Ayahnya melemparkan sebuah map berwarna cokelat ke arah wajahnya dengan cukup keras. Azka mengambil map tersebut dan membuka kaitan tali yang menutup map tersebut dengan rapat. Ia mengeluarkan isi dari map itu, terdapat beberapa lembar foto yang menampakkan dirinya tengah balapan motor kemarin malam. Ia menarik nafasnya dengan cukup berat.
"Ayah tuh capek banget sama kelakuan kamu yah setiap hari kerjaannya balapan motor terus. Bisa nggak sih kamu contoh adik kamu si Farel, dia itu rajin dan selalu dapat IPK yang bagus di kampusnya. Nggak kayak kamu yang bisanya nyusahin keluarga aja. Mulai sekarang motor sama ATM kamu Ayah sita sebulan."
Rahang Azka mengeras, tangannya terkepal dengan kuat mencoba menahan amarahnya saat ini yang sedang memuncak. Bukan dirinya bukan marah karena motor dan juga ATM nya yang disita oleh Ayahnya sebab hal ini sudah sering terjadi jika dirinya membuat kesalahan. Ia sangat benci ketika Ayahnya sudah membanding-bandingkan dirinya dengan Farel; adik tirinya, yang bertindak sok polos di depan orang tuanya. Mereka tidak tahu saja tingkah bejat yang dilakukan anak kesayangannya itu ketika mereka pergi. Ia mengambil kunci motor dan juga dompet dari saku celananya, mengeluarkan semua kartu ATM yang ada di dalamnya dan meletakkan semuanya ke atas meja dengan cukup kencang.
"Nih... Azka juga nggak butuh uang Ayah. Azka bakalan nunjukkin ke Ayah kalo Azka juga bisa sukses tanpa semua harta Ayah. Oh yah jangan pernah bandingin Azka sama anak kesayangan Ayah itu karena adik Azka itu cuma Chio," ujar Azka dengan raut wajah yang terlihat sangat marah.
Ia berjalan pergi meninggalkan kedua orang tuanya itu yang setiap langkahnya diiringi oleh cacian, makian, dan juga sumpah serapah yang dikeluarkan oleh mulut Ayahnya.
"Dasar anak tidak tau diuntung. Pergi aja sana nggak usah pulang sekalian."
"Hush Ayah nggak boleh begitu ah."
Azka terus berjalan keluar rumah milik Ayahnya itu. Ia mengambil telepon pintarnya dari dalam tas. Menyentuh panggilan telepon pada kontak yang bertuliskan sebuah nama yang tidak lain adalah Leon; temannya. Tanpa menunggu lama panggilan itu pun akhirnya terhubung.
"Halo kenapa Ka?"
"Lu bisa jemput gue sekarang nggak ke rumah?" tanya Azka.
"Kenapa lagi sih lu?"
"Yah biasa lah."
"Oh yaudah tunggu aja yah lima menit gue sampe."
"Oke makasih yah."
"Iya santai aja kaya sama siapa aja sih lu."
Sambungan telepon pun akhirnya terputus, Azka kembali memasukkan ponselnya itu kembali ke dalam tasnya. Ia berjalan ke arah luar gerbang rumahnya oh tidak lebih tepatnya berjalan ke arah depan komplek rumahnya. Lima belas menit menunggu di depan komplek perumahannya itu, netra matanya kini menangkap sebuah motor sport yang melaju dengan kencang dari arah jalan besar, yah itu adalah Leon temannya.
Motor itu pun berhenti tepat di depan hadapannya. Sang pemilik motor membuka helm yang dipakainya, menatap dengan tatapan malas ke arah sahabatnya itu.
"Kali ini kenapa lagi."
"Duh nanti aja deh di kampus ceritanya gue lagi nggak mood cerita."
"Dih kayak uke lu bego moodyan. Nggak cocok anjir malah jijik gue."
Azka memukul kepala Leon dengan cukup kencang membuat pemuda yang seumuran dengannya itu mengaduh kesakitan sembari mengelus kepalanya yang sempat dipukul tadi.
"Anjir lu yah gue masih normal bego. Hah udah mana sini buruan helmnya," ucap Azka dengan sedikit kesal, Leon memberikan sebuah helm yang memang sengaja Ia siapkan untuk teman kecilnya itu.
"Mundur lu biar gue yang nyetir." Leon menggelengkan kepalanya, Ia takut kalau Azka yang mengendarai motor pasti akan diajak kebut-kebutan, Ia tidak ingin mati muda.
"Ck.." decakan kesal keluar dari bibir Azka. Ia mendorong tubuh temannya itu ke arah belakang hingga membuat Leon kini sudah terduduk di kursi belakang. Azka memakai helm tersebut dengan rapat dan lantas mulai mengendarai motor sport milik temannya itu dengan kecepatan yang cukup tinggi membelah jalan raya yang cukup sepi. Leon yang dibonceng oleh Azka hanya bisa berdoa keselamatan mereka berdua.