webnovel

Bukan Keinginanku

"Harus berapa kali aku bilang sama kamu kalau itu anak aku! Bukan anaknya Andra! Aku tekankan lagi, itu anak aku!" ucap Rafli pada handphone yang menempel di telinganya itu. Dia tadi hendak keluar dari mobilnya, namun setelah melihat ada banyak panggil masuk yang tak terjawab, dia mengurungkan niatnya dan kembali terduduk lagi, lalu menghubungi Diandra yang menelfonnya.

[Makasih ya, Raf ... kamu datang di waktu yang tepat banget, aku janji kalau aku gak akan pernah sia-siain ketulusan kamu, aku gak akan pernah nyakitin hati kamu.]

[Dii? Diandra?]

Rafli mengerutkan alis saat mendengar suara seseorang dari seberang telepon. 'Itu kaya suara ibunya Diandra,' ucap Rafli di dalam hati.

[Raf? Mama panggil aku, aku matiin dulu ya.]

"Jangan di mat—"

Pip_

"Ck! Sial!" ucap Rafli saat Diandra mematikan sambungan teleponnya sepihak sebelum mendengarkan ucapannya terlebih dahulu."Ini mereka mau marahin Diandra lagi atau mau apa ya?" Rafli menggigit bibir bawahnya, "Samperin jangan ya? Kalau disamperin, orangtuanya nanti marah lagi, tapi kalau gak di samperin, aku takut Diandra malah di apa-apain. Ck! Bingung!" gumam Rafli.

Rafli masih terduduk di posisinya, enggan keluar dari mobil dan masuk ke apartemennya, dia masih menunggu Diandra untuk menghubunginya.

10 menit, 20 menit Rafli menunggu, hingga di menit ke 21, Rafli memakai lagi seatbelt-nya dan memundurkan lagi mobilnya, keluar dari basement apartment hendak ke rumah Diandra.

15 menit kemudian saat Rafli mengemudikan mobilnya. Lamunannya yang sedang memikirkan Diandra itu buyar seketika saat mendengar nada suara panggilan masuk.

Rafli sontak langsung merogoh saku kemejanya dan mengambil handphone, dia menatap layar handphonenya dan melihat nama yang tertera di layar handphonenya.

"Diandra," gumam Rafli saat membaca nama di layar handphonenya, dia lalu menggeser panel hijau dilayar handphonenya dan menempelkan handphone itu di telinganya. "Halo, Dii? Kamu gak pa-pa kan?" tanya Rafli.

[Aku gak pa-pa, Raf.]

Terdengar nada suara Diandra yang sedikit gemetar, membuat Rafli yang mendengarnya langsung tak enak hati. "Serius kamu gak pa-pa?" tanya Rafli.

[Iya, serius aku gak pa-pa, kamu bisa ke sini sekarang?]

Rafli mengerutkan alis bingung. "Ke ... ru–mah ka–mu maksudnya?" tanya Rafli.

[Iya, ke rumah aku ... sekarang.]

"Ini aku udah di jalan mau ke rumah kamu kok," ucap Rafli.

[Ya udah ... aku tunggu ya.]

"Iya, gak lama lagi aku sampe," ucap Rafli.

[Aku tunggu di depan pager.]

"Iya, Sayang," jawab Rafli, dia lalu mematikan sambungan teleponnya dan fokus menyetir. "Kok tadi dia kek nahan nangis ya? Dia kenapa?" gumam Rafli, dia semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Dan beberapa menit kemudian, mobilnya kembali terparkir di depan pintu pagar rumah Diandra lagi. Dia melihat Diandra yang sedang berdiri di depan pagar.

Rafli langsung melepas seatbelt dan keluar dari mobilnya, lalu langsung berjalan cepat mendekati Diandra.

"Kamu kok di luar? Ngapain?" tanya Rafli. "Dii? Kamu ... gak di usir kan?" tanya Rafli.

Diandra mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku gak diusir," jawab Diandra dengan nada santai.

Rafli yang melihat Diandra terlihat santai itu sontak mengerutkan alis.

***

45 menit yang lalu.

"Diandra? Dian?" panggil seseorang di luar pintu.

Diandra yang baru saja menutup sambungan telepon dari Rafli itu sontak langsung berjalan ke arah pintu kamar. "Mama mau apa ya? Dia nyamperin aku bukan untuk nyiksa aku lagi kan?" gumam Diandra saat dia sudah berdiri satu langkah di depan pintu kamarnya.

"Diandra? Buka pintunya, Mama mau ngomong," ucap Amira lagi dibalik pintu.

"Mudah-mudahan enggak deh, perasaan mama gak sejahat itu kok," gumam Diandra, dia lalu berjalan dengan langkah ragu, lalu membuka pintu kamarnya dan menatap sang Ibu yang berdiri di depan pintu kamarnya, serta Ayah dan juga Adiknya yang berdiri di belakang sang Ibu. "Kenapa?" tanya Diandra seraya menelan salivanya saat melihat mimik wajah kedua orangtuanya.

"Bener yang dibilang sama Dennis?" tanya Amira.

"Hm?" Diandra menatap Amira lalu menatap Dennis.

"Beneran kamu dijebak?" tanya Amira lagi.

Diandra menelan salivanya. 'Haruskah aku mengiyakan ucapan Mama? Tapi ... itu artinya aku berbohong, tapi kalau aku jujur juga kasian Rafli, dia udah mau berkorban buat aku, masa iya aku sia-siain perjuangannya dia,' batin Diandra berucap.

"Jawab Diandra! Bener atau enggak?" tanya Amira dengan nada sarkas. "Jangan diem aja! Mama butuh jawaban kamu!" ucap Amira.

"I-iya ... be-bener," ucap Diandra dengan nada gugup.

"Kenapa kamu gak bilang dari awal hah?" tanya Amira dengan mata yang terbuka sempurna memelototi putrinya. "Kenapa kamu gak bilang kalau kamu melakukan hubungan itu dengan paksaan dan bukan atas dasar suka sama suka?"

"Kalau Mama jadi aku, emang Mama bakalan kuat? Gak bakalan shock? Walau Mama cinta sama dia, tapi harus melakukan itu bukan atas dasar saling mau tapi karena paksaan, emang setelahnya Mama masih bisa ngomong sesuatu? Masih busa mikir positif? Enggak, Ma! Waktu itu aku bingung, aku stress, aku shock! Aku marah kenapa aku gak bisa jaga diri, kenapa waktu itu aku mau aja di ajak pergi sama laki-laki keparat itu! Aku nyesel! Kalau aja aku tau akhirnya aku bakalan kayak begini, ya aku gak mau!" ucap Diandra, ucapannya yang tertuju pada Andra itu seketika membuatnya semakin kesal.

Amira diam tak menjawab ucapan putrinya.

"Aku bingung harus gimana! Kalau aja Rafli gak tau kalau aku lagi hamil, udah aku pastiin saat ini kalian bukan melihat aku ada di sini, tapi di rumah sakit! Aku udah bingung banget gimana caranya bunuh anak ini, gimana caranya nyingkirin dia! Gimana caranya biar hidup aku balik normal lagi! Tapi Rafli malah tau dan minta aku untuk mempertahankan anak ini!" ucap Diandra lagi.

"Tunggu, Kak. Jadi ... selama ini Kakak naruh hati juga sama Kak Rafli?" tanya Dennis.

Diandra langsung diam tak berucap, maksud ucapannya tadi tertuju pada Andra, bukan Rafli. Tapi dia lupa kalau seluruh keluarganya mengetahui kalau Rafli lah yang menghamilinya.

"Kak?" panggil Dennis lagi.

"Apa sih, Nis? Udah ... kenapa sih? Jangan tanya-tanya Kakak terus! Kakak pusing! Kalau kalian gak mau anaknya lahir ya udah, gugurin aja! Besok anter aku ke bidan, rumah sakit, atau dukun sekalian aku gak peduli! Aku gak mau pusing! Aku capek disalahin terus padahal aku juga gak mau hal kayak beginian terjadi! Kalau kalian gak suka sama Rafli dan gak ngebiarin Rafli nikahin aku ya udah ... besok kita gugurin janinnya, paling nanti aku juga ikut mati!" ucap Diandra merasa kesal.

Bersambung