Menarik kedua ujung bibirnya, Doni tertawa singkat hingga mengeluarkan suara desisan. Pemuda yang sedang duduk di kursi kerjanya itu merasa sangat bahagia. Akhirnya, ia bisa berhubungan dekat dengan seorang pria yang selama ini ia puja, di atas panggung starclub.
Meski belum ada kejelasan pasti, tapi Doni yakin, pemilik hati itu, akan mengizinkannya masuk. Mengganti posisi seseorang yang masih bertahta di hati Arga. Saat ini yang perlu ia lakukan hanya menyiram, memberi pupuk--supaya cinta yang sedang ia tanam, bisa tumbuh dan bersemi.
Doni menghela napas lembut. Pemuda itu sedang memikirkan cara bagaiamana supaya Arga bisa keluar dari lembah hitam. Yah, secepatnya ia harus mencari cara supaya Arga bisa terbebas dari jeratan sorang Madam. Pemuda itu mulai merasakan resah--membayangkan, jika pria yang ia damba sejak lama, menjadi obyek pelampiasan nafsu para pelanggannya.
"Selamat siang pak Doni."
Sapaan seorang wanita membuyarkan lamunannya. Pemuda itu menoleh ke arah sumber suara, lalu melihat seorang wanita dengan pakaian formal, tengah berdiri di ambang pintu.
"Siang mbak Ellen," balas Doni kepada sekertarisnya. "Masuk."
Doni merapikan posisi duduk, menyambut kedatangan sang sekertaris, yang sedang berjalan sambil memeluk map di dadanya.
"Ada apa, mbak Ellen?"
"Saya diminta pak Prakas,"__Ayah Doni, "ngasih proposal ini ke pak Doni." Ellen meletakan map yang ia peluk di atas meja.
Doni menghela. "Apa itu?"
"Pak Prakas minta pak Doni supaya mempelajari proposal ini. Ada perusahaan berkembang yang mau buka cabang di daerah Cilegon," jelas Ellen. "Peminatnya lumayan banyak pak, jadi sebisa mungkin pak Doni harus bisa ngajak mereka kerjasama."
"Tolong kasih tau papa aku nggak bisa," serga Doni mengabaiakan proposal tersebut. "Aku belum lama gabung di perusahaan ini, kenapa udah diserain tugas ginian si?"
"Maaf pak, saya cuma menjalankan perintah. Selebihnya itu gimana bapak yang mengatur."
Doni mendengkus. "Yaudah, biar aku aja nanti yang ngomong sama papa."
"Iya pak." Ellen mengangguk patuh. "Permisi." Kemudian wanita itu berjalan keluar ruangan setelah sang atasan menyuruhnya pergi.
Bunyi panggilan masuk pada HP di saku kemeja, mengurungkan niat Doni yang akan mengambil berkas di sudut meja. Pemuda itu lantas mengabaikan begitu saja--map bertuliskan ARGA CORP. Senyumnya mengembang saat melihat Mas Arga memanggil tertera di layar HPnya.
Dengan wajah berbinar dan hati berdesir, Doni menggeser tombol jawab. "Tumben... nelfon," ucap Doni setelah benda berbentuk persegi itu, menempel di kupingnya.
Setelahnya, pemuda itu terlihat asik berbicara dengan orang di seberang sana. Bibirnya tidak berhenti menerbitkan senyum.
***
Tanpa melupakan sopan santun, dengan lembut telapak tangan Eza mengusap punggung ibu Aswati, yang sedang menangis tersedu sambil memeluk cucunya--Arga. Wanita yang rambutnya sudah dipenuhi banyak uban itu, merasa keberatan kalau cucunya harus ikut bersama Eza.
Malam ini tepat dimana Eza akan pergi ke kota Cilegon, untuk memuli membuka cabang usahanya. Banyak alasan dan pertimbangan, yang memaksa Eza akhirnya memutuskan untuk membawa serta anaknya.
"Apa nggak sebaiknya Arga sama mama aja," mohon ibu Aswati. Wanita itu semakin erat memeluk tubuh mungil cucunya. "Kalau mama kangen, gimana?"
Eza menghela napas. "Mah..." Eza berusaha berbicara selembut mungkin. "Aku nggak bisa ninggalin Arga. Bukanya aku tega, terus enggak percaya sama mama, tapi kalau Arga ikut, aku jauh lebih tenang."
Bagi Eza, anak adalah sumber kekuatan, semangat dan juga motivasi. Setidaknya, rasa lelahnya saat pulang dari aktivitas akan menghilang, setelah melihat anaknya.
"-lagian, kami di sana enggak akan lama." Lanjut Eza meyakinkan sang mama. "Lampung ke Cilegon juga enggak terlalu jauh, mama bisa dateng ke sana kalau kangen."
Menggunakan punggung tangan, ibu Aswati membersihkan air mata di wajahnya. "Rencananya, berapa lama kalian di sana?"
"Belum pasti mah, tapi enggak akan lama. Kalau cabang baru udah selesai, secepatnya kita pulang. Aku juga enggak mungkin netep di sana. Kalau semua udah jalan, aku bisa ngontrol dari sini." Kedua tengan Eza perlahan meraih tubuh mungil anaknya dari pangkuan ibu Aswati--lalu ia pindahkan ke pangkuannya. Telapak tanganya penuh kasih mengusap kening Arga yang sudah terlihat mengantuk.
Secara tidak sengaja manik mata ibu Aswati melirik telapak tangan sang anak. Ia menghela napas lembut, melihat cincin perak bermata huruf A, melingkar di jari manis Eza.
"-tiga atau empat hari lagi, Tias nyususl ke Cilegon. Kalau mau, mama bisa ikut sama dia." Lanjut Eza kemudian.
Mengabaikan cicin di jari sang anak, ibu Aswati mengusap puncak kepala Arga. "Hati-hati ya kalian di sana, jaga diri baik-baik."
Meskipun berat akhirnya ibu Aswati pasrah, dan mengalah. Bagaimanapun juga, Eza adalah ayah dari cucunya. Ia merasa tidak lebih berbahak mempertahankan Arga.
"Mbak Itum..." panggil ibu Aswati kepada asisten rumah tangga yang akan ikut ke Cilegon. "Kamu urus cucuku yang bener ya, jangan samapai telat makan."
Wanita bernama Itum itu mengangguk takjim. "Iya bu."
Ibu Aswati menoleh ke arah pira paru baya--sedang membawa tas yang akan di susun ke dalam mobil Eza. "Pak Tono, hati-hati bawa mobilnya."
"Iya bu," sahut pak Tono sambil berjalan ke arah mobil.
Pak Tono adalah supir pribadi yang akan mengantar ke Cilegon, sekaligus melayani keperluan operasional, selama Eza berada di kota itu.
"-Tongkat pak Eza jangan lupa pak Tono," seru ibu Aswati mengingatkan.
"Sudah bu!" Pak Tono berteriak dari belakang mobil.
Kecelakan beberapa tahun lalu juga sempat membuat kaki Eza cidera. Walapun masih bisa berjalan normal, tapi kadang ia merasakan nyeri kalau menempuh perjalanan jauh. Tongkat itu hanya sekedar untuk berjaga-jaga saja.
Ibu Aswati menatap putranya penuh kasih. "Kabarin mama kalau udah sampai Cilegon."
Eza tersenyum simpul.
***
Bola mata Madam menyipit, menatap Arga yang sedang duduk di kursi rias, tengah menelfon seseorang. Yang membuat Madam merasa kesal, lantaran Arga terlihat bahagia--tertawa dengan orang yang sedang ia ajak bicara melalui udara. Madam tidak pernah melihat Arga tertawa sebahagia itu saat sedang berkomunikasi dengan seseorang.
Dengan langkah kesal, Madam berjalan mendekati gigolo kesayangannya.
"Arga!" Seru Madam setelah ia duduk di atas meja rias--di hadapan Arga.
Kehadiran Madam-madam yang tiba-tiba, membuat Arga buru-buru menutup telfonnya, lalu memasukan HP ke dalam saku celana jeansnya.
Menggunakan kipasnya, Madam memukul punggung Arga. "Kamu barusan telfoanan sama siapa?" Selidiknya.
"Emangnya kenapa Madam?" Sahut Arga malas. "Madam nggak harus tau kan aku telfonan sama siapa?"
Manik mata Madam melirik sinis ke arah Arga. Jawaban pria itu membuat ia merasa kesal. "Akhir-akhir ini aku perhatiin kamu ketawa terus kalau lagi telfonan." Madam membuka lebar kipasnya, lalu ia mengipasi tubuhnya dengan gerakan cepat. "Tadi siang juga kamu telfonan terus."
"Emang apa salahnya kalau aku ketawa?" Tandas Arga.
"Madam curiga, kamu lagi deket sama cowok itu kan? Inget Arga, kamu enggak boleh terlalu deket sama satu pelanggan. Arga, kamu harus profesional. Jangan sampai kamu bikin baper pelanggan, apalagi kalau sampai kamu yang baper."
Arga membuang napas kasar. Merasa malas menanggapi mahluk jadi-jadian, pria itu beranjak dari duduk lalu meninggalkan nya.
"Arga! Madam belum selesai ngomong!"
Pria itu melangkah gagah, mengabaiakan Madam yang terus berteriak memanggilnya.
"Arga...!!!"
Tbc