"Ellleeeennn, cepat turun sayang..." Teriak ibu Elen ( Nurlin ) dari ruang tamu.
Elen tersentak kaget dari tidurnya ketika mendengar teriakan yang cukup menggelegar dari ibunya.
"Ah, ketiduran di meja lagi."
Elen, entah kenapa pria ini bisah tumbuh menjadi seorang pria yang sangat cantik dan manis, dan bukan saja itu, pengaruh selalu mengurung dirinya di dalam kamar di karenakan pekerjaanya sebagai penulis komik dan novel-novel romansa membuat dirinya jarang terkena paparan sinar matahari.
Kulitnya dulu yang berwarna putih langsat kini telah berubah menjadi seputih susu, dan tubuh serta tingginya di bilang cukup mungil bagi seorang pria berusia 24 tahun.
Sangat manis dan mungil.
Elen menatap jam yang berada di ponselnya.
"Jam 3 sore."
Setelah mengatakan itu, Elen langsung bergegas ke kamar mandi untuk menyikat gigi serta mencuci wajah mengantuknya. Dan setelah itu Elen bergegas turun ke bawah menemui ibunya yang selalu dia anggap sebagai mak lampir rumah.
Seorang pria bertubuh tegap, yang saat ini sedang duduk di ruang tamu sambil menyilangkan kakinya dan menopang dagu miliknya menatap intens sosok pria mungil dan manis yang tengah berjalan perlahan menuruni tangga. Wajah pria itu cukup terkejut, namun tidak terlalu ia nampakan di depan orang lain.
"Elen sangat maniskan?" Bisik seorang wanita yang duduk di samping pria tegap tersebut.
"Bunda ada apa?" Tanya Elen sesampai di ruang tamu.
"Duduk"
Elen mengambil tempat duduk berhadapan dengan pria bertubuh tegap tersebut.
"Hallo Elen." Sapa Lina.
"Tante kapan tiba? Bukannya seharusnya tante sama kak Ros menjemput Tandri di bandara?" Kata Elen.
"Tante sudah menjemput Tandri 3 jam yang lalu."
"Oh benarkah. Maaf Elen tidak bisa ikut menjemput."
Lina, "Hmm.. tidak masalah."
Elen menggaruk lehernya yang tidak gatal sambil menatap pria yang berada di depannya dan kembali menatap tante Lina.
"Di ... mana Tandri?" Ucap Elen ragu-ragu.
Perkataan Elen tersebut sontak membuat Nurlin, Lina, Ros, dan Reni menahan tawa.
Melihat ekspresi keluarganya itu kini membuat Elen kebingungan.
.....
Di dalam kamar Elen. Kedua pria muda tersebut tengah duduk di posisi mereka masing-masing. Tandri menatap intens Elen dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hal itu membuat Elen sedikit merasa tidak nyaman.
"Jangan terus menatapku." Kata Elen sambil mengarahkan pandangannya ke arah lain.
"Kenapa aku tidak boleh menatapmu?!"
Elen menatap Tandri yang sedari tadi selalu saja berwajah datar.
"Aku merasa tidak nyaman."
Tandri berdiri dari kursi belajar dan berdiri tepat di depan Elen yang tengah duduk di samping tempat tidur.
"Ap–apa?"
"Berdiri."
"Kenapa aku harus berdiri?"
"Berdiri!" Ucap Tandri tegas.
Mendengar suara Tandri yang sedikit meninggi, membuat Elen mau tak mau berdiri dari duduknya.
Kini kedua pria tersebut berdiri dengan jarak yang di bilang cukup dekat.
Tandri, "Kau sangat pendek."
Elen, "..."
Elen merasa seperti terkena hukum karma dari yang kuasa. Seorang pria yang selalu ia buli waktu kecil karena bertubuh pendek, gemuk, dan jelek, kini telah tumbuh menjadi seorang pria yang bertubuh tinggi tegap, dan berwajah sangat tampan rupawan.
Elen menatap dirinya sendiri. Bertubuh pendek hanya sebahu Tandri, berbadan mungil seperti seorang perempuan, dan sama sekali tidak memiliki wajah tampan.
"Kenapa? Mengoreksi diri?" Tandri mengangkat dagu milik Elen agar mendonga ke atas.
"Aku tidak menyangka, kamu akan tumbuh menjadi pria yang sangat manis, Elen..."
Tandri menundukan kepalanya dan berbisik di telinga Elen, "...di inggris, Pria manis sepertimu sangat di minati para pria Gay." Tandri menjilat dan menggigit daun telinga Elen penuh penghayatn.
Elen terkejut dan langsung mendorong Tandri agar menjauh darinya, namun di cegat cepat oleh Tandri dengan pelukan erat pada Elen.
"Tandri apa yang kamu lakukan?"
Bukannya berhenti, Tandri malah lebih gencar menyerang leher Elen dengan gila. Karena terlalu banyak perlawanan dari Elen, kini membuat kedua pria tersebut jatuh di atas tempat tidur.
"Tandri hentikanmmm... Mmmm..."
Tandri membekap bibir Elen dengan bibir miliknya sendiri. Elen merasa resah dan gila. Bagaimana tidak, ia sama sekali tidak mampu membuat perlawanan dikarenakan pergerakanya dikunci oleh Tandri.
Setelah beberapa menit kemudian, barulah Tandri melepaskan Elen dari kungkuhannya.
Elen memojokan dirinya di sisi kepala tempat tidur dan berkata dengan ngos-ngosan, "Kamu, kenapa kamu menciumku?!"
"Apa itu ciuman pertamamu?"
"Tidak,"
"Kurasa begitu."
Elen, "..." Aku harus menjauh dari Tandri.
Tandri berdiri dari tempat tidur dan berjalan menuju meja yang berserakan buku-buku novel romansa. Ia mengambil salah satu novel yang berada di atas meja dan membuka perlahan lembar demi lembar.
"Aku dengar dari ibumu, kalau kamu menjadi seorang penulis novel-novel romansa. Aku mengira ibumu hanya bercanda, namun ternyata itu benar."
Tandri melihat perusahaan tempat di terbitkan semua novel milik Elen, dan ekspresi yang muncul pada wajah tampannya adalah senyum yang sangat menawan dan misterius. Tandri menaruh kembali buku novel tersebut di atas meja dan menghampiri Elen yang sedari tadi tidak bergerak sedikitpun dari tempat tidur.
Merasa dirinya terancam, Elenpun dengan cepat menarik selimut untuk menutupi sebagian dari tubuhnya.
Melihat tingkah Elen tersebut membuat Tandri tersenyum miring. Tandri melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Elen intens.
"Elen ... Ngeseks denganku."
.
.
.
Bersambung ...