"Seharusnya kau tidak melakukannya."
Chelsea memalingkan muka. Berusaha membuat jarak sejauh mungkin dengan pria di hadapannya. Namun, usaha itu sia-sia. Aroma alkohol menggantung di udara, bercampur bau mulut tidak sedap. Chelsea yakin pria itu sudah berhari-hari melupakan sesi gosok gigi.
"Aku hanya melakukan apa yang kuinginkan," ujar gadis itu dingin. "Kau tidak berhak melarangku."
"Aku ayah tirimu, Girl." Pria itu menegaskan kedudukannya dalam rumah suram Chelsea.
"Hanya ayah tiri." Chelsea sinis. "Itu juga karena kau menginginkanku daripada ibuku. Pernikahan palsumu membuat Mom meninggal. Kau tahu itu." Gadis itu memberanikan diri menusuk dada si pria dengan telunjuk.
Namun, tindakannya yang sembrono memicu kemarahan sang ayah tiri. Satu tangan Chelsea yang masih bebas dari cengkeramannya, mulai direnggut paksa. Kini dua pergelangan tangan gadis itu dicengkeram kuat-kuat oleh sang ayah tiri.
Pria itu tidak memedulikan jeritan histeris Chelsea. Tanpa kesulitan karena perbedaan postur tubuh yang sangat mencolok, pria itu mendesak putri tirinya ke dinding. Satu tangannya menahan pergelangan tangan Chelsea di atas kepala, sementara tangan yang lain mencengkeram dagu gadis itu.
"Aku tidak membunuh ibumu. Dia mati karena kebodohannya sendiri," desis pria itu jengkel.
Chelsea tidak tahan lagi. Bibir penuh yang tidak pernah terpulas lipstik itu meludah. Tepat mengenai muka si pria. Raungan murka terdengar kencang. Cengkeraman di dagu mengendur cepat, berganti satu tamparan keras di pipi. Suara nyaring membahana di ruang tamu sempit dan sesak itu.
"Gadis berengsek!" Pria itu menjambak segumpal rambut cokelat Chelsea lalu menariknya kuat-kuat hingga kepala gadis itu mendongak. "Kau tahu apa yang sudah kukorbankan untukmu. Jangan coba-coba kabur dariku."
Sepasang mata hijau menatap penuh kebencian pada pria yang menjulang di hadapannya. Tidak ada ketakutan. Chelsea justru penuh tekad. Sorot di lensa penglihatan itu berkilat-kilat. Tingginya memang hanya mencapai 165 sentimeter, tetapi keberanian gadis itu jauh melampau ekspektasi tinggi badan.
"Sejauh apa pun kau mengejarku, aku akan tetap terus menghindarimu." Suara bernada sangat dingin itu nyaris membekukan aliran darah si pria.
Ayah tiri Chelsea tertegun. Aura yang memancar kuat dari si mungil itu membuatnya gamang. Tak sadar dia mundur selangkah. Cekalannya di pergelangan putri tiri yang terpaut hanya dua tahun lebih muda darinya itu mengendur.
Kesempatan yang tidak disia-siakan Chelsea. Dalam satu sentakan kuat, dia melepaskan cekalan si pria. Tangannya dengan segera mendapat kebebasan. Tanpa membuang waktu, dia mendorong dada si pria kuat-kuat hingga terhuyung ke belakang, lantas menyelipkan diri di antara celah sempit dirinya dan tubuh berlemak yang hampir menjepit Chelsea.
Langkah gadis itu berderap keluar ruang tamu. Suara kakinya berdebum di lantai kayu tua. Dia hampir mencapai koridor menuju luar rumah saat merasakan tarikan kuat di kerah belakang kaus.
Jeritan gadis itu terdengar kencang bersamaan dengan tubuhnya yang terjungkal ke belakang. Sengatan nyeri menyerang punggung dan kepala. Chelsea meringis. Pandangannya berkunang-kunang. Dia masih berusaha memulihkan diri saat merasakan lagi renggutan kuat di rambut.
"Kembali ke kamarmu, anak bodoh!"
Chelsea diserang kepanikan. Tubuhnya mulai terseret. Tangannya berusaha melepaskan jambakan ayah tiri. Kaki ramping menendang-nendang liar. Namun, pemilik tubuh besar nyaris seperti raksasa dengan tinggi hampir 190 sentimeter dan berat mencapai seratus kilogram lebih itu ternyata kebal terhadap perlawanan Chelsea. Tanpa kesulitan dia terus berjalan menarik tubuh gadis dua puluh tahun itu.
"Lepaskan aku!" Chelsea masih berjuang membebaskan diri.
"Setelah susah payah mendapatkanmu?" Pria itu mencibir. "Tidak akan!"
Lantai kayu yang licin mempermudah si pria menyeret Chelsea. Mereka sudah berada di koridor, tetapi tidak mengarah ke pintu keluar. Sebaliknya, pria itu membawa anak tirinya ke kamar paling ujung, tepat sebelum dapur dan berada di depan ruang duduk.
Jelas itu bukan kamar Chelsea. Gadis itu sudah mendiami kamar di loteng rumah sejak ibunya menikah lagi hampir tiga tahun silam. Kamar yang sepi dan lembap, dengan pemanas ruangan yang sering rusak hingga membuat Chelsea terpaksa bergelung di balik berlembar-lembar selimut tebal saat musim dingin.
Namun, kamar itu adalah benteng yang aman dari sergapan ayah tirinya. Chelsea sudah menambah kunci dengan beberapa selot ekstra. Dia juga sudah mengganti daun pintu dengan bahan kayu yang lebih kuat dan tebal. Butuh usaha cukup keras jika si pria nekat mendobrak. Jika kemungkinan itu terjadi, Chelsea masih bisa melarikan diri ke balkon kecil yang terhubung dengan pohon ek besar di pekarangan rumah.
Namun, pertahanan itu hanya efektif di kamar lotengnya. Bukan di kamar orang tuanya di lantai bawah dengan ayah tiri yang bertekad kuat mengurung Chelsea setelah usaha kabur gadis itu untuk kesekian kali.
"Dasar gadis usil. Kali ini tak akan kubiarkan kau pergi lagi."
Wajah Chelsea memucat. Dia tahu nada suara ini. Nada penuh tekad. Penuh ancaman. Penuh kekuatan. Penuh rencana.
Pandangan gadis itu melayang ke langit-langit rumah yang kusam. Jika dia sampai masuk ke kamar orang tuanya, tak akan ada kesempatan melarikan diri. Kamar itu tidak berjendela dan hanya memiliki satu pintu. Tenaga perempuannya tidak akan bisa mendobrak keluar jika sampai terkurung di sana.
Otaknya mulai berpikir cepat. Pandangannya nyalang memindai tiap sisi koridor. Tidak ada benda yang bisa digunakan untuk melepaskan diri. Chelsea mengembuskan napas keras. Dia tidak boleh panik, gadis itu memberi perintah ke diri sendiri.
Si pria akhirnya memasuki kamar tidur utama. Aroma lembap dan apak menguar kuat, bercampur dengan sejejak manis mariyuana. Chelsea mengertakkan gigi. Ini kesempatan terakhirnya. Satu-satunya kesempatan.
Punggungnya bergesekan dengan karpet murahan yang dibeli mendiang ibunya di pasar loak. Setelah area berkarpet ini, Chelsea akan tiba di tempat tidur orang tuanya. Kesempatannya untuk lolos dari cengkeraman sang ayah tiri kian menipis.
"Kau akan menggantikan ibumu di sini." Pria itu menarik rambut Chelsea ke atas. Otomatis membuat gadis itu berdiri dengan ringis kesakitan tercetak di wajah.
"Lepaskan aku!" Chelsea masih meronta.
Namun, ayah tirinya tidak menggubris. Pria itu berusaha mendorong Chelsea ke tempat tidur. Namun, pergerakan gadis itu lebih cepat.
Kaki kanannya terangkat menuju pangkal paha si ayah tiri. Tanpa ampun dia menendang hingga pria itu meraung kesakitan dan spontan melepas jambakan di rambut Chelsea.
Gadis itu bergegas menjauh. Efek dari serangan panik yang dirasakannya membuat Chelsea bertindak impulsif. Disambarnya lampu meja di nakas lalu menghantamkannya kuat-kuat ke kepala pria yang masih berlutut di lantai. Suara derak keras disusul beling yang pecah terdengar nyaring. Kemudian, hening.
Napas Chelsea tersengal-sengal. Matanya nanar memandangi sosok tinggi dan besar yang ambruk. Tidak ada pergerakan. Tidak ada suara. Pria itu seolah mati.
Takut-takut Chelsea mendekat. Dia melongok dari atas dan seketika mencelus. Bercak merah gelap merembes dan terserap bahan karpet. Makin lama makin deras hingga membentuk genangan kecil.
Chelsea menelan ludah. Dengan ujung kaki, dia menyodok tubuh gemuk itu. Sama sekali tidak ada pergerakan. Wajah gadis itu kembali memucat.
"John? Bangun! Yang benar saja! Kau tidak mati, bukan?"
Chelsea menelan ludah. Ini tidak benar. Dia bukan pembunuh. Semua itu terjadi secara tidak sengaja. Sekali lagi dia menyodok tubuh yang tergolek di lantai itu dan seketika menjerit kaget saat pergelangan kakinya tiba-tiba dicengkeram sangat kuat.
Gadis itu menjerit sekuat tenaga. Dia menendang sekeras mungkin pria yang menatap ke arahnya dengan pandangan kosong. Tanpa berpikir panjang, Chelsea langsung berlari keluar rumah.
Sayang, itu keputusan yang salah. Chelsea terlalu takut sampai tidak mampu berpikir jernih. Dia hanya berlari dan berlari, tidak melihat saat ada truk besar lewat di depan rumahnya.
Terdengar suara benturan keras. Tubuh Chelsea terlempar lalu menghantam aspal. Darah kembali menggenang, tetapi berasal dari tubuh yang berbeda. Lalu kegelapan menelan diri Chelsea sebelum akhirnya mata indah itu tertutup rapat.