webnovel

Bab 18

3 hari ini Stefano tidak pergi kemanapun. Seharian dia hanya berada di dalam kamar dan keluar hanya untuk makan dan sekedar menonton tv sejenak. Rindi yang jadi serba salah dengan sikap Fano pun hanya bisa melihat dan memastikan kalau kondisi suaminya itu baik-baik saja.

Pagi ini setelah selesai sarapan, Rindi mendekat pada Fano yang sedang membaca berita di ponselnya sambil minum kopi.

"Chan, hari ini Aku ada ujian praktek. Mungkin Aku sedikit malam pulang," ucap Rindi pelan.

Stefano mengalihkan pandangannya pada Rindi sebentar, kepalanya mengangguk kemudian dia kembali memandang ponselnya. Rindi terdiam, sikap Stefano semakin dingin padanya. Bahkan mereka sama sekali tidak berinteraksi seperti biasanya.

"Kalau begitu Aku pergi bersiap ke kampus dulu," sambung Rindi lagi menahan suaranya supaya terlihat senatural mungkin.

Lagi-lagi kepala Stefano hanya mengangguk saja tidak berkata apa-apa. Rindi pergi dari hadapan Stefano dengan perasaan kacau balau,  di abaikan oleh Stefano membuat Rindi ingin menangis sekarang.

***

Victor mengerutkan keningnya melihat isi loker Rindi yang penuh dengan telur busuk pecah. Bau amis dan busuk menyeruak dari dalam, padahal di dalam loker itu ada buku-buku yang belum selesai Rindi baca. Rindi menghela napas berat melihat kondisi lokernya sekarang. Rindi kemudian berbalik dan terkejut sudah ada Victor di belakangnya.

"Omo...Kamu mengagetkanku, Vic," ucap Rindi sambil memegangi dadanya yang berdegup cukup kencang.

Victor tertawa kecil kemudian meminta maaf pada Rindi. Tangan Victor kemudian menunjuk loker milik Rindi.

"Sejak kapan Kau mendapatkan perlakuan seperti ini?" Tanya Victor serius.

Victor yakin ini bukan kali pertama Rindi mendapatkan hal seperti ini. Rindi pura-pura tersenyum lalu menggelengkan kepalanya tidak membenarkan dugaan Victor.

"Ini pertama kalinya, Vic. Walaupun Aku tidak tahu apa salahku," jawab Rindi berbohong.

Victor tidak serta merta mempercayai apa yang dia dengar. Victor memicingkan matanya memandang Rindi penuh selidik. Rindi menghindari tatapan Victor lalu berpamitan untuk membersihkan lokernya. Victor sendiri masih memandangi loker Rindi yang benar-benar kotor sekarang.

***

Rindi baru masuk ke apartemen tempatnya tinggal, saat ponselnya bergetar. Rindi merogoh saku celananya dan mengambil ponsel miliknya. Rindi tersenyum sumringah saat melihat nama tantenya tertera di layar ponsel miliknya.

"Assalamualaikum, Tante. Apa kabar?" Rindi menyapa tantenya kemudian mengobrol panjang lebar. Rindi meletakkan paper bag besar yang dia bawa di dekat rak sepatu samping pintu. Rindi berjalan menuju kamarnya sambil terus mengobrol dengan tantenya.

Stefano mendengar kedatangan Rindi, dia membuka pintu kamarnya dan melihat keluar. Istrinya itu sudah tidak terlihat keberadaannya, lamat-lamat Fano mendengar pembicaraan Rindi di telephone. Stefano keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur, sedari tadi dia menunggu Rindi pulang. Dia bahkan belum makan malam karena ingin makan malam bersama Rindi. Dia lagi-lagi baru menyadari kalau beberapa hari ini dia sudah mendiamkan Rindi.

Kening Fano mengkerut saat melihat paper bag sedikit besar ada di samping rak sepatu. Stefano berjalan menuju rak sepatu dan mengambil paper bag itu. Fano membuka dan melihat isinya, alis Fano bertaut melihat isi paper bag itu ternyata buku-buku yang kotor dan sedikit mengeluarkan bau tidak enak.

"Untuk apa Rindi buku-buku kotor ini?" tanya Fano dalam hati.

Keesokan harinya Rindi sedang menyiapkan sarapan saat Stefano keluar dari kamar dalam ke adaan rapi. Stefano langsung duduk di meja makan karena sudah ada secangkir kopi untuknya di situ. Fano menyeruput kopinya pelan, dia sambil sesekali melihat jadwalnya di ponsel. Rindi menghampiri Stefano dan meletakkan roti bakar di depan Fano.

"Maaf pagi ini Aku tidak masak apa-apa, karena Aku harus ujian pagi," ucap Rindi pelan tanpa mengangkat kepalanya.

Rindi belum benar-benar berani memandang ke arah Stefano, dia masih takut mood suaminya itu masih jelek.

"Tidak apa-apa, ini sudah cukup untuk sarapan," sahut Stefano kemudian langsung menikmati sarapannya.

Rindi sendiri kemudian duduk di kursi tepat di depan Stefano. Rindi tidak langsung menikmati sarapannya, dia justru memandangi Stefano yang masih saja mendiamkannya. Rindi menghela napas berat lalu kemudian membuang muka memandang ke arah lain.

Stefano mendongak mengalihkan pandangannya dari makanan di hadapannya. Dia melihat wajah Rindi yang terlihat muram. Stefano meletakkan rotinya lalu meneguk kopinya lagi.

"Ada apa?" Tanya Stefano tiba-tiba hingga membuat Rindi menoleh kaget pada laki-laki kulkas itu.

Kepala Rindi menggeleng menandakan tidak ada apa-apa. Tapi bukan Stefano kalau tidak hapal dengan tingkah istrinya itu.

"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa menghela napas seperti itu?" Tanya Stefano lagi.

"Ini kesempatanku menanyakan padanya ada apa dia mendiamkanku berhari-hari. Tapi bagaimana kalau dia nanti marah lagi," batin Rindi bermonolog sambil terus memandangi wajah Stefano lekat.

Stefano sendiri mengerutkan keningnya bingung. Kenapa Rindi hanya diam saja saat di tanya. Stefano kemudian ingat sesuatu.

"Oh...iya, kenapa Kamu membawa pulang buku-buku kotor? Dari mana Kamu mendapatkannya dan untuk apa?" Tanya Stefano mengingat paper bag dekat rak sepatu semalam.

Mata Rindi membulat lebar, dia terkejut. Kenapa dirinya bisa seceroboh itu, sekarang Rindi bingung harus menjawab apa pertanyaan dari Fano itu.

"Kenapa diam saja? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Cecar Stefano lagi mencurigai sesuatu.

Dengan cepat Rindi menggelengkan kepalanya. Rindi terlihat berpikir sejenak, beruntung ponsel Stefano yang ada di dekat kopi miliknya berdering.

"Siapapun yang menelpon suamiku sekarang, terima kasih," gumam Rindi dalam hati.

Stefano pun melupakan pertanyaan pada Rindi. Sekarang Stefano beranjak dari duduknya dan menjauh dari Rindi. Entah apa yang dia bicarakan dengan si penelpon, tapi Rindi tetap bersyukur tidak harus menjawab pertanyaan dari suaminya itu.

***

"Perempuan itu istri dari Stefano Chan?" Ucap salah satu perempuan yang berwajah kecil dan juga berkulit sangat putih itu.

Perempuan lain yang dulu pernah tiba-tiba mengganggu Rindi di kelas menganggukan kepalanya mengiyakan.

Terlihat tangan gadis putih itu meremas gelas kopi yang sudah tidak ada isinya di tangannya itu. Gadis itu kemudian melemparnya kasar.

"Lakukan apa yang Aku bilang pada kalian waktu itu. Menerornya secara halus sudah tidak ada gunanya. Buat dia tidak bisa bertemu dengan laki-laki yang hanya boleh Aku miliki," ujar gadis putih itu kemudian berjalan pergi meninggalkan ke 3 perempuan lain yang dulu mengganggu Rindi.

"Dia itu sepertinya sudah terobsesi pada, Stefano," ucap salah satu ke tiga perempuan itu.

"Kau benar, tapi apa kita harus melakukan yang dia suruh? Kalau kita ketahuan bisa-bisa kita dalam masalah besar," sahut perempuan lain.

Satu-satunya perempuan yang tidak bersuara, perempuan yang menendang tangan Rindi waktu itu. Gadis itu terlihat memikirkan sesuatu sambil terus melihat Rindi yang sedang membaca buku tidak jauh darinya.

Ting...

Ponsel Rindi berdenting, Nana yang duduk di hadapannya mencolek Rindi pelan.

"Ponselmu bunyi," ujar Nana sambil menunjuk ponsel Rindi yang ada di dalam tas.

Menyadari itu Rindi menganggukkan kepalanya, lalu merogoh tasnya dan membaca pesan masuk. Ternyata itu dari bank, sepertinya lagi-lagi pinjaman bank Tante dan Pamannya di bayar dengan tabungan Rindi. Helaan napas berat keluar dari bibir mungil Rindi. Nana melirik sekilas lalu berhenti membaca dan memandang serius ke arah Rindi.

"Ada apa? Kau punya masalah?" Tanya Nana penasaran.

Rindi mendongak kemudian meletakkan ponselnya cepat dan kemudian menggelengkan kepalanya. Beruntung sekali lagi-lagi dering ponsel menyelamatkan Rindi.

"Dari, Chan Aku angkat dulu ya," ucap Rindi.

Nana tersenyum lalu menganggukkan kepalanya mengiyakan.

Setelah menyelesaikan ujian hari ini kedua perempuan itu akhirnya keluar kelas dengan wajah sumringah. Nana berjalan sambil menggandeng Rindi, keduanya berjalan keluar dari area kampus sambil mengobrol. Mereka berencana pergi jalan-jalan saat liburan nanti. Rindi yang memang tidak pernah pergi kemanapun mengiyakan ajakan Nana. Walaupun dia tetap harus meminta ijin pada suaminya.

"Rin, tunggu sini sebentar! Aku butuh ke kamar mandi."

Nana melesat pergi meninggalkan Rindi yang tertawa kecil melihat kelakuan Nana, berjalan sendirian menuju pintu gerbang. Dia berencana menunggu Nana di pos satpam karena cuaca yang cukup dingin.

Di lain tempat Stefano terus saja menelpon Rindi. Tapi sama sekali tidak diangkat. Tadi Victor dan yang lain datang ke studio melihat rekaman Jason. Victor menceritakan kejadian loker yang di alami Rindi. Victor mencurigai Rindi sering mengalami perlakuan buruk dari temannya.

Stefano melempar ponselnya karena jengkel. Dia benar-benar khawatir karena istrinya tidak bisa di hubungi.

"Hyung, tenanglah! Dia di kampus, tidak akan terjadi apa-apa dengan Rindi," ujar Jipyong mencoba menenangkan Stefano yang sudah mulai emosi.

Stefano menoleh ke arah Jipyong, Fano sudah akan meninggikan suara tapi dia ingat. Dia di larang melakukan hal buruk seperti itu pada orang lain. Stefano memukul sofa keras, dia benar-benar sedang menahan amarah sekarang.

"Kenapa Rindi tidak pernah menceritakan apapun padaku," ujar Stefano.

"Hyung, sabar mungkin Rindi punya alasan untuk tidak membuatmu khawatir," ucap Victor menimpali.

"Dia istriku, Vic bagaimana Aku tidak khawatir kalau seperti ini," tukas Stefano lagi.

Sekarang yang lain terdiam melihat Stefano. Wajar saja kalau Stefano sangat khawatir sekarang. Jay mengambil ponsel di sakunya, dia mencoba menghubungi Rindi juga dan ternyata sama saja nihil.

Victor teringat pada Nana, Victor kemudian mengambil ponselnya cepat.

"Aku akan menghubungi Nana, dia pasti sedang bersama Rindi sekarang," ucap Victor.

Terdengar Nana mengangkat telpon Victor di seberang sana.

"Na, apa Rindi bersamamu sekarang?" Ujar Victor to the point.

Belum juga Nana menjawab, ponsel Victor sudah Stefano rebut sekarang.

***