"Yang benar saja, Pa?! Mentang-mentang Mama agak tulalit, trus Papa mempermainkan Mama? Papa nggak boleh begitu. Mama kan nanyanya beneran," Camelia memandang sebal suaminya.
"Tsk. Mama juga, kok konyol sekali. Bram itu jelas laki-laki tulen, mana bisa hamil apalagi melahirkan. Udah, ah. Ayo, cepetan kalau mau ikut ke rumah sakit. Papa sudah tidak sabar bertemu dengan Bram."
Camelia dengan cepat mengganti pakaian tidurnya dengan celana training dan t-shirt lengan panjang yang kemudian dilapisi dengan cardigan berwarna abu-abu tua senada dengan t-shirt yang ia kenakan.
Tiga puluh menit kemudian, Albert dan Camelia tiba di rumah sakit yang dimaksud Bramastyo. Dengan langkah sedikit tergesa, keduanya segera menuju ruang intensif, mencari keberadaan putra sulung mereka.
Lima puluh meter dari tempatnya berada, Albert bisa melihat beberapa pria tengah berdiri di depan ruang intensif. Entah siapa yang sedang mereka jaga. Salah satu dari pria itu memutar badannya, hingga tatapannya bersiborok dengan manik mata Albert yang masih mencari keberadaan Bramastyo. Pria itu langsung membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Albert lalu menghampiri Albert.
"Tuan Besar..."
"Di mana putraku, Billy?" Tatapan dingin Albert menghujam pria itu.
"Tuan Muda sedang berada di ruang konsultasi dokter, Tuan."
"Jack?"
"Tuan Jack menemani Tuan Muda, Tuan."
"Tunjukkan padaku di mana ruang konsultasi yang kau maksud!"
Mereka bertiga meninggalkan ruang ICU. Mereka lantas berbelok ke kanan lalu berhenti di depan ruangan dengan tulisan Spesialis Penyakit Dalam. Billy langsung mengetuk pintu itu.
"Tuan Bram, Tuan Besar ada di sini." Billy sedikit mengeraskan suaranya agar terdengar Bram dari dalam.
Pintu ruangan itu terbuka, lalu muncullah wajah Jack, mempersilahkan Albert dan Camelia untuk masuk ke dalam. Bramastyo berdiri dari kursinya memberi tempat kedua orang tuanya untuk duduk di sebelahnya.
"Ada apa ini, Bram?" Albert menatap Bram dengan tatapan bingung. "Mengapa mereka bergerombol di depan ruang ICU? Siapa yang sedang mereka jaga?"
"Saya akan memberi waktu kepada Tuan untuk berdiskusi terlebih dahulu." Sang dokter meninggalkan Bram dan kedua orang tuanya.
Camelia menatap Bram dengan seribu satu pertanyaan. Bram terlihat begitu kelelahan. Wajah yang biasanya segar dengan rambut yang selalu tersisir rapi, untuk sekarang ini, terlihat begitu kumal dan kusut. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah anaknya baru saja selamat dari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh rival bisnisnya?
Camelia berjalan mendekati Bram yang kembali duduk setelah melepas kepergian sang dokter.
"Sayang, sebenarnya ada apa ini? Apa yang sudah terjadi? Siapa yang sedang sakit?" Camelia mengamati wajah putranya dengan seksama. Nalurinya sebagai ibu kali ini tidak bekerja dengan baik. Konsentrasinya terpecah antara keadaan Bram yang saat ini duduk di depannya dan sosok yang sedang berada di dalam ruang ICU.
Bramastyo mengangkat wajahnya. "Ma, Bram berhasil menemukan Adelia. Anak Mama yang cerewet itu sudah berhasil kita temukan." Suara Bram bergetar, berusaha menahan emosinya.
Camelia mundur beberapa langkah. "Sayang, kamu sedang bercanda kan? Tadi pagi Papamu sudah membohongi Mama, katanya kamu melahirkan di rumah sakit ini, dan sekarang giliran kamu mengatakan hal yang lebih tidak masuk akal lagi."
Demi apa pun, Tuhan. Albert memijat-mijat keningnya. "Terima kasih, Tuhan, sudah Kau berikan padaku seorang istri yang begitu cantik dan lucu. Mama, mama. Lebih tidak mustahil mana, pria yang tiba-tiba bisa melahirkan atau menemukan putrimu yang telah lama hilang?" Gumam Albert dalam hati.
Albert menghampiri Bramastyo. "Kamu berhasil menemukan Adelia, Bram? Yakin jika dia benar-benar Adelia, adikmu yang hilang delapan tahun yang lalu? Anak papa yang paling tidak bisa diam? Satu-satunya yang bisa menandingi kecerewetan mama kamu?"
Bramastyo mengangguk dengan sangat yakin. Ia lantas memapah sang mama ke luar dari ruangan itu, berjalan menuju ruang ICU, namun ketika tinggal beberapa langkah dari pintu masuk ICU, Dokter Anwar yang tadi berbicara dengannya di ruang konsultasi, berjalan ke luar dari ruangan ICU diikuti dengan iring-iringan perawat yang mendorobg brankar, dengan seorang gadis yang masih terbaring dengan lelap di atasnya.
"Kondisi pasien sudah berangsur membaik dan bisa dipindahkan ke kamar inap. Saya akan datang lagi besok pagi." Dokter itu pergi meninggalkan Bram.
"Pindahkan ke kamar kelas terbaik." Bramastyo memerintahkan Jack untuk memindahkan kamar Adelia dari kelas dua menjadi kelas VVIP. Camelia yang masih membisu, mengikuti dari belakang dengan menggenggam erat tangan Albert. Ia merasa tidak bertenaga dan belum siap untuk bertemu dengan gadis itu. Rasa tidak percaya membuatnya menolak untuk menerima kenyataan jika putrinya yang telah lama hilang, sudah ditemukan kembali. Ia merasa tidak mungkin hal hebat seperti ini terjadi padanya.
"Mama.." panggil Bram selembut mungkin. Ia tahu jika mamanya syok, merasa kemustahilan ini nyata terjadi. Tidak juga mendapatkan respon, Bram mendekati Camelia dan menuntun wanita yang begitu ia sayangi, mendekati sosok gadis yang masih terbaring, lelap dalam tidurnya.
Camelia mengikuti Bram namun kedua matanya enggan melihat gadis itu. Ia melempar pandangan ke arah yang berlawanan. "Jangan, Bram! Mama belum siap untuk melihatnya. Adelia tidak mungkin kembali. Mama tidak yakin jika itu adalah adikmu." Reaksi yang sangat mengejutkan bagi Bramastyo. Ia mengira mamanya akan menangis bahagia mengetahui Adelia berhasil ditemukan.
Bram menatap Albert yang kini tengah terpaku menatap gadis yang terbaring di depannya. Raut wajahnya seketika berubah. Tangan Albert menarik-narik tangan Camelia. "Ma! Lihatlah! Sebentar saja, Ma!"
Camelia yang bersikukuh tidak ingin menatap gadis itu, terus saja ditarik-tarik oleh Albert. Hingga akhirnya posisi berdiri yang kurang tepat, membuatnya jatuh terhuyung hampir menimpa gadis itu, jika tidak segera ditarik oleh Albert. Posisinya yang berada tepat di atas gadis itu, mau tidak mau membuatnya menatap sosok lemah di depannya, yang tengah terlelap.
Tubuh Camelia mendadak kaku. Wajahnya menjadi pucat pasi. Tubuhnya terlihat bergetar. Getaran yang awalnya pelan, kemudian menjadi getaran hebat disertai isakan tangis. "Kamu benar-benar Adelia? Benar-benar Adelia?" Camelia semakin kesulitan untuk mengontrol suara tangisannya.
Kelopak mata gadis itu bergerak-gerak pelan. Entah karena efek obat penenang yang mulai hilang atau karena suara tangisan Camelia, membuatnya terbangun dan kini mulai perlahan membuka matanya.
Albert memeluk Camelia. Mereka berdua menatap gadis itu dengan seribu satu perasaan.
"Kakaak..." suara parau ke luar dari bibir gadis itu. Bramastyo bergegas mendekati pembaringan Adelia di sisi kanan. "Adelia? Sudah sadar? Apa kau perlu sesuatu?"
Adelia menggelengkan kepalanya. Tatapan matanya beralih ke sebelah kanannya, memandang Albert dan Camelia dengan pandangan bingung. "Mmm, apakah itu Pa-Papa?" Suara Adelia masih sangat lemah, hingga Albert sedikit kesulitan untuk memahami ucapan Adelia.
"Apakah kau sudah lupa dengan kami?" Albert menggenggam tangan Camelia dengan sangat erat, seperti meminta tambahan kekuatan untuk menopang dirinya yang tengah menahan ledakan rasa bahagia di dalam hatinya. Camelia sendiri sibuk dengan dirinya sendiri, antara memilih mempercayai indera penglihatannya atau mengikuti rasa tidak percaya yang sejak semula memang bersemayam di dalam dirinya. Rasa untuk menolak kehadiran Adelia.
"Papa.... Mama ..." ucap Adelia lirih sebelum akhirnya kembali menutup matanya. Adelia pingsan.
"Adeeeel!" seru Camelia histeris.