webnovel

Berlatih Membaca Aura

Ini pengalamanku waktu masih SMA.

Saat itu aku sangat tertarik dengan yang namanya anak indigo. Karenanya, aku mencari informasi tentang anak indigo di berbagai forum. Mulai dari Kaskus, Facebook, hingga Komunitas Indigo. Dan menurutku, Komunitas Indigo adalah yang terbaik.

Selagi berselancar di sana, aku menemukan satu thread yang sangat menarik: cara melihat aura. Aku begitu penasaran apa warna auraku. Siapa tahu, aku ini sebenarnya juga anak indigo.

Aku membacanya dengan sangat serius. Saking seriusnya, seluruh tutorial itu sampai aku print. Namun tentu saja aku tidak berani membawanya ke sekolah. Aku takut diejek teman-teman.

Singkat cerita, aku sudah betul-betul memahami cara melihat aura. Kurang lebih caranya begini. Kamu pergi ke ruangan yang remang-remang, taruh telapak tanganmu di tembok, pusatkan energi di telapak tangan, tunggu lima menit, lalu seret perlahan ke bawah. Setelah melakukannya, kamu akan melihat bekas warna yang ditinggalkan tanganmu. Dan warna tersebut adalah warna auramu.

Karena takut, aku akhirnya mengajak teman sebangkuku untuk praktik.

"Hei, besok Minggu main ke rumahku, ya."

"Ngapain?"

Aku mendekatkan diri untuk berbisik. "Melihat warna aura."

"Melihat warna aura?"

Ketika mengatakan itu, wajahnya tampak bersemangat. Pasalnya, dia memang orang yang agak eksentrik. Jadi tidak perlu usaha besar untuk meyakinkannya. Kami kemudian sepakat untuk melihat warna aura di hari Minggu.

***

Semua persiapan sudah beres. Gorden kamar sudah kututup sepenuhnya. Lampu juga kumatikan. Satu-satunya sumber cahaya adalah sinar matahari yang masuk melalui celah kecil ventilasi. Ruangan ini sangat gelap. Namun, aku masih bisa melihat tembok dan temanku. Kami duduk bersebelahan, dalam posisi bersila.

"Kamu sudah paham cara yang kuajarkan, bukan?" tanyaku.

Dia menjawab dengan yakin. "Tentu. Aku semalam juga sudah latihan. Tapi warna yang keluar malah putih."

Oh, jadi warnanya putih? Hanya saja, tidak ada orang yang memiliki aura putih. Dari sumber yang kudapat, warna putih merupakan tanda kalau mereka masih pemula. Jadi nanti warna asli aura itu baru akan muncul setelah beberapa kali percobaan.

"Tidak masalah. Sekarang kita akan mencobanya lagi. Kamu siap?"

"Oke siap."

Setelah menjawab dengan mengangguk, aku menaruh telapak tanganku di tembok. Aku kemudian mulai konsentrasi. Untuk beberapa saat, dunia di luar kamarku seolah-olah menghilang. Semuanya menjadi hening. Aku tidak mendengar apa pun selain suara detik jarum jam.

Aku merasakan ada angin dingin sedang membelai tengkukku. Entah kenapa aku jadi merinding. Selain itu, aku juga merasa sedang diperhatikan sesuatu dari belakang. Pokoknya aku merasa sangat tidak nyaman.

Aku mengatur napas yang mulai tersengal. Aku melirik temanku. Dia terlihat sedang memejamkan mata. Sepertinya dia sudah sangat berkonsentrasi. Aku juga harus kembali fokus.

Untuk kedua kalinya aku mengambil napas panjang. Lagi-lagi ada angin dingin yang melewati tengkukku. Aku tidak boleh memikirkan itu. Aku harus konsentrasi.

Setelah beberapa saat, akhirnya aku merasa kalau tanganku mulai berat. Itu berarti energi yang dibutuhkan untuk melihat aura sudah terkumpul. Aku melirik temanku lagi. Dia sudah membuka mata.

"Sudah?"

Dia hanya menjawabku dengan mengangguk. Aku lalu membalas anggukannya.

Kemudian, di waktu yang hampir sama, kami menyeret tangan ke bawah. Dan ....

"Aduh!"

Aku spontan berteriak. Temanku cuma melongo melihatku yang tiba-tiba berteriak dan melompat.

Tapi serius. Saat menyeret tangan, aku melihat cahaya yang sangat terang keluar dari bekas tanganku. Rasanya mataku seperti terkena flash bang; buta sesaat. Dan ketika aku melihat bekas yang ditinggalkan tanganku, ternyata warnanya ungu kebiruan.

***

Sekarang sudah satu bulan sejak aku melihat warna aura. Aku berpikir kalau kehidupanku akan baik-baik saja. Namun, aku terlalu naif. Melihat aura rupanya membawa perubahan besar pada diriku.

Sejak saat itu aku merasa sangat sensitif terhadap makhluk astral. Emosiku jadi tidak stabil. Itu karena aku bisa merasakan emosi dari makhluk-makhluk tak kasat mata yang ada di sekitarku. Sederhananya, aku berempati dengan mereka.

Terkadang aku tiba-tiba merasa sedih. Lalu sesaat berikutnya merasa senang. Semuanya tanpa alasan yang jelas dan terjadi begitu saja.

Suatu ketika, aku menginap di rumah nenekku. Di sana ada adik sepupu yang mirip denganku—indigo. Kami tidur di kamar yang sama.

Kami mengobrol tentang cowok yang sedang kami dekati hingga terlelap. Namun, meskipun baru tidur, kami langsung terbangun. Bersamaan. Jam 12 kurang 5 menit.

Aku refleks memanggilnya.

"Nina, kamu masih bangun?"

"Masih, Kak Rani. Tapi sebenarnya tadi aku sudah tidur. Ini tidak tahu kok bangun lagi."

"Perasaanku tidak enak, Nin."

"Sama, Kak Ran."

Kami saling mendekatkan diri. Tampaknya dia juga takut. Aku kemudian menggenggam tangannya, memberinya isyarat kalau semua baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Baru sebentar kami merasa tenang, aku mendengar suara tiang yang dipukul. Di desa ini, pada jam-jam tertentu memang ada orang yang memukul tiang. Jadi itu pasti ulah manusia. Hanya saja, perasaanku masih tidak enak.

Suara "tong tong" terdengar dalam interval yang tetap. Tidak lama setelahnya, suara itu digantikan oleh bunyi alat musik tradisional. Suaranya mirip seperti suling, tapi volumenya lebih keras. Dan di sekitar sini tidak ada orang yang memiliki alat musik tersebut.

Aku dan adikku semakin merapat. Tidak ada lagi jarak di antara kami. Aku bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya.

Begitu bunyi mirip suling itu hilang, aku mendengar suara gemericik yang biasa kamu temui saat naik delman. Dan benar, tidak lama kemudian aku mulai mendengar langkah kaki kuda yang sedang menarik gerobak.

Adikku ini adalah anak yang sangat penakut. Namun sekarang, untuk suatu alasan dia berani mengintip jalan di depan rumah lewat celah jendela. Aku yang juga penakut ini mengikutinya.

Dan kamu tahu? Yang lewat di depan rumahku memang delman, tapi tidak ada kusirnya. Hanya ada kuda dan gerobak.

Adikku lagi-lagi menggenggam tanganku.

"Yang lewat tadi apa, Kak Ran?"

"Delman. Mungkin."

Maksudku, apa hal yang seperti itu masuk akal? Delman tanpa kusir yang berkeliaran tengah malam. Oh kuda, entah apa yang merasukimu.

Belum selesai kami dibuat kaget oleh pemandangan barusan, dari arah yang berlawanan muncul suara sepeda motor. Kalau dipikir-pikir, motor itu bersimpangan delman. Kalau begitu, pasti ada yang tidak beres dengan motor ini.

Bayanganku itu menjadi nyata ketika motor tersebut lewat di depan rumah. Dengan lampu merahnya, motor tersebut melaju tanpa ada yang mengemudi. Hanya ada motor.

Aku dan adikku saling berpandangan.

"Sepertinya saat ini kita sedang berada di dunia lain, Kak Ran."

"Ya. Mungkin."

Author Facebook: Rino Noor Wahanda