webnovel

Chapter 1: Pertemuan

Tidak pernah terpikirkan oleh Anna hari seperti ini akan menimpanya. Dia sengaja menolak tawaran kedua orang tuanya untuk menemaninya hari ini. Anna pikir semua akan berjalan dengan baik dan tak perlu merepotkan mereka. Anna masih terdiam saja dan perlahan mulai sembab matanya. Hari ini berjalan buruk dan Ia tidak melihat wacana lain selain terpuruk.

"Aku tahu ini berat," Kata Dokter di depannya seraya menepuk pundak Anna. "Orang tuamu akan diberi tahu. Sebaiknya kamu pulang saja secepatnya."

"Baik," sebutnya lirih sementara tangannya mulai mengepal kencang. "Berapa lama lagi, Dok?"

"Yang perlu kamu tahu sekarang cuma bersantai di rumah. Semuanya akan kami bicarakan dengan orang tuamu, ya? Semua akan aman selama kamunya nyaman."

Anna tak kembali bertanya. Dia sudah dapat mengerti dari senyum dokter itu setelah jawaban tidak jelas yang dilontarkan. Anna berjalan gontai melewati pintu yang sudah si dokter bukakan. Dokter itu sudah keburu mendapati pasien lainnya ketika Anna keluar, ucapan 'hati-hati di jalan' dilayangkan padanya bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.

"Nyaman apanya," bisik Anna pada dirinya sendiri.

Kertas itu kini sudah kusut dan penuh guratan emosi dari tangan Anna. Vonis dokter yang tertera di sana jelas dan ringkas. Disimpulkan dalam deretan tulisan itu bukan penyakit biasa yang Anna derita. Bukan suatu hal yang akan membuatnya nyaman untuk entah kapan sampai Ia bisa menerimanya. 'Kanker Mata,' suatu kata yang tak pernah Anna bayangkan akan ia dapati berselingan dengan data dirinya.

Anna berhasil mencuri perhatian beberapa orang di rumah sakit itu dengan caranya berjalan. Ia berjalan bungkuk dengan gontainya sembari terus-menerus membaca kertas di tangan. Matanya yang kini semakin buram oleh air mata yang tertampung mulai terasa sakit. Seketika tubuhnya lemah dan segera terduduk di deretan kursi tunggu di dekat lobi rumah sakit. Tubuhnya cukup keras menghantam kursi besi itu hingga kembali mengundang perhatian orang. Anna tidak peduli lagi jika ada yang melihatnya menangis di tengah rumah sakit yang cukup ramai itu.

"Ya Tuhan aku harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan..." rengek lirihnya yang hanya dia sendiri yang bisa mendengar.

Yang Anna tahu selama ini ia adalah gadis SMA biasa yang sehat dan bugar. Ia jarang sakit sedari kecil apalagi sesuatu yang harus sampai rumah sakit tangani. Dia sudah merasa tidak nyaman sejak ayah dan ibu memaksanya untuk berulangkali memeriksakan mata semenjak ia mengeluhkan rasa sakit disertai penglihatan yang buram. Kini setelah semuanya terjawab jelas dia tak lagi bisa menjawab 'paling hanya butuh kacamata' pada mereka. Bahkan Anna tidak bisa membayangkan untuk berapa lama lagi dia dapat memandang wajah kedua orang tuanya.

𝘐𝘣𝘶 𝘮𝘢𝘢𝘧𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶, batin Anna sembari meraih ponsel di saku celana.

Baru Anna akan mengabari keadannya pada sang ibu, yang di seberang sana sudah memborbardir dengan rentetan pesan dan belasan telepon tidak terangkat.

"Ayah sudah di jalan. Yang sabar ya, An."

Satu rangkaian kalimat itu yang Anna pikir sanggup ia baca. Ia enggan mengangkat telepon maupun membaca pesan ibunya yang lain. Cukup yang ia ketahui ia tidak perlu pulang sendiri dan tidak perlu dibuat sedih lagi dengan pesan-pesan ibunya yang ikut terpuruk. Sampai satu pesan baru muncul.

"An, kita nonton film yuk? Ada yang baru tuh di bioskop," tulis teman baiknya, Vani.

Hanya sepatah kata 'maaf' tanpa penjelasan lebih panjang ia kirimkan sebagai balasan. Kebetulan yang sangat tidak pas. Ajakan baik temannya itu kini hanya menambah berat hatinya. Semakin tersadar bahwasanya seorang Anna yang sekarang harus cepat berdamai dengan kemungkinan tidak lagi bisa menggeluti dunia film yang ia nikmati.

"Bisa bertahan sampai kapan ya aku ini...," serunya lirih ketika air mata sudah habis kering di pipi.

Terlalu sibuk meratapi nasib, Anna tidak sadar bahwa ia duduk di depan papan buletin besar milik rumah sakit. Tertempel berbagai slogan dan tips-tips kesehatan di sana. Anna menjelajahi semuanya dari bangku tempat ia duduk sampai satu poster sedang dengan gambar hati besar menculik perhatiannya.

Mata buramnya memerlukan dirinya untuk bangkit. Ia mendekati poster itu dan mendepati tulisan tidak kalah besar dengan gambar hati tempatnya bersemayam. Tulisan itu tidak terlihat familiar dengan 𝘧𝘰𝘯𝘵 huruf yang ia tahu. Seseorang menulisnya sendiri dengan garis-garis tegas yang berbunyi: 'MARI KITA HIDUP 1000 TAHUN LAGI!'

Seketika Anna bingung dengan apa maksud poster itu. Di tengah semangat hidupnya yang tiba-tiba pudar, tulisan itu hadir dengan hiperbola dan gambar hati besar yang kekanak-kanakan.

"Bagaimana menurutmu? Bagus kan?" seru sebuah suara di belakangnya. Seorang laki-laki yang sedari tadi tidak Anna sadari ada di belakang kursinya tiba-tiba bangkit dan menghampiri Anna.

"Bagus," jawab Anna singkat dan sudah akan beranjak pergi meninggalkan lokasi itu.

"Tunggu!" seru laki-laki itu sembari mengejutkan Anna dengan menggapai tangannya, "tidakkah terlalu dini untuk menyerah?"

𝘈𝘱𝘢-𝘢𝘱𝘢𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘪?! Anna menyelidik cepat seluruh tubuh laki-laki mencurigakan ini sampai matanya tertoreh pada lembaran kertas yang dikempit olehnya.

Adalah kertas dengan tipe yang sama yang sekilas Anna lihat, sebuah vonis dokter. Tulisan-tulisannya terlihat lebih padat dan pepat serta lembarannya terlihat lebih tebal dari milik Anna. Kesimpulan cepat yang didapati adalah apa yang dialami oleh seorang di depannya lebih rumit dari kelihatannya. Keheningan sekejap yang diciptakan diantara mereka berdua buyar sesaat setelah Anna kembali mendekat.

"Agram," kata laki-laki itu sambil senyum ditorehkan bersamaan dengan jabat tangan, "kamu?"