webnovel

Momen Ajaib | Pukul 17.10

Selesai kelas, Gino memberitahu Jasmine bahwa bimbingan hari pertama akan dilakukan di kantin. Bukannya di perpustakaan atau di taman atau di tempat yang tenang. Gino malah memilih kantin. Manusia aneh memang.

Dua anak manusia itu duduk bersebelahan di tempat umum. Untuk pertama kalinya. Ternyata tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk saling akrab satu sama lain, layaknya teman lama. Hal itu karena pembawaan Gino yang mudah bergaul.

Dari sisi lain, seorang perempuan berambut pirang diam-diam mengambil gambar kebersamaan Gino dan Jasmine. Entahlah, memang sesuatu yang berhubungan dengan Gino selalu menarik perhatian para penghuni kampus Abiyaksa. Bahkan mungkin saat Gino bersin saja, jika ada yang merekam pasti viral.

Kebersamaan Jasmine dan Gino dalam keadaan tanpa perdebatan memang sedikit aneh. Apalagi melihat Gino bisa fokus dan benar-benar serius mendengarkan penjelasan demi penjelasan Jasmine. Tidak ada sanggahan sama sekali yang keluar dari mulutnya. Entah karena malas atau memang dia serius ingin memperbaiki nilainya. Pasalnya selama ini, yang namanya Dean Gino Abiyaksa itu tidak peduli dengan nilai. Mau itu saat dia belajar di Amerika atau pun di Indonesia.

"Gimana?"

"Iya. Gue ngerti." Wajahnya benar-benar songong.

Spontan Jasmine menengok.

"Beneran bisa apa pura-pura bisa."

"Ternyata nggak sesulit yang gue kira."

Jasmine masih tidak percaya. Dia kembali mengamati ekspresi wajah Gino. Dia menyipitkan kedua matanya.

"Lo nggak percaya sama gue? Kayaknya lo punya masalah sama kepercayaan."

"Kenapa bilang gitu?"

"Karena lo curiga sama hal kecil yang gue omongin."

"Ngarang banget. Sok tau kamu."

"Gue nggak sok tau. Dan gue nggak ngarang. Karena gue nggak bisa."

"Kelihatan banget. Lo pernah kecewa sama orang yang lo sayangi. Iya, kan?!" imbuhnya.

"Wah luar biasa. Ternyata aku lagi belajar sama Mahasiswa yang punya indra ke enam."

"Halah, udah lah. Lo nggak bisa bohong sama gue."

"Oke, hari ini selesai." Jasmine mengalihkan pembicaraan Gino.

Berakhir. Hari pertama ditutup dengan sedikit perdebatan hanya karena masalah percaya atau tidak percaya. Sebelum benar-benar berakhir, Jasmine memberikan selembar kertas berisi catatan yang harus dipelajari oleh Gino. Jasmine juga bilang, seandainya ada yang tidak dimengerti, Gino bisa menghubunginya sewaktu-waktu.

Deal. Kesepakatan diterima.

"Lupakan masalah kepercayaan tadi. Dan pelajari ini baik-baik."

"Udah, gampang. Nggak perlu belajar lagi. Ntar Lo bisa bilang ke Pak Rio kalau semua berjalan dengan baik."

"Nggak. Aku nggak bisa. Aku nggak mau bohong."

"Jangan songong lo. Pake bilang nggak mau bohong segala. Semua orang pasti pernah bohong."

"Aku bilang enggak, ya enggak!"

Lagi dan lagi mereka berdebat. Gino sudah terbiasa meminta orang lain agar menjalankan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Tapi kali ini tidak. Karena dia berhadapan dengan Jasmine. Seorang perempuan dengan prinsip yang kuat.

Bimbingan sudah selesai, tapi Gino enggan pergi. Dia malah diam melihat Jasmine yang sedang asik membaca buku. Sesekali dia tersenyum tipis. Tapi buru-buru ditepis. Lalu kembali memasang muka songongnya lagi. Trik curi-curi pandang yang belum ketahuan. Andai Jasmine tahu apa yang dilakukan Gino, pasti dia akan terus meledek Gino.

Fabian adalah gambaran sahabat yang selalu ada di samping Gino. Sepertinya kalimat itu memang tepat melekat untuk lelaki berkulit putih itu. Terbukti kali ini dia mencari-cari keberadaan Gino hanya untuk memberitahu bahwa nanti malam ada pesta ulang tahun di rumah Mathew. Teman satu kelas mereka waktu masih SMA.

"Gue nyariin lo dari tadi. Ternyata disini. Sama Jasmine."

Jasmine kaget mengetahui Bian sudah tahu namanya. Pasalnya mereka belum kenalan satu sama lain. Tapi kekagetan Jasmine tidak berlangsung lama. Karena menyadari dia sedang berhadapan dengan siapa saat ini. Si manusia populer di kampus. Ya pasti siapa pun yang lagi sama dia, orang akan tahu.

"Oh ya, kalian ngapain berdua di kantin?" Tanya Bian.

Jasmine meletakkan pulpennya sebelum menjawab pertanyaan aneh Bian.

"Seperti yang orang lain lakukan kalau ada buku-buku di meja, artinya kita lagi belajar."

"Sesuai perintah Bapak Rektor Rionaldo," Gino menambahkan.

Bian mengangguk paham.

"Nanti malam ada party di rumah Mathew. Lo dateng kan?" Bian memastikan bahwa sahabatnya itu hadir di acara teman lamanya. "Emm, Jasmine, lo juga boleh dateng kalau mau."

"Oh, enggak. Aku nggak bisa, ada urusan."

"Oke. Kalau gitu gue pergi dulu."

Sebelum pergi, Bian membisikkan sesuatu di telinga Gino, "Lo tau kan apa keinginan gue. Jadi jangan macem-macem sama dia."

Gino hanya diam mendengar gertakan Bian. Sahabatnya itu memang terlalu agresif perihal perempuan. Tidak bisa melihat perempuan cantik. Entah sudah berapa banyak perempuan yang masuk ke perangkap rayuan manisnya. Bisa dibilang mulut Bian itu 90% berisi rayuan gombal. Tapi, sepertinya kali ini dia salah mangsa. Kalau Bian mengira Jasmine juga bisa masuk perangkap rayuannya, ilmunya dalam mendekati perempuan belum bisa dikatakan profesional. Seperti yang selama ini diagung-agungkan.

Sebenarnya Jasmine sudah memperbolehkan Gino untuk pergi sejak beberapa menit yang lalu Tapi Gino malah memilih stay di samping Jasmine yang sedang menghabiskan waktu untuk membaca. Dan seandainya keluarga Abiyaksa lihat, sungguh ini adalah momen yang sangat langka. Melihat Gino bisa duduk diam, fokus tanpa berulah. Meski mulutnya kadang mendebat, tapi setelah itu dia bisa diam. Jangankan melihat Gino bisa bertahan belajar selama itu dan bisa tetap diam di tempat. Melihat Gino fokus belajar saja sesuatu yang aneh. Tapi hari ini Gino memulai sesuatu yang beda. Yang biasanya ke kampus hanya membawa satu buku dan dilinting seperti rokok, mulai hari ini lintingannya akan bertambah karena catatan dari Jasmine.

Setelah cukup lama ada di samping Jasmine dalam keadaan yang berbeda, sekian detik, pikirannya mulai sependapat dengan Bian. Bahwa Jasmine adalah gadis yang beda dari gadis-gadis yang selama ini dia kenal. Walau pun sebagian besar pemikirannya masih menganggap bahwa Jasmine tetap orang yang aneh.

"Lo tinggal dimana? Kok gue nggak pernah liat lo."

"Ada apa? Kenapa nanya begitu? Mau ngapain?"

"Tuhan... gue cuma nanya lo tinggal dimana. Lo baru pindah dari luar? Atau... Ya, ke mana biasanya lo pergi gitu loh?"

"Aku jarang pergi."

"Jadi lo selalu di rumah?"

"Ya, aggep aja kita punya kehidupan yang jauh berbeda."

"Sorry, gue nggak ngerti. Maksud lo apa kita punya kehidupan yang beda?"

"Yaaa... kamu kan suka party. Kamu sering traveling. Kehidupanku nggak kayak gitu. Aku nggak tau tempat-tempat yang lagi hits. Dan aku juga nggak pernah ada di party-party yang sering kamu datengin itu. That's why, kehidupan kita berbeda. Karena jalan kita nggak pernah ketemu."

Jasmine melihat jam tangannya. Dan dia terlambat untuk pulang.

"Kamu sih nanya mulu. Telat kan aku. Yaudah aku pergi dulu."

Gino hanya mengangguk dan membiarkan Jasmine pergi dengan membawa beberapa buku ditangannya. Melihat punggung Jasmine akan semakin menjauh, tiba-tiba Gino memanggil Jasmine.

"Jasmine..."

Jasmine menengok dan bingung. Dia berpikir ada sesuatu yang tertinggal. Tapi ternyata salah.

"Thank you," ucap Gino sedikit berteriak.

Jasmine membalasnya dengan senyuman tipis, setelah itu dia berbalik badan dan pergi.

Hari Jumat yang ajaib. Bukankah kalimat ini tepat sekali untuk menggambarkan apa yang telah terjadi? Kita bukan hanya melihat Putra Mahkota Abiyaksa itu fokus belajar, tetapi juga mendengarnya mengucapkan terima kasih kepada orang lain, yang baru saja dikenalnya. Padahal kalimat itu sudah lama sekali tak pernah keluar dari mulutnya. Dan mungkin, di depan Jasmine lah untuk pertama kalinya dia ucapkan kembali. Finally, Gino sadar bahwa semasa kecilnya dulu dia itu diajari cara mengucapkan terima kasih.

***

Dengan memakai hoodie hitam, Gino keluar dari rumah. Ferrari hitamnya dipacu dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan, Lovely – Billie Eilish, di putar berulang-ulang. Dia seperti menemukan kedamaian dalam kesendirian. Merasakan bahwa dirinya sendiri itu ada. Ada untuk dihargai beserta dengan segala macam luka yang seharusnya bisa dilepaskan. Tapi tanpa disadari, sikap Gino selama ini justru malah membuat lukanya itu menumpuk di dasar hatinya.

Party malam ini sepertinya bukan hanya sekedar party. Karena yang mengadakan adalah teman SMA. Bisa jadi sekaligus acara reunian yang tidak di rencanakan.

Semasa SMA, Gino, Bian dan Math adalah tiga serangkai yang selalu bersama. Mereka mendapat julukan trio pembuat onar. Karena selalu membuat onar di sekolah. Tiga siswa yang selalu jadi langganan keluar masuk ruang BP itu terpisah saat sudah lulus SMA. Gino dikirim keluarganya untuk lanjut kuliah di Amerika, Mathew ikut orang tuanya ke Inggris, sedangkan Bian tetap di Indonesia.

Di rumah Math, sudah ada Bian, Serena dan beberapa teman-teman SMA mereka. Sebenarnya Serena tidak termasuk dalam list tamu yang diundang Math, tapi karena dia saat ini bersahabat dengan Gino dan Bian, maka Bian mengajaknya juga.

Rupanya Gino menjadi orang yang datangnya paling akhir. Disana mereka sudah mulai berpesta. Entah kenapa kali ini Gino tidak berselera dengan dentuman musik DJ. Dia memilih untuk bermain biliar. Lima belas menit bermain, dia merasa jenuh. Kemudian beralih ke ruangan sebelah. Disana sudah ada beberapa orang yang sedang asik bermain PS. Ada Joe, Axel, Ray dan juga Sean. Di pintu, Gino melihat teman-temannya itu sedang berdebat dan berteriak. Tentunya itu hanya candaan seru-seruan saat bermain PS.

Tanpa dia sadari senyum tipisnya itu mengembang. Meski hanya sepersekian detik, tapi itu terjadi. Sepertinya putra mahkota itu merindukan momen-momen saat dimana dia bisa bercanda dan tertawa lepas. Sepertinya momen itu terakhir kali terjadi dalam hidupnya ketika dia masih kecil. Sebelum kejadian menyakitkan itu menimpanya.

"Eh, ngapain lo disitu Gin? Sini kali, main bareng," ajak Sean.

Dengan langkah beratnya Gino menghampiri. Untuk bermain PS bersama dengan teman-temannya. Rupanya tak butuh waktu lama baginya untuk membaur. Meskipun sudah lama tidak saling bertemu, tidak ada canggung. Mengajak Gino bercanda sampai tertawa lepas tanpa ada jarak. Justru itulah yang di inginkan Gino. Mereka seperti mengerti isi hati Gino tanpa dia harus bercerita terlebih dulu . Lagi-lagi ini adalah momen yang ajaib. Manusia kaku yang susah menahan emosi itu, bisa membaur dan tertawa lepas. Pemandangan malam yang indah.

"Ya ya... Aahhh. Dikit lagi Bro," ucap Axel menyemangati Gino.

"Sekali lagi."

"Abis ini pasti gue menang lagi," ledek Ray.

"Ok. Kita main sekali lagi," jawab Gino begitu yakin.

Meskipun di rumahnya tersedia fasilitas itu, tapi dia hampir tidak pernah memainkannya. Bian bukanlah teman yang tepat untuk diajak bermain PS. Dan pasti dia akan berkomentar, "Nggak seru banget. Ngapain main PS. Mending kita party biar happy."

Dalam ruangan itu, Gino benar-benar merasakan memiliki teman. Tanpa Bian dan Serena ternyata dia bisa kok seru-seruan.

"Ayo Bro. Ayo." Joe berteriak. Entah dia menjadi pendukung Gino atau Ray. Pokoknya siapa yang sudah mendekati gawang lawan dia pasti akan teriak.

"Ahh gimana sih..."

"Yaaa... Hahahaha."

Akhirnya permainan kembali dimenangkan Ray.

"It's Ok bro. Nanti kita bisa main lagi. Dan gue yakin lo pasti menang lawan si Ray."

Cara Joe memberi semangat memang seperti bocah. Tapi karena celetukan-celetukan Joe, Gino tak henti tertawa.

Setelah hampir dua jam berkutik dengan stik PS, Gino pamit untuk pulang lebih dulu.

Suasana dini hari yang sudah tidak asing lagi. Waktu yang sangat disukai untuk berpacu dengan kecepatan mobil sportnya. Dengan atap yang terbuka, dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Lebih cepat dari sebelumnya.

Dinginnya angin malam membawa ingatannya pada kejadian tadi pagi. Sementara dia membiarkan angin malam menusuk badan, pikirannya terus memutar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Jasmine. "Aku jarang pergi. Aku nggak tau tempat-tempat hits. Kita punya kehidupan yang berbeda." Terus saja terngiang-ngiang di pikiran Gino. Ditambah lagi apa yang baru saja terjadi. Rasanya kebersamaan dengan Joe, Axel, Ray dan Sean sangat berharga. Walau pun hanya beberapa jam, tapi mampu membuat hati Gino dipenuhi dengan kedamaian.