Udahan dong marahnya!
Ngomel mulu anjayyyy.
Gak sanggup aku.
Sekaget-kagetnya dengan diri sendiri, Apo tetap menempelkan bibir beberapa saat. Dia berkedip-kedip dengan bola mata bergulir cepat, tanda memprediksi apa sudah cukup atau belum. Biasanya para wanita bagaimana jika merayu pasangan, Apo tidak tahu persis durasinya karena belum pernah. Otaknya macet seakan ini hanya sekedar mimpi. Apo membuat jarak kala sadar ada yang tak beres dengan debaran jantung mereka.
Suaranya jelas.
Dua bersahut-sahutan dan ribut sekali.
Apo berharap segera lupa sudah melakukan hal segila barusan.
"Ehem, maaf, Yang Mulia bilang apa tadi?" tanya Apo. "Saya sepertinya sempat menyela ya? Padahal kan--"
"Nattarylie."
Raja Millerius mencengkeram lengan Apo kuat. Matanya memendam gejolak, tapi berusaha menahan diri. Apo sendiri menahan napas malah tubuhnya digebrak mendadak. Jaketnya dijambak, Apo tidak sempat bereaksi karena sang raja sudah mendekatinya.
Terlalu syok membuat si manis bisu. Dia terbelalak ke langit-langit kereta yang tinggi. Napas Raja Millerius sudah menerpa hidungnya cukup kencang, Apo pun refleks menutup mata ketakutan.
"Tunggu, tunggu, tunggu! Woy! Ampun Yang Mulia! Saya tidak bermaksud begitu! Serius! Sorry sial jangan begini padaku! Noooooo--!!"
Apo sudah berpikiran yang tidak-tidak. Tangannya --entah sejak kapan-- mengepal kaku di dada. Napasnya pun menderu hingga tidak mau tahu apa yang terjadi di luar sana. Apo kira bibirnya sudah habis dilumat sang raja. Dia panik, tapi anehnya diantara kekacauan-kekacauan royal guards tetap anteng saja. Mereka diam dan mengawal seolah tidak mendengar atau melihat apapun peristiwa di balik kaca kereta.
"Kau yang jangan bermain-main denganku, Natta. Hentikan," tegas Raja Millerius. "Kau pikir aku mendekatimu untuk candaan apa. Ini bukan lelucon saat kau butuh hiburan, dengar?! HENTIKAN!"
Eh?
Apo mengintip dengan sebelah mata dahulu. Lelaki carrier itu memastikan tidak ada apa-apa sebelum menatap sang raja total. Mereka memang berbagi napas secara intens, namun aroma kereta tetaplah wangi dan segar. Apalagi ditambah parfum Raja Millerius.
Mereka saling memandang selama beberapa saat.
Apo terpana. Dia kagum netra sang dominan makin tajam jika ditatap dari jarak sedekat ini. Mulai alis tebal nan presisi itu, kelopaknya, keningnya, determinasi dan erotika yang memancar dari dalam sana--Apo diam-diam kesal mengapa ada lelaki yang diciptakan sesempurna King Millerius Alexandre Edouard.
Apo tak melihat secuil pun kekurangan dari sosok itu. Perfect. Millerius punya segalanya, dan menjadi rebutan semua orang.
Lantas kenapa tidak sekalian saja?
Apo yakin royal guards pun akan diam jika sang dominan memerkosanya di tempat.
"Saya tidak bisa kalau soal itu. Tidak mau," kata Apo tanpa ragu. Padahal suaranya sudah goyang-goyang dan mencicit, tapi memutuskan tetap memberontak jika memang dirasa perlu.
"Apa?"
"Saya benar-benar iri dengan Anda, Yang Mulia. Iri sekali! Pokoknya jangan tahan-tahan saya! Tidak suka!" kata Apo dengan mata yang berair. "Kok bisa sih, ada orang yang terlahir dengan muka tampan, orangtua lengkap, kedudukan tinggi, sukses muda, fisik bagus, sekolah tinggi, dan ke mana-mana bisa dicintai semua orang?" protesnya. "Anda tidak tahu ya ... rasanya besok mau makan apa dengan uang seadanya, pakai baju mana saat diundang teman dadakan, karena isi lemari Anda pasti bagus semua. Belum lagi ... uang saku saya sudah habis sebelum bulan berakhir, lalu memikirkan dengan mudahnya Anda dapat pasangan? HA HA HA HA HA ... Anda pikir cuma Anda yang muak dengan kehidupan, huh? Cuih dengan semua perlombaan kotor itu, Anda tetap beruntung ya hitungannya. Sampai ada 10 kandidat terbaik, yang dipilih untuk menjadi pasangan saat saya--hampir setiap saat memikirkan kenapa besok masih sendiri, hhh ... hhh ... hhh ...." Lelaki berjiwa 42 tahun itu, tanpa sadar meneteskan air matanya. Begitu pun urat merah bermunculan dengan cepat pada bagian putihnya.
Raja Millerius seketika bingung total. Giliran dia yang terhenyak melihat betapa murninya emosi dalam netra cokelat Apo. "Sebentar ... Natta, kau ini sebenarnya membahas siapa--?"
"SAYA!" bentak Apo, tak peduli ini nyata atau game irrasional. Luka terdalamnya terlanjur tumpah ruah di kereta itu. Apo merasa dia berhak murka, melebihi murkanya seorang pemimpin Inggris. Apo pikir, Raja Millerius harus dengar, jika memang rasa ingin tahunya sebesar itu. Karena dia, si bocil super-duper ber-privilege takkan paham kesakitan yang Apo genggam selama 42 tahun terakhir. "INI TENTANG SAYA, Yang Mulia! Rakyat jelata, yang Anda sebut rendahan. Kurang dalam hal A, B, C, D dan masih banyak lainnya ... tapi meski setiap hari bekerja, tetap jarang ada keinginan yang berhasil kesampaian ...."
"...."
"So what?! Saya memang benci kepada Anda kok. Itu fakta. Dan semakin benci kenapa yang Anda inginkan malahan saya, ha ha ha--makanya ... anjing banget dengar Anda mengeluh hanya karena seperti itu," maki Apo tidak terkendali lagi. ".... setidaknya biar Anda tahu, Yang Mulia. Tak setiap saat dunia berputar di Anda saja, ya... Brengsek! Ngaca dong! Hal apa lagi, yang ingin Anda mau dari saya yang rakyat biasa ... hhh ... hhh ...."
Sangking cepatnya omelan Apo, jujur Raja Millerius hanya menangkap separuh maksud si manis. Tentang iri-nya, yang ingin kedudukan setara, tapi mudah mendapat wanita cantik (?). Namun soal uang saku dan lainnya dia tidak sempat menghubung-hubungkan. Intinya Apo benci dirinya sebagai carrier dan terpaksa ikutan berlomba --sehingga mungkin-- sang Livingstone muda sengaja membuatnya kesal setiap kali bertemu.
Oh, begitu.
Dari sana, Raja Millerius tahu Apo tidak sedang berbohong padanya. Justru dia beruntung bisa dicurhati tiba-tiba. Setidaknya sang dominan paham sudut pandang Apo selama ini. Pelan-pelan dia mengeluarkan sapu tangan dari saku untuk menyeka wajah memerah si manis.
"Shh, sshh. Sudah cukup. Aku begitu, juga tak bermaksud menyudutkanmu."
Apo menampik tangan di hadapannya.
"Minggir!! Hmph, hiks ... hiks ... hiks ..." dia melengos saat sang raja keukeuh membantu. Raungan demi raungan pun Apo lepaskan tanpa peduli. Sang raja sampai meminta sapu tangan cadangan. Seorang prajurit segera mendekat untuk mengeluarkan miliknya dari dalam saku baju. "Anda benar-benar brengsek! Paling sok! Paling jahat! Paling sombong sedunia! Hiks, hiks ... hiks ... benciiiiiiiiiiiiiiii!"
Raja Millerius pun mendekap Apo karena tak tahan lagi. Bisa-bisa rakyat sadar dengan keributan itu sangking awetnya amarah dalam kereta. Berapa kali pun Apo memberontak, tetap dikunci semakin kencang. Dia berasumsi, jika lelah nanti si manis pasti berhenti dengan sendirinya.
"Ssshhh, shhh. Shhh, shhh ... semua akan baik-baik saja."
Sesekali lelaki itu mengesun ubun-ubun Apo.
"Jangan khawatir, sshhh ... shhh ... Natta, shhh ... shhh ... aku juga minta maaf."
"Hiks, hiks, hiks ... huhu ... hiks ... hiks ...."
Malam itu, pukul 8 lebih rombongan kerajaan pun berhenti lama di parkiran Arabel dan Merve. Mereka tetap siaga, menunggu dua bangsawan di dalamnya siap keluar dari kereta. Raja Millerius sampai memindah topi flat cap-nya ke Apo agar wajah sembabnya tidak ter-notice. Meski terheran-heran, sang raja pun tak tega tertawa kala Apo bilang masih ingin jalan-jalan. Si manis ternyata mendamba penjelajahan dunia melebihi apapun. Itu terpancar dari sorot matanya yang sembab nan bengkak. Apo mau tangannya digenggam dalam saku long-coat Millerius agar hangat dari salju yang turun perdana. Sekalian sulit terpisah di tengah ramainya para pengunjung yang lalu-lalang dalam playground.
"Kalian semua di sini saja, kami masuk," kata Raja Millerius. "Cukup peringatkan si pengelola bahwa aku berkeliling di sana. Natta kelihatannya butuh ruang sedikit."
"Baik, Yang Mulia."
"Ayo, Natta."
Apo hanya ikut dan mengekor di belakangnya.
"Kita akan membuat boneka replika seperti yang kau inginkan."