webnovel

Bab 18.Sebelum Pertemuan

-Terjebak Menjadi Simpanan-

Waktu berlalu dengan cepat. Janji kencan yang dikatakan oleh Rafael adalah besok. Tidak ada persiapan khusus untuk Kirana. Ini bukan yang pertama kali mereka kencan, setidaknya sudah ada ratusan hari yang sama selama hubungan tiga tahun mereka.

Biasanya ia akan merasa senang, haru dan mempersiapkan segalanya untuk kencan mereka. Tapi tidak untuk yang satu ini.

Kirana sangat mencintai Rafael, tapi mengingat kejadian malam itu, ditambah lagi dengan sikap orangtuanya yang jelas menolak kehadirannya. Kirana menjadi was-was. Kepercayaan pada sang kekasih berkurang, begitu pula dengan rasa percaya dirinya.

Ia merasa kekasihnya itu juga tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

Kirana memejamkan matanya, merasakan hembusan angin malam yang menerbangkan rambut kecilnya.

"Kau sedang apa?"

Degh …

Kirana membuka matanya. Wanita itu langsung menoleh ke samping. Nita menatapnya dengan raut tidak terbaca.

"Eh?"

Kirana berpikir cepat. Wanita itu terkekeh sendiri ketika mengingat jika mereka sedang berjalan kaki ke rumahnya dari halte.

"Bukan apa-apa. Aku hanya menikmati angin. Beberapa hari ini cuaca terlalu panas."

"Otakmu bermasalah? Kemarin hujan, tadi juga hujan."

Kirana menyengir pelan. Wanita itu tidak menanggapi lagi. Langkahnya semakin cepat sampai mereka berhenti di depan teras dengan penerangan redup.

"Rumahmu sepi?" Nita berseru. Wanita itu mengikuti langkah Kirana yang tengah membukakan pintu.

Setelah mereka pulang dari restoran. Nita mengikuti Kirana, karna sahabatnya itu berjanji akan memberikan beberapa buku referensi untuk tugas kuliahnya.

Yah, Nita memang seumuran dengan Kirana. Hanya saja wanita itu pernah cuti kuliah selama dua semester. Mau tidak mau, ia masih tinggal dua semester sementara Kirana baru saja meraih gelar sarjananya.

"Masuklah," seru Kirana.

Wanita itu meletakkan payung dan sepatunya ditempat biasa, Kemudian menyalakan lampu ruang tengah.

"Kau berani sendirian di rumah? Yah meski rumah ini tidak besar, tapi tetap saja. Lingkungan di sekitar sini sedikit sepi." Nita bergidik pelan.

Wanita itu tengah membayangkan ketika mereka berjalan kaki dari halte. Meski tidak terlalu jauh, tapi tetap saja ia merasa tidak aman.

"Kenapa memang? Ini tidak se-horor yang kau bayangkan. Jangan lebay." Kirana terkekeh ketika mengatakannya. Wanita itu meletakkan tas kecilnya di atas sofa, kemudian melangkah ke kamarnya.

Ketika Kirana mencari-cari tumpukan buku yang diinginkan sahabatnya. Nita justru mengalihkan pandangannya, menyapu keadaan rumah Kirana yang jauh lebih sepi dibandingkan yang ia pikirkan sebelum ini.

"Kakamu belum datang?" Nita bertanya. Walaupun mereka berdua di rumah ini, Nita masih merasa takut.

"Ah, Kak Nina kadang lembur." Kirana berteriak dari dalam kamarnya.

"Memangnya kakamu kerja apa?"

"Entahlah. Hanya perusahaan kecil."

Nita mengangguk paham. Ia tidak terlalu sering ke rumah Kirana. Selain keadan rumah sahabatnya itu sedikit horor, ia juga tau rumah ini kadang sangat sepi.

"Kau sendirian kalau begitu? Serius? Ini rumah sepi dan errr-" Nita meneguk ludahnya dengan susah payah. Terjebak di ruang tamu sendirian baginya terasa berada di dalam rumah angker, mengingat ia seorang penakut.

"Oh, astaga. Kau pikir rumahku sarang setan apa. Jangan cerewet, aku sedang mencari buku penting yang menyangkut kehidupanmu." Kirana kembali berteriak. Suaranya kali itu terdengar sedikit kesal.

Ayolah, mana ada orang yang tidak kesal saat temanmu sendiri mengatakan secara tidak langsung rumahmu adalah tempat yang angker.

Brakk …

"Yahh!!"

Kirana terkejut ketika Nita tiba-tiba datang dengan membuka pintu dengan kasar. Nafasnya naik turun, seolah ia sedang dikejar-kejar seseorang.

"Kau pikir rumahku taman bermain?" Kirana menyindir. Wanita itu meringis, tumpukan buku lima kilo yang ia bawa jatuh mengenai kakinya.

"Sorry. Aku takut, jujur saja rumahmu gelap dan menakutkan." Nita mengangkat jarinya tanda permintaan maaf. Wanita itu kemudian menghampiri Kirana, duduk di atas kasurnya dengan pelan.

"Mau aku bantu?"Kirana mengeling. "Sudah ketemu." Ia bangkit, meletakkan buku besar tepat di samping Nita.

"Aku cari pembungkusnya dulu."

Nita langsung melototkan matanya. Ia meraih lengah sahabatnya. "Kau mau meninggalkanku lagi?"

Kirana mengerutkan alisnya kebingungan, sebelum ia menepis lembut genggaman Nita. "Apaan sih. Aku cuma cari kardus di dapur."

"Itu jauh."

"Oh, astaga." Kirana menggeram pelan. Setakut-takutnya dia mana pernah bertingkah seperti Nita.

Kirana menghela napas kesal. Ia membungkukkan tubuhnya, menatap Nita.

"Hanya sebentar. Kamarku ini tempat teraman. Tidak aka nada hantu atau setan yang datang ke sini, ok." Kirana berusaha keras untuk menyakinkan.

"Sungguh?"

"Ya."

Nita mengangguk. Wanita itu tampak lebih tenang. Sementara Kirana melangkah ke luar kamar. Bibirnya tersungging kecil.

"Ah, aku lupa. Kata orang, setan itu suka sama orang yang penakut."

"YAHH!! KIRANA DANIARA."

****

Kirana masih tertawa ketika mereka duduk di sofa depan. Menatap raut sahabatnya yang masih jengkel karena dirinya.

"Tertawa saja sepuasmu." Nita menyindir.

"Sorry." Kirana mengangkat tangannya, berusaha keras untuk tidak tertawa kembali. Ia berdehem, "Ngomong-ngomong, apa kau mau pulang sekarang? Akan ku antar ke halte."

Nita mendekap bungkusan buku yang Kirana berikan, sebelum kemudian mengangkatnya tanpa beban.

Kirana mengedipkan matanya beberapa kali. Bagaimana bisa wanita sekuat sahabatnya itu takut hantu? Kirana mengeling seraya tertawa kecil.

"Ayo."

Kirana mengangguk, ia bangkit mengikuti Nita yang berjalan di depannya sebelum mengunci pintu rumah.

"Rafael mengantarmu dua hari ini." Nita membuka suara.

"Hn, dia menjemputku karena dua hari ini hujan turun."

"Romantis sekali," sindirnya kaku.

Kirana mendenggus. Entah kenapa ia tidak suka dengan apa yang Nita katakan. Jika dulu mungkin ia merasa terharu dan membenarkan perkataan Nita tentang betapa romantisnya kekasihnya itu. Tapi kini tidak lagi, ada sedikit rasa kecewa dan ketidakyakinan.

"Dia mengajakku kencan besok," lanjut Kirana dengan suara kecil.

Nita mengerutkan alisnya. Menatap Kirana dengan pandangan bingung. "Kalian sudah balikan? Kau tidak marah lagi padanya?"

Kirana tidak menjawab. Wanita itu hanya mengangkat bahunya dan kembali melangkah lebih cepat lagi.

"Aku hanya ingin memberinya kesempatan."

"Kau sudah memastikan jika foto waktu itu pacarmu?"

Kirana mengeling, rautnya berubah tegang. Ia masih belum mengatakan tentang parfum wanita yang diciumnya di mobil sang kekasih. Juga tentang perjodohan yang dikatakan orang tuanya Rafael.

"Aku akan menyelidikinya lagi. Anggap saja kencan ini sebagai dua anak panah," jelasnya.

Nita menghela pelan. "Dimana kau akan berkencan?"

"Kenapa? Kau ingin ikut?"

"Cik, yang benar saja." Nita menggerutu kesal. "Aku hanya tidak percaya pada pacarmu itu. Jika dia macam-macam aku akan memukulnya nanti."

Kirana tertawa, "Kami kencan di tempat biasa, restoran jepang. Selain itu, ini bukan kencan pertama kami."

"Tetap saja kau masih sama bucinnya seperti dulu. Bahkan ketika kebenaran di depan matamu kau hanya menganggapnya angin lalu. Pacarmu itu berselingkuh, harusnya kau melihatnya."

Kirana tersenyum kecut. Ia tidak mengatakan apapun sampai sang sahabat masuk ke dalam bis yang menjadi tujuannya. Manik hitam itu terdiam menatap kepergian Nita.

"Sepertinya tidak lagi."

To be continued....