webnovel

Bab 36.Bertemu di Doktor Kandungan

-Terjebak Menjadi Simpanan-

"Kirana."

Degh...

"Sedang apa di sini?" Rafael bertanya bingung.

Kirana terdiam beberapa saat. Kesedarannya sudah pulih, walau ia sempat tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang paling ia benci.

Rafael Atmaja..

Apalagi melihat mantan kekasihnya itu terlihat baik-baik saja setelah menghancurkan perasaannya.

Tanpa merasa bersalah bergandengan tangan dengan tunangannya. Seolah mereka pasangan paling bahagia di muka bumi ini.

'Benar-benar sialan.'

Kirana mengumpat dalam hati. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan arat. Rasa kesal itu kembali muncul.

"Kau sedang apa di poli kandungan?"

Suara Aurora membuat keduanya tersadar.

Rafael mengamati ke arah pandangan sang tunangan. Tentu saja mereka tengah berdiri tepat di depan antrian poli kandungan.

Sementara Kirana langsung merutuki kebodohannya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya menahan rasa kesal.

'Harusnya mereka tidak bertemu di sini.'

Kirana mendongak. Ia melihat Rafael yang kini menatapnya dengan penuh tanda tanya besar.

"Kenapa kau ke dokter kandungan?"

"Jangan salah paham." Kirana berseru dengan cepat. "Aku tidak sedang ke dokter kandungan. Aku hanya lewat. Apa kalian tidak melihatku yang akan beranjak sebelum kalian menabrakku tadi."

Keduanya terdiam. Mereka berpikir beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk paham.

"Maaf ya. Kami sedang buru-buru. Setelah ini kami masih ada janji untuk fitting gaun pengantin. Benar kan, Sayang?" Aurora berseru penuh kebanggaan.

'Siapa yang peduli.'

Kirana memutar bola matanya jangkel. Jika dibiarkan bicara terlalu lama dengan pasangan di depannya itu, mungkin kewarasannya juga akan terganggu.

"Sepertinya tidak ada yang perlu kita perdebatkan lagi. Kalian sibuk, akupun juga sama. Jadi sampai jumpa, " ucap Kirana.

Wanita itu berpura-pura beranjak dari antrian. Seolah membuat alibi jika ia memang tidak ada janji dengan dokter kandungan.

"Kirana, tunggu. Boleh kita bicara sebentar?"

Kirana menghentikan langkahnya. Ia berbalik, mengangkat alisnya beberapa saat.

Namun belum sempat ia membuka suara. Aurora lebih dulu protes. Wanita yang menjadi tunangannya Rafael itu menatapnya dengan pandangan penuh permusuhan.

Kirana tersenyum sinis. "Maaf Rafael. Aku sedang buru-buru."

"Ayo." Aurora menarik lengan Rafael. Mencegah tunangannya itu bicara lebih jauh dengan sang mantan pacar.

Sepeninggal keduanya. Kirana menghela napas lega. Ia kembali ke antrian untuk menunggu namanya di panggil untuk konsultasi.

****

Kirana mengirimkan pesan pada Mahesa jika ia sudah melakukan yang laki-laki itu mau.

Wanita itu melirik arlojinya. Ia bergegas kembali ke restoran tempatnya bekerja. Karana hari ini ia hanya minta izin setengah hari.

"Kirana."

Kirana menoleh ketika ada yang memanggilnya. Wanita itu menyipitkan mata, meyakinkan jika pandangannya kali ini tidak salah.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri. Rafael berjalan kearahnya. Rupanya laki-laki itulah yang tadi memanggilnya.

Kirana menghela napas panjang. Alisnya mengerut bingung ketika tidak mendapati Rafael bersama tuanngannya tadi.

"Kirana. Bisa kita bicara." Rafael berseru.

"Kau sendirian? TUNANGANMU tidak ikut?"

Kirana sengaja menekankan kata 'tunangan' hanya karna ia kesal.

Rafael mengelingkan kepalanya. "Aku menyuruhnya pergi sebentar."

"Memangnya dia percaya?"

Bahkan dilihat dari sisi posesifnya tadi, Kirana yakin sosok Aurora itu sama menyebalkannya dengan tante Claudya.

Rafael mengangkat bahunya. "Dia baik-baik saja. Jangan khawatirkan dia."

"Ck! Kau pikir aku bodoh mengkhawatirkan wanita yang merebut kekasihku sendiri."

"Kirana, please. Aku tidak ingin membahas ini lagi ketika kita berdua."

'Bodoh!'

Rafael mengehla napas panjang. Laki-laki itu kembali menatap Kirana denagn tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Kirana, bisa kita bicara sebentar."

"Kita memang sedang bicara saat ini."

"Bukan, maksudku bicara di tempat yang lebih privat. Mobilku tidak jauh dari si-"

"Rafael! Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu untuk membicarakan hal tidak penting denganmu. Selain itu apa perlu aku ingatkan jika hubungan kita sudah selesai."

Rafael langsung terdiam. Laki-laki itu mungkin mengerti jika dia sedang dibenci saat ini.

"Baiklah. Tapi tolong waktunya sebentar ini tidak akan lama. Kita bicara di sini saja kalau begitu."

Kirana mendenggus pelan. "Apa yang ingin kau bicarakan dengaku."

"Bagaimana kabarmu?"

Kirana mengerutkan dahinya. "Kau hanya ingin menanyakan hal tidak berguna seperti itu? Baik akan aku katakan. Aku sedang tidak baik-baik saja. Dalam satu hari perasaanku dihempaskan ke dasar yang paling dalam. Apa kau pikir aku masih baik-baik saja setelah mendapatkan penghinaan besar?" Kirana mengeling.

"Bahkan kekasihku yang paling aku percayai ternyata berkhianat di belakangku. Sekarang puas kau!"

"Kirana aku-"

"Berhanti mengkhawatirkanku Rafael Atmaja. Aku tidak ingin lagi berhubungan denganmu. Jangan mengerusikku lagi."

"Aku hanya mengkhawatirkanmu Kirana, tolong jangan mengangapku seperti musuh besarmu."

Kirana tertawa. Ia tidak tau lagi harus mengatakan apa pada laki-laki di depannya itu. Seolah Rafael sendiri tidak sadar jika selama ini dialah yang menjadi sumber pernderitaannya.

"Itu kenyataan Rafael. Kau tidak perlu sok memperhatikannku, karna kebahagianku akan muncul jika kau menjauh sejauh mungkin atau menggilang sekalian."

Setelah mengatakan itu Kirana langsung berlalu. Ia tidak peduli dengan reaksi Rafael yang memintanya untuk bicara sekali lagi. Karna bagi Kirana semuanya sudah usai.

kirana menahan diri agar ia tidak berbalik kebelakang. Tidak ada lagi cinta tulus yang selama ini ia agungkan.

Yang ada hanya dendam, dendam dan dendam.

Kirana mengudap air matanya yang hampir menetes. Emosinya jadi naik turun karna pembicaraan tadi.

"Suatu saat, kalian akan merasakan kehancuran yang sangat parah."

****

Sektretaris Roy menjemputnya tepat pukul tujuh malam. Laki-laki itu menyapanya dengan sopan, seolah ia seorang nona besar. Bukannya seorang wanita simpanan.

Kirana tidak bicara apapun. Ia hanya diam ketika mobil melaju dengan tenang. Sekretaris Roy juga tidak mengatakan apapun.

Suasana di dalam mobil berubah sepi. Hanya ada deru halus mobil dan deru napas Kirana yang sedikit tegang.

Wanita itu menghela beberapa kali. Pandangannya menatap keluar jendela. Menatap pemandangan gemerlab lampu di pinggir jalan.

Jalanan yang ramai perlahan semakin menyitanya. Sampai mobil berbelok ke kawasan elit di pusat kota.

"Apa rumah tuan Mahesa berada di kawaaan ini?" tanya Kirana.

Ia tidak terlalu mengetahui tentang kawasan elit itu.

"Tidak, Nona."

Kirana mengerutkan dahinya. "Bukankah kita akan menemui majikamu itu?"

Sekretaris Roy menganguk pelan. Disaat yang bersamaan mobil mereka melambat dan berhenti tepat di depan pintu utama gedung.

"Mari turun Nona, kita sudah sampai."

"Ah, baik." Kirana berseru canggung.

Manik hitamnya membesar ketika melihat tempat mewah di depan matanya. Ia sering melihat gedung ini ketika lewat, tapi ia tidak pernah berpikir akan memasuki tempat elit ini.

"Nona, mari."

Sekretaris Roy membimbing Kirana menuju sebuah lift khusus untuk menuju ke area atas gedung.

"Apa ini lift khusus?"

"Benar Nona. Nantinya hanya anda, tuan dan beberapa orang yang dipangil untuk merawat kebersihan penthouse yang boleh mengenakan lift ini."

"Kenapa? Maksudku, apa aku juga di perbolehkan menggunakan lift ini di lain waktu?"

Sekretaris Roy menganguk. "Tentu saja Nona, karna penthouse ini akan menjadi milik anda."

"APA!"

To be continued....