webnovel

Sekretaris Willona

Willona Adara Paramadhita—perempuan cantik bertalenta dengan otak cerdas. Ia harus mendapati perusahaan keluarganya bangkrut dan memaksa dirinya untuk menjadi seorang sekretaris dari Kenan Argadinatha—Argants Contructions Corporation. Sudah dua tahun lamanya Willona menjadi sekretaris Kenan menghadapi sikap dingin, angkuh, dan tak berperikemanusiaan memberinya lembur setiap malam. Lalu apa yang membuat Willona bertahan? Gaji besar! Jelas. Orang buta pun tahu jika seorang Kenan tak akan memberi gaji kecil kepada siapa pun yang berada di lingkup kerjanya. Dan hal inilah yang membuat Willona bertahan hingga detik ini. Namun, suatu malam mengubah segalanya. Willona harus menghadapi pernikahan mendadak dari keluarganya hanya karena sebuah janji. Terpaksa, hanya itulah kata keluar dari mulutnya untuk mengiyakan. Willona tidak menyangka seseorang yang telah menjadi suaminya adalah bossnya sendiri. Dan hal itu yang membuat Willona membrontak dalam hati karena mendapati Kenan bukanlah lelaki single. Dia mempunyai kekasih. Lalu, apa yang akan dilakukan Willona? Memilih bercerai atau tetap mempertahan pernikahan dengan menahan sesak di hati?

SenyaSSM · 现代言情
分數不夠
18 Chs

Saya pun Bisa Hamil

"Kenapa senyum-senyum begitu. Kau sedang mengejekku?"

Willona menggeleng.

"Kenyang, Pak? Sepertinya Anda memang sangat kelaparan ya. Apa tadi di pesta tidak makan?"

Pertanyaan yang membuat Kenan hanya melengos dan melangkah lebih dulu ke dalam rumah megahnya yang sudah dua hari tak ia tempati karena kesibukan kantor yang mengharukan dirinya menyelesaikan dalam jangka waktu tersebut.

"Eh, Pak Kenan main masuk aja!" seru Willona yang langsung melangkah gelagap menyusul sang boss.

Beberapa pelayan masih terlihat berdiri menyambut sang Tuan rumah. Willona menunduk, menatap jarum jam tangannya tepat berada di angka sebelas malam. Seharusnya para pelayan sudah beristirahat dengan nyaman. Perempuan itu menggeleng, ia tahu ini semua pasti karena peraturan yang masih berlaku di rumah ini.

Haish, mengesalkan.

"Kalian istirahat aja," lirih Willona pada mereka yang sedang menundukkan kepala hormat dan ketika mendengar suara Willona mereka mencuri lirik takut-takut.

"Tidak apa-apa, kalian bol—"

"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara datar Kenan mengejutkan Willona yang sedang memberi instruksi kepada para pelayan rumah Kenan. Dan hal tersebut cukup membuat Willon terkesiap.

"Aku tanya, kau sedang apa?" Ulangnya lagi dengan menekan nada bicara. "Kau lelah?"

"Hah?"

"Apa, Pak? Sa-saya maksudnya?" Willona menunjuk ke arah dirinya sendiri dengan tatapan cengo.

"Lalu siapa lagi, mereka? Kau bisa ganti baju dengan seragam mereka kalau kau ingin bergabung menjadi pelayan di rumah ini."

Mata Willona membulat, ia terpaku di tempat membiarkan lelaki tampan itu melangkah menaiki anak tangga dengan satu tangan masuk saku celana panjang.

"Cih, lebih baik aku jadi pelayan daripada jadi istrimu. Benar tidak?" Willona menoleh pada beberapa pelayan yang justru saling menatap satu sama lain di antara mereka dengan bingung. "Haish, kalian sama aja. Sudahlah, istirahat. Udah sangat malam ini, kalian juga butuh memulihkan tenaga."

Willona mengibaskan tangan di udara dengan desah lirih.

"Baik, Nyonya. Kami permisi," ucap salah satu dari mereka yang diangguki Willona.

Willona menyebar pandangan pada ornamen cantik nan antik dari rumah megah ini. Ia tidak menyangka bisa menginjak kaki kembali di sini. Rasanya setelah berbagai masalah yang ditimbulkan Kenan, rumah ini cukup membuat hati Willona tenang.

"Yah, nggak apa-apa sih, setidaknya aku nggak sampai ketemu mama yang selalu nyebut nama dia lagi."

Willona memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Bukan satu kamar dengan Kenan. Mereka kembali berbeda kamar setelah insiden Bimo datang dulu.

Sementara itu, Kenan sedang terduduk di pinggiran ranjang. Ia menyentuh perut kekarnya, tanpa sadar sudut bibir lelaki tampan itu terangkat dengan leluasa. Perasaan yang berbeda dari yang pernah ia rasakan.

"Perempuan itu sungguh meracuni aku. Seandainya aku tidak makan mangkok bangkosnya pasti aku tidak akan mendengar ejekannya.

"Astaga, apa yang sudah kulakukan tadi. Aku sampai tidak menyadari merebut mangkoknya. Dasar sinting kau Kenan! Sejak kapan kau bisa menyukai makanan tidak bersih seperti itu."

Kenan merutuki sikap bodohnya. Seharusnya ia bisa menahan dirinya untuk tidak seceroboh itu hingga sampai di rumah tadi, Willona masih saja mengejeknya dengan pertanyaan yang terus berulang.

"Ck, aku harus mandi."

Di tempat lain Willona sudah membersihkan tubuhnya dan sudah membalut dengan piyama tidur berbahan satin putih, sangat menawan pas sekali dengan bentuk tubuhnya.

Perempuan cantik itu menghampiri sebuah kaca besar yang memantulkan seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Kedua alis tipis perempuan itu terpaut dengan tangan mengapit pinggang rampingnya.

"Sebenarnya apa yang kurang dariku? Wajah? Atau ini ....."

Willona memegang kedua dada yang ia pikir lumayan besar tak kalah dengan model majalah.

"Tidak ada yang kurang. Kenapa Jerry justru meninggalkanku hanya demi uang, apa dia pikir cinta lebih berbahagia dari uang?"

"Aku sama sekali tak habis pikir. Setelah dia melakukan itu, aku jadi jijik pada Jerry. Cih, aku sudah tak sudi mengenalnya." Lanjut Willona sembari mematut pantulan dirinya di sana.

Namun mendadak suara ketukan membuyarkan umpatan Willona. Ia menikah, lantas berteriak menyahuti, "Sebentar. Aku ke sana!"

Pintu kamar terbuka, Willona mengernyitkan kening ketika melihat sosok kekar berbalut piyama tidur berwarna hitam sedang menyenderkan tubuh di samping pintu dengan tangan membawa botol kaca dan sebuah gelas.

"Iya, Pak Kenan ada apa?"

Ingin rasanya Willona melempar apa pun yang ada di kamarnya pada Kenan yang sangat mengganggu waktu istirahatnya. Padahal besok dirinya sudah harus menemui klien yang sangat ditakuti lelaki itu.

"Pak Kenan, hallo! Ada perlu apa ya. Ini sudah sangat malam. Bukankah sudah waktunya beristirahat?" Ulang Willona dengan desah kesal.

"Temani aku minum. Aku tau kau juga sedang bersedih bukan?"

"Kata siapa?"

"Tidak perlu berbohong."

Heh, apa-apaan ini?

Tubuh Willona menepis di pinggiran pintu mendapati Kenan menerobos begitu saja ke dalam kamarnya. Padahal ia sama sekali tak sudah tak sedih, karena Jerry meninggalkan Willona demi perusahaan Tania.

Dan lelaki seperti Jerry memang pantas dihempas sejauh-jauhnya.

"Kamarmu lumayan. Tidak seperti ruang kantormu. Apa kau memiliki kepribadian ganda?"

"Pak Kenan jangan mengada-ngada. Saya lelah, saya ingin beristirahat. Silahkan Anda pergi dari kamar saya," usir Willona dengan desah lemah.

"Kau mengusirku?"

"Menurut Bapak bagaimana?"

"Hissh, kau memang sangat berani."

"Tapi, tak masalah. Aku akan di sini."

Mulut Willona dibuat ternganga lebar, tak percaya. Bukan, bukan itu jawaban yang ingin perempuan tersebut dengar. Kenapa bisa lelaki sepintar dan sejinius Kenan bisa memiliki jawaban seaneh itu. Apa Willona salah dengar? Mungkinkah telinganya yang sedang bermasalah?

"Duduklah di sini ...." Kenan menepuk pinggiran tempat tidur Willona tanpa rasa berdosa. "Aku sedang ingin minum."

"Tapi, saya tidak mau minum. Silahkan Anda saja," ucap Willona menolak gelas yang disodorkan berisikan wine merah setengah gelas. "Saya biasa minum itu." Willona melirik pada gelas bening di atas nakas.

"Air putih?"

Willona mengangguk. "Lebih sehat itu, Pak."

"Sekali saja, minum ini. Temani aku."

"Baik, Pak." Willona menerima gelas itu dengan terpaksa. Ia menurunkan pandang sejenak pada cairan merah itu, lantas kembali menegakkan kepala. Ia tak berniat ingin mencicip setetes pun.

"Kakek minta cucu. Apa kau punya kenalan wanita yang sedang hamil?" tanya Kenan dengan nada frustasi setelah beberapa menit lalu, lelaki itu menerima panggilan video dari asisten pribadi sang kakek yang langsung tersambung dengan dirinya.

"Maksud Bapak apa?"

"Kau ini tuli atau apa. Jelas-jelas aku aku mengatakan kalau Kakek minta cucu," jelas Kenan sekali dengan nada kesal.

"Bukan itu, Pak. Yang perempuan hamil, apa Anda tidak berniat ingin meminta anaknya?"

"Hem, kenapa tidak? Nanti kau harus ke luar negeri agar kakek tidak curiga. Seluruh biaya akan aku kutanggung, bersenang-senanglah di sana," tanggap Kenan yakin sembari menenggak minuman yang ada di botolnya.

"Saya tidak mau. Kenapa harus melalui wanita lain, jika saya bisa hamil anak Pak Kenan?"