Defian terbaring lemas di tempat tidur yang sudah beberapa hari ini dia tempati. Tidak terasa suda menginjak hari ke tujuh dia berada di rumah Sebastin. Sama seperti hari-hari sebelumnya, saat ini dia sangat kesulitan bangun dari tempat tidur apa lagi untuk berdiri dan berjalan. Sangat sulit untuk dilakukannya.
Selama seminggu penuh, Sebastin sama sekali tidak memberikan waktu istirahat penuh untuk Defian. Setiap hari, dua sampai tiga kali ia akan berguling-guling di seprei dengan Sang istri. Aktifitas panas itu akan selalu dihentikannya pada saat Defian jatuh pingsan. Defian berpikir pria itu terlalu kuat dan bertenaga.
Defian melihat pakaian yang dia kenakan saat ini di tubuhnya. Jujur saja dia merasa sangat kesal, Bagaimana tidak; Selama seminggu ini, Sebastin selalu saja memberikannya pakaian tampa adanya pakaian bawah (celana) yang menutupi area sensitifnya.
Sangat cabul, itulah yang dipikirkan Defian Mahesa.
Saat ini sudah pukul 4 sore.
Jam 4 sore adalah waktu dimana Red dan Blue menghentikan proses belajar mengajar. Atau bisa di katakan jam pulang.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok tinggi dan tampan yang saat ini masih menggunakan seragam sekolah lengkap. Siapa lagi kalau bukan Alfano Mia Sebastin.
Sebastin masuk kedalam kamar dengan setumpuk tinggi kertas di tangannya dan menaruhnya di atas meja.
Defian bangun dari tidurnya dengan bantuan Sebastin yang menopangnya. Sungguh seperti orang lumpuh.
Defian melihat tumpukan kertas itu dan bertanya pada Sebastin yang saat ini sudah duduk di sampingnya sambil memeluk pingganya,
"Apa itu pekerjaan rumahmu?"
Sebastin menurunkan kepalanya dan mencium serta sesekali menjilat leher milik Defian.
"Bukan." Jawabnya sambil melakukan hal-hal cabul pada sang istri.
"Aku menyuruh beberapa orang untuk menulis peraturan Blue Academic sebanyak 1993 halaman." Ucapnya kembali sambil meraih junior milik Defian.
"Aah..." Desah Defian, "Ke, kenapa?" Defian meraih tangan nakal Sebastin yang sudah mulai menaik turunkan tangannya di kepunyaan Defian.
"Kamu sudah melakukan pelanggaran, sayang."
"Umgg.. hah.. hah, i–ini, ini semua salahmu." Kata Defian terengah-engah, "Kalau saja kamu tidak menjemputku seperti pada saat itu dan bertemu denganku secara diam-diam saja; Pasti aku tidak akan ketahuan melakukan pelanggaran." Ucapnya Dengan penuh susah paya.
Sebastin menghentikan kocokannya dan menurunkan tangannya ke bawah, tepatnya daerah anus Defian.
"a'aaa~ Sebastin..." Refleks Defian memeluk Sebastin dan merapatkan kedua belah pahanya.
"Aku hanya ingin mengatakan pada semua orang 'bahwa kamu adalah miliku'. Maka untuk menebus kesalahanku, aku membantumu menyelesaikan catatan pelanggaranmu."
Mendengar perkataan itu Defian sedikit merasa senang. Namun sesuatu yang membuat dirinya merasa sangat kesal adalah Sebastin, pria dingin dan jarang berbicara ini ternyata sangat cabul.
"Sebastin,"
"Hmm?"
"Apa kamu akan melakukannya lagi? Aku sangat kelelahan..."
"Tidak."
Setelah membuat Defian mencapai puncaknya, Sebastin berjalan memasuki kamar mandi untuk melepaskan hasratnya.
Beberapa saat kemudian, Sebastin keluar dari kamar mandi dengan wajah fres. Tetesan air mengalir jatu dari rambut hitamnya dan sebagian tubuh seksinya hanya terlilit handuk putih. Sangat menggoda.
Melihat pemandangan di depannya saat ini, membuat pipi Defian memerah. Sebastin berjalan menuju tempat tidur dan seketika saja menggendong sang istri seperti seorang wanita.
"Ap-apa yang kamu lakukan?"
"Kamu harus mandi, karena sebentar lagi orang tua kita akan datang berkunjung." Ujar Sebastin sambil membawa sang istri ke dalam kamar mandi.
Sampai dalam kamar mandi, Sebastin langsung saja menaruh Defian dalam bak mandi, tanpa membuka pakaian Defian terlebih dahulu.
"Hey, aku belum membuka pakaianku."
Untuk beberapa hari ini Defian sudah terbiasa tanpa busana didepan Sebastin, dia sama sekali tidak lagi malu seperti pertama kalinya dia tanpa busana di depan Sebastin. Bagaimana Defian tidak terbiasa; Hari-hari Sebastin selalu saja menelanjanginya dan untuk apa juga merasa malu, jika seseorang di depanmu sudah melihat seluruh tubuhmu bahkan daerah pantatmu (anus) yang tidak bisa leluasan orang lihat walaupun kamu dalam keadaan bugil sekalipun. Terkecuali kamu menunjukannya dengan cara mengangkang dan berjongkok didepan orang lain.
Mereka berdua keluar dari dalam kamar mandi dengan penampilan yang sama-sama masih terlilit handuk. Sebastin berjalan menuju lemari dan melihat-lihat beberapa pakaian yang ia beli untuk sang istri beberapa hari yang lalu.
Pilihan Sebastin jatuh pada kemeja putih dan jas abu-abu.
"Pakai ini sayang."
Defian mengambil pakaian yang diberikan Sebastin padanya dan memakainya tanpa protes.
Sedangkan Sebastin juga memakai jas dengan warna yang senada dengan Defian. Hanya perbedaan dari penampilan mereka adalah Defian menggunakan dasi kupu-kupu warna abu-abu di lehernya dan celana abu-abu pendek selutut, serta sedikit dipadukan dengan sepatu sniker, sedangkan Sebastin sama sekali tidak menggunakan dasi dan hanya melepas kedua kancing kemejanya, serta celana yang digunakanpun adalah celana panjang.
Sebastin melihat penampilan Defian mulai dari atas sampai bawah. Dia terlihat sangat imut, pikir Sebastin.
Saat ini waktu sudah menunjukan pukul 7 malam, mereka berduapun bergegas turun menuju ke halaman rumah. Di halaman rumah sudah tersedia meja yang dihiasi beberapa lilin cantik dan piring makanan yang ditata rapi memenuhi meja.
Dimeja makan sudah terdapat ibu Sebastin dan kakaknya yang bernama Alfano Mia Levandi beserta kedua orangtua Defian dan kakak perempuannya.
Melihat kedatangan putranya, Indri langsung berdiri menghampiri Defian dan memeluknya erat; Seakan-akan suda bertahun-tahun belum pernah bertemu.
"Anak ibu tersayang. Ibu sangat merindukanmu."
Dipeluk mendadak oleh sang ibu, membuat Defian sedikit mengerutkan keningnya.
Semua orang yang berada di tempat ini, sama sekali tidak menyadari perubahan wajah Defian karena menahan sakit di tubuhnya. Terkecuali sang suami Sebastin.
Kalau boleh jujur, hari ini Defian merasa sangat kelelahan. Seluru tubuhnya terasa sakit dan area bokong terasa sangat perih. Jangankan bangun dari tempat tidur, berdiri saja Defian sudah tidak sanggup. Namun karena kedua orangtuanya datang beserta orang tua dari Sebastin, mau tidak mau dia harus mau.
"Ayo-ayo sayang, duduk disamping ibu." Indri menarik anaknya dan mendorongnya untuk duduk dikursi yang berdampingan dengan kursi miliknya; Karena dorongan Indri yang sedikit keras, membuat Dedian meringis."
"Aah, Ibu." Cicit Defian
"Kenapa sayang? Apa ada yang sakit?"
Defian menggelengkan kepalanya, "Tidak ada ... tidak ada yang sakit." Kata Defian. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah Sebastin yang saat ini sedang menatapnya lekat dan tidak lupa dengan senyum kecil di bibirnya.
Mengerti dengan keadaan menantunya. Ibu Sebastin langsung berdehem untuk memecahkan suasana yang sedikit ambigu.
"Ayo-ayo silahkan dimakan makanannya." Kata Ibu Sebastin.
Levandi menatap Defian dan mengalihkan pandanganya pada sang adik Sebastin yang berada di sampingnya, diapun berbisik pelan pada sang adik,
"Apa yang kamu lakukan pada istrimu? Jangan katakan padaku, jika kamu meniduri dia setiap hari!"
"Hmm." Jawab Sebastin santai, sambil sibuk memakan makanannya. Levandi terkejut mendengar ucapan dari sang adik. Setelah kembali dalam keterkejutannya Levandipun menambahkan kembali, "Berapa kali kamu melakukannya dalam sehari?"
Sebastin menghentikan aktifitas makanya dan memandang sak kakak, iapun mulai berbicara tanpa mengeluarkan suara.
Melihat apa yang di katakan sang adik membuat Levandi berteriak terkejut, "APAH ... DUA SAMPAI EMPAT KALI DALAM SEHARI...!!!"
Semua orang yang berada di meja makan terkejut mendengar teriakan keras Levandi, tidak terkeculai Sebastin.
Setelah selesai makan malam, mereka semua berkumpul di ruang keluarga.
Rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah milik Sebastin sendiri, yang dibangun dengan uang miliknya.
Jangan memandangi usianya yang masih sangat mudah, pandangilah kepribadian dan pikirannya yang sudah sangat dewasa. Ia memiliki beberapa usaha dan infestasi di beberapa perusahaan besar. Salah satu infestasi yang dilakukannya adalah Restoran bintang lima 'DEFIAN', milik kedua orangtua Defian, yang berada di ibu kota Kolowu.
Kembali lagi ke ruang keluarga.
Indri, "Ibu tidak menyangka, kalau kamu akan menikah diusia muda."
Seorang wanita yang berusia sekitar 40-an mengangkat bicara, "Dia memiliki takdir yang sama sepertimu." Ucap Ibu Sebastin sambil tersenyum.
Indri tertawa, "Benar ibu. Awalnya, pada saat aku mendengar anaku Defian terjebak dengan salah satu siswa Red; Respon pertama yang aku keluarkan adalah melongo. Aku berpikir, kenapa anaku bisa melakukan pelanggaran? Dan aku juga sempat mendengar dari beberapa orang, bahwa anaku terjebak dengan Naga Merah..." Indri berdiri dari duduknya dan menghampiri Sebastin yang berada di sofa depan.
"Ehem... Apa kamu si Naga merah? Dan boleh ibu tahuuu, mengapa kamu diberi julukan itu?"
Semua orang, "..."
Melihat tingkah sang istri sontak membuat Rian Mahesa mengangkat suara, "Indri, ingat berapa usiamu saat ini. Dan Sebastin sudah menjadi milik anakmu, Defian."
Indri, "..." ( • _ • )🔥
Indri kembali ke posisinya semula.
Arni, "Defian kenapa masih duduk di sini? Sana duduk di dekat suamimu. Jangan sampai ibu menikumgmu..."
Indri, "Hey ... dasar anak kurang ajar."
"Ayo cepat." Arni mendorong Defian sampai terduduk di pangkuan Sebastin.
Defian, "..."
Pada saat Defian ingin berdiri dari pangkuan Sebastin. Tetapi tiba-tiba saja tangan kekar milik Sebastin sudah lebih dulu memeluk pinggangnya dengan sangat erat.
Defian menatap Sebastin dengan ekspresi penuh keluhan, seakan di wajahnya itu bisa terbaca dengan kata 'apa yang kamu lakukan'.
"Fokus saja ke depan. Dengar apa yang orangtua kita bicarakan." Bisik Sebastin.
"Apa dia tidak merasa malu dilihat seperti ini?" Pikir Defian dalam hatinya.
"Karena tante bertanya mengapa Sebastin di juluki dengan nama si Naga merah! Biar Levandi yang jelaskan. Sebenarnya julukan itu diberikan olehku sendiri pada saat dia menginjak usia 13 tahun–"
"Kita hanya beda dua tahun." Potong Sebastin datar. Ia sedikit tidak terima dengan kosa kata terakhir kakaknya itu, hal itu seakan-akan usia Levandi terpaut jauh dengannya.
Levandi, "..." ( ° _ ° '')
"Jujuryah tante, aku tidak pernah berpikir kalu nama itu akan melekat padanya sampai saat ini. Aku memberikan nama itu karena aku melihat kepribadiannya yang tegas, aurah yang dipancarkannya juga sangat menindas orang-orang di sekitarnya..." Levandi menghentikan ucapannya dan menatap Defian yang saat ini maaih setia duduk dipangkuan sebastin, "Bagaimana menurut Defian pada saat mengetahui si Naga Merah itu adalah pengantinmu? Ayo bilang kepadaku, aku sangat penasaran!"
Arni, "Aku juga penasaran."
Semua tatapan mata di dalam ruangan keluarga tersebut, tertuju pada Defian.
"Ah itu, itu.. aku..." Defian gelagapan.
"Aku juga penasaran." Tambah sebastin sambil menaruh dagunya di atas bahu Defian.
'Kenapa mereka tiba-tiba saja menanyakan hal ini!' Keluh Defian dalam hati.
"Tentu saja aku ketakutan." Jawab Defian pelan, dengan kepala tertunduk malu.
Sebastin melirik telinga Defian yang sudah memerah.
Defian mengankat kepalanya dan menatap Levandi dan Arni. Kemudian dia menambahkan kembali, "Siapa yang tidak ketakutan sampai mati jika tiba-tiba saja namamu di panggil oleh orang yang sangat di takuti oleh seantero sekolah! Karena ketakutan, tanpa berpikir panjang aku langsung berjalan panik menghampiri sebastin."
Defian menatap Sebastin dengan penuh keluhan, "Dan Sebastin, dia langsung saja menggendongku di depan pasang mata yang melihat kami." Defian menutup wajahnya dengan tangannya, "Ini sangat memalukan."
Beberapa detik kemudian Defian terkejut dan menatap Sebastin dengan tatapan bodoh. Sedangkan orang yang di tatap kini menunjukan seringai kecil di bibirnya.
Defian, "..." ( ° ⬜ °||) Bagaimana bisa dia mengeras dalam pertemuan keluarga seperti ini!!
Sebastin memajukan wajahnya dan berbisik dengan suara serak ditelinga Defian, "Jangan bertingkah imut, kamu membuatku bernapsu."
Defian, "..." ( ×`⬜`)🔥Siapa yang bertingkah imut...!!
Bersambung ...
Senin, 23 Desember 2019