. Sekarang kita turun ya."

"Nggak mau..." teriaknya diiringi dengan tangis. "Dia nggak peduli sama aku!"

Jasmine berusaha terus mendekat perlahan.

"Kita turun ya. Kita bicara baik-baik sama dia. Oke? Aku janji akan bantu kamu."

"Stop! Jangan mendekat. Kalau kamu mendekat, aku lompat sekarang."

"Iya. Oke baik." Jasmine mengangkat kedua tangannya. Menghentikan langkahnya.

"Gino jahat banget. Dia nggak peduli sama aku. Dia menghindar dari aku." suaranya lirih. Tangisnya kembali pecah.

Jasmine tersontak kaget. Gino? Siapa perempuan ini? Ada hubungan apa dia dengan Gino? Kenapa dia sampai senekat ini? Apa yang sudah Gino lakukan?

"Ok. Kita akan temui Gino dan kita akan bicara dengannya. Ingat, kamu itu berharga. Kamu harus tau itu. Kalau kamu kayak gini, kamu bukan Cuma nyakitin diri kamu sendiri. Tapi kamu juga akan bikin orang tua kamu sedih. Kamu ingat? Mereka punya harapan yang besar. Mereka pasti ingin melihat anaknya bahagia. Mereka juga akan bangga melihat kamu menjadi orang yang sukses."

"Tapi dia jahat. Dia jahat," rintihnya.

Melihat perempuan itu sudah sedikit tenang, Jasmine kembali mendekati. Satu, dua langkah, perempuan itu kembali bereaksi dengan histeris.

"Aku bilang jangan mendekat! Atau aku lompat sekarang." Dia mengayunkan satu kakinya. Terdengar teriakan dari bawah.

"Oke. Oke. Aku nggak akan mendekat. Tapi kalau kamu tetep nekat, aku juga akan ikut lompat sama kamu."

Perempuan itu kaget. Dia melihat Jasmine sekilas.

Tak lama dua orang mahasiswa lain datang, tapi tidak berani mendekat. Mereka hanya mengikuti instruksi dari Jasmine.

"Ada miliaran manusia di muka bumi ini. Dan diantara miliaran manusia itu, pasti ada jutaan manusia lain yang juga punya masalah sama dengan kamu. Kamu bukan satu-satunya yang ada dalam masalah itu. Dan kalau mereka bisa melewatinya, artinya kamu juga bisa. Karena manusia diciptakan Tuhan lengkap dengan kehebatannya. Kamu harus ingat itu, dan kamu nggak sendirian. Ada kita yang peduli sama kamu."

Jasmine lalu memberi isyarat kepada dua temannya yang bernama satria agar pelan-pelan mendekat.

Satria mengangguk. Dalam hitungan ke lima, Satria dan Jasmine berhasil menjangkau kedua tangan si perempuan, lalu segera menarik agar menjauh dari pinggiran gedung. Mereka bertiga bahkan sampai terjatuh. Dan perempuan itu pingsan.

Sekuat tenaga Jasmine memeluknya. Meski tidak kenal, tapi dia ikut merasakan kesedihan yang dirasakan perempuan itu.

Dari bawah kembali terdengar teriakan. Kali ini disertai dengan suara riuh tepuk tangan. Mereka semua ikut lega, karena perempuan itu berhasil diselamatkan. Tanpa ada yang terluka.

"Namanya Jessica." kata Satria.

Jasmine melepaskan pelukannya.

"Kamu kenal sama dia?"

"Enggak sih. Cuma sekedar tau aja dari temen-temen," jawab Shely.

"Dia agak misterius emang. Nggak pernah bergaul sama temen-temen. Dan kabarnya emang udah lama dia kayak gini," terang Satria.

"Kayak gini gimana?"

"Ya, itu. Psikologisnya."

"Udah, udah. Kalian kenapa malah gosip. Cepet panggil ambulans."

"Udah tadi. Gue udah telfon."

Kejadian yang dialami Jessica mengingatkan kembali dengan apa yang dialami salah satu anggota keluarganya 7 tahun silam. Dimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kakaknya meninggal. Dan Jasmine tidak bisa berbuat apa-apa kala itu. Yang bisa dia lakukan hanya menangis dan berusaha untuk mencerna apa yang terjadi.

Saat ini dia bersama dengan seorang perempuan yang sangat terobsesi dengan Gino. Jasmine tahu. Memang banyak yang tergila-gila dengan Dean Gino. Tapi Jessica ini berbeda. Dia tidak sadar bahwa dia terlalu menghidupkan imajinasinya. Seolah-olah apa yang akan terjadi, ya sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Harapannya dan keinginannya, untuk bersama dengan Gino terlalu kuat dan sudah masuk dalam kategori tidak wajar. Obsesinya menguasai logika. Sehingga dia tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Sedangkan perempuan-perempuan lain yang juga tergila-gila dengan Gino, mereka masih memiliki kesadaran penuh untuk memberi batas kepada dirinya sendiri. Sampai dimana batas kewajaran orang yang mengagumi orang lain. Menjadikan Dean Gino sebagai idola, bukan berarti semua harus berjalan sesuai dengan keinginan kita. Gino memiliki kehidupan sendiri sesuai dengan rulesnya. Dan kita juga punya kehidupan sendiri yang juga berjalan dalam rules yang seharusnya.