Rindi sudah selesai dandan, ini kali pertama Rindi menggunakan skin care Korea. Itu pun karena pemberian dari Ibu mertuanya. Rindi melirik Stefano yang setelah ibadah subuh tadi tidur lagi. Sepertinya suaminya itu masih sangat mengantuk. Rindi berjalan menuju ranjang Fano kemudian membetulkan letak selimut Fano. Rindi tersenyum memandang wajah Fano, ini kali pertama mereka berdua ada di kamar yang sama.
"Seperti ini rasanya punya suami," gumam Rindi kemudian tersenyum malu.
Rindi kemudian keluar kamar untuk memasak, mertuanya masih menginap di Seoul hari ini.
Rindi sedang sibuk memotong-motong wortel, dia akan membuat soto ayam. Entah dari mana Rindi mendapat ide memasak makanan Indonesia itu. Karena di Korea bumbu rempah Indonesia tidak ada, jadi sudah pasti Rindi menggunakan bumbu instan yang dia selalu beli di Asian Mart. Rindi mengaduk kuah berisi potongan ayam pelan, dia kemudian menyicipinya sedikit.
"Tidak buruk," ujarnya bermonolog.
Rindi kemudian memasukkan potongan wortel ke dalam kuah soto dan ayam itu pelan. Sebentar Rindi berlalu menyiapkan meja makan dan kembali ke dapur untuk mematikan kompor. Dia melihat jam dinding sudah menunjukkan jam 8 pagi. Kenapa Fano belum bangun juga, Rindi khawatir nanti Ayahnya lebih dulu siap di meja makan sebelum suaminya itu bangun.
Benar saja dugaan Rindi, Stefano baru duduk di meja makan saat sang Ayah dan Ibu sudah siap sarapan. Ayah Stefano berdehem pelan sambil mengaduk sup yang ada di samping piring miliknya. Sepertinya Ayah mertua Rindi sedang menahan untuk tidak emosi sekarang. Rindi menyodorkan sup pada Stefano.
"Soto Ayam?" tanya Fano antusias.
Kepala Rindi mengangguk mengiyakan, Fano yang mulai terbiasa masakan Indonesia memang menyukai Soto Ayam memang rasanya tidak beda jauh dari samgyetang (sup ayam ginseng Korea) tapi tetap saja rempah yang ada di dalam kuah soto ayam memilliki rasa yang berbeda.
Ayah mertua Rindi memandang bingung pada sup di hadapannya, tapi sedetik kemudian dia memasukkan sesendok kuah soto ayam ke mulutnya. Matanya berbinar, persis seperti Fano. Ayah mertua Rindi sepertinya juga menyukai soto ayam masakan Rindi.
Stefano melingkarkan tangannya di pinggang Rindi saat kedua orang tuanya berpamitan pulang. Ibu Fano tersenyum lega, melihat Anak laki-lakinya bersikap baik pada menantunya. Ayah Fano juga tersenyum senang melihat dua anak menantunya ternyata begitu harmonis. Padahal awalnya Ayah Fano berpikir pasti Fano banyak menelantarkan Rindi. Melihat interaksi keduanya yang baik-baik saja, menepis semua pikiran jelek di kepala Ayah Fano sekarang.
"Terima kasih sudah menjaga putraku dengan baik, sayang," ujar Ibu mertua Rindi sambil memegang tangan Rindi hangat.
Rindi tersenyum lalu menganggukkan kepalanya mengiyakan. Rindi sedang benar-benar tidak bisa mengatur detak jantungnya yang tidak karuan sekarang. Bukan karena di pandangi dengan pandangan yang berbeda dari kedua mertuanya, tapi karena tangan Fano yang bertengger di pinggangnya sekarang.
"Eomma, jangan berlebihan seperti itu. Sudah pasti dia menjagaku dengan baik, dia kan istriku," timpal Fano kemudian berdecak sebal mendengar perkataan Ibunya sendiri.
Ayah Fano menatap tajam pada Fano, lalu tangannya reflek terulur memukul lengan Fano.
"Awas saja Kau sering meninggalkan menantuku sendirian di rumah, kalau dia menyakitimu verbal ataupun non verbal. Kau bisa menceritakan semuanya pada Ayah," ujar Ayah Fano sambil memandang Rindi kemudian.
"Ingat pesan Ayah, Chan!" lanjut Ayah Stefano lagi. Anak laki-lakinya hanya menanggapinya dengan anggukan kepala saja.
Kepala Rindi mengangguk mengiyakan, perasaannya sekarang benar-benar campur aduk. Rindi merasa bersalah banyak membohongi kedua mertuanya, kalau semuanya terbongkar apakah perlakuan kedua mertuanya akan tetap sebaik ini padanya. Rindi benar-benar merasa memiliki orang tua kandung sekarang, karena kedua orang tua Stefano begitu menyanyanginya seperti anak sendiri.
Setelah kedua orang tuanya benar-benar tidak terlihat lagi, tangan Fano turun dan matanya memandang Rindi sekarang. Rindi sendiri masih melihat kedua mertuanya yang sudah menghilang dari pandangannya.
"Ayo masuk!" ajak Stefano singkat lalu masuk terlebih dulu.
Rindi menyadari tangan suaminya sudah tidak ada di pinggangnya lagi, Rindi tersenyum malu lalu menutup pintu apartemen dan mengekor si belakang Stefano yang berjalan di depannya sekarang.
***
Mobil Fano berhenti tepat di depan universitas tempat Rindi kuliah, Rindi tidak pernah lupa mencium tangan Fano sebelum pergi. Rindi keluar dari mobil lalu melongok lagi pada jendela yang sengaja Fano buka setengah.
"Aku akan pulang sedikit sore, makan siang sudah ada di kulkas tinggal Kamu panaskan," ucap Rindi mengingatkan Fano.
Kepala Stefano mengangguk mengiyakan, mata Fano tidak sedetikpun lepas dari wajah Rindi. Perempuan di depannya sekarang ini memang luar biasa baginya. Rindi mengerutkan keningnya melihat ekspresi wajah Fano sekarang.
"Ada apa?" tanya Rindi.
Merasa Rindi melihat perubahan sikapnya Stefano berdehem kemudian membuang muka menghindari tatapan Rindi.
"Masuklah! Aku akan pergi berkumpul dengan yang lain hari ini," ujar Fano mengalihkan pembicaraan.
Rindi yang merasa sikap Stefano sedikit aneh hanya menganggukkan kepalanya saja supaya tidak memperpanjang dan membuat Stefano tidak nyaman. Setelah melihat mobil suaminya benar-benar menghilang, Rindi masuk ke area kampus. Sedari tadi tanpa mereka sadari ada sekelompok orang yang memandang tidak suka dengan interaksi Rindi dengan Fano.
Stefano mengecek ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 6 sore. Tidak biasanya Rindi pulang setelat ini, tadi istrinya itu memang bilang pulang sore tapi biasanya juga tidak sampai sesore ini. Stefano meletakkan ponselnya di meja kemudian berjalan menuju dapur. Dia mengambil inisiatif memasak saja untuk makan malam.
Setelah selesai dengan urusan masak, suara bel apartemen Stefano berbunyi. Stefano meletakkan piring terakhir yang dia siapkan di meja makan. Fano kemudian berjalan untuk melihat siapa yang datang, setelah menghidupkan layar monitor Fano melihat istrinya ada di depan pintu. Tanpa berlama-lama lagi, Fano lalu membukakan pintu untuk Rindi. Tapi kening Fano reflek mengkerut melihat baju yang Rindi kenakan.
"Ada apa, Chan?" tanya Rindi.
"Tadi pagi Kamu tidak mengenakan baju ini kan?" tanya Fano heran.
Rindi mengkerutkan keningnya bingung sekarang, dia kemudian tertawa kecil. Rindi masuk ke dalam apartemen tanpa menjawab pertanyaan Stefano.
"Benar kataku kan, Rin? Kamu tidak mengenakan baju warna ini tadi," ulang Fano memastikan penglihatannya.
Rindi menatap Fano sebentar, dia kemudian tertawa kecil. Stefano mendengus kesal melihat Rindi justru tertawa sekarang.
"Kenapa Kamu justru tertawa sih," gerutu Fano kesal.
"Aku tadi pagi memang mengenakan baju ini, Chan. Kenapa bisa Kamu salah melihat warna baju, lucu sekali Kamu ini," tukas Rindi di sela-sela tawanya.
Stefano mendengus kesal kemudian meninggalkan Rindi sendirian berdiri di tempat, Fano sangat yakin kalau dia tidak salah melihat warna.
Mereka berdua kemudian berakhir makan malam bersama, Fano lagi-lagi memasak daging. Rindi tersenyum sambil makan, dia paham sekali sekarang kalau Fano begitu menyukai daging sapi. Stefano sendiri masih saja penasaran dengan warna baju Rindi tadi pagi, tidak mungkin kan dia salah ingat. Sedangkan ini belum 1 x 24 jam, Fano sesekali melirik Rindi ingin bertanya lagi tapi takut di bilang aneh. Akhirnya Stefano diam saja dan melanjutkan makan dengan masih menyimpan perasaan penasarannya.
***
Victor sedang makan siang di kantin bersama Nana, mereka berdua sudah memesankan makan siang untuk Rindi juga. Tapi sudah 10 menit di tunggu Rindi tidak kunjung datang juga. Victor memandang ke arah berbeda siapa tahu dia melihat kedatangan Rindi. Ternyata nihil, Nana berhenti makan kemudian meminum jus miliknya.
"Coba Aku telpon Rindi dulu ya?" ujar Nana kemudian.
Victor menanggapinya dengan anggukan kepala mengiyakan. Belum juga Nana menekan tombol hijau, ternyata Rindi sudah tiba dan duduk di samping Nana.
"Maaf, kalian menunggu lama ya? Aku ke kamar mandi dulu tadi," ucap Rindi memberikan alasan keterlambatannya.
Nana membulatkan matanya memandang Rindi kemudian menghela napas pendek.
"Kenapa lama sekali? Aku kira terjadi apa-apa di kelas," ucap Nana mengeluarkan isi kepalanya.
Victor tertawa kecil, menurutnya Nana itu terlalu ekspresif tapi terkadang juga unik baginya.
"Jangan berlebihan, ayo lanjut makan!" ajak Rindi kemudian menikmati pesanan makanannya. Victor dan Nana menganggukkan kepalanya bersamaan, mereka bertiga kemudian menikmati makan siang bersama.
Nana baru saja turun dari bis, Rindi melambaikan tangan pada sahabatnya itu. Bis mulai merayap pergi menuju halte pemberhentian selanjutnya. Terdengar suara radio yang menyiarkan akan ada pemadaman lampu malam ini. Rindi meliat jam di ponselnya, untuk memastikan jam berapa sekarang.
"Sepertinya tepat sekali saat Aku sampai di apartemen, apa Chan juga sudah pulang?" gumam Rindi yang mengingat suaminya yang tadi pagi bilang akan melakukan perekaman ulang dengan Jason.
Tidak menunggu lama, Rindi sampai di halte bis dekat area apartemen mewah Fano. Rindi turun kemudian berjalan menuju apartemen Fano, dia melihat ponselnya dan akan menghubungi Fano. Sejenak Rindi berpikir, namun kemudian dia mengurungkan niatnya untuk menghubungi Fano.
Benar sekali siaran radio tadi, 15 menit sampai di apartemen terjadi pemadaman listrik. Rindi menghidupkan lampu senter kecil yang dulu dia bawa dari Indonesia. Rindi membaringkan badannya di ranjang. Karena malam sudah semakin larut, Rindi berencana untuk pergi tidur. Di jam seperti ini tidak ada pesan ataupun telpon dari Fano. Sudah pasti suaminya itu tidak pulang lagi, setelah mensilent ponselnya. Rindi pun pergi tidur dan tidak perlu berlama-lama dia pun terlelap. Tepat saat itu Stefano menghubunginya hingga beberapa kali.
***