"Om, udah donk jailnya ah. Sesak nih gue, rese bener sih," protes Shireen, mengibas khimarnya berusaha menghilangkan asap yang mengerubungi sekitar tempat duduknya.
Sullivan pura-pura tidak mendengar, pria itu malah semakin dalam menghisap rokok ditangannya. Lalu mengembuskan asap yang keluar dari mulut juga hidungnya, melihat sikap Sullivan yang cuek, Shireen merasa kesal.
Setelah berusaha mengatur napas dengan menjauhi Sullivan. Shireen menyingsingkan khimar ke atas bahunya, dia berjalan dengan gagah kembali mendekati Sullivan yang masih asyik dengan rokoknya.
Dengan cepat, Shireen menginjak kaki pria itu sehingga Sullivan mengaduh kesakitan. Rokok ditangannya terjatuh ke tanah, serangan Shireen yang mendadak membuat Sullivan terkejut.
"Apaan sih suing lo," gerutu Sullivan, mengangkat sebelah kaki dan mengusap-usap bekas injakan Shireen yang cukup membuat ngilu.
"Lagian, tengilnya lo itu nggak berubah!" tukas Shireen, kakinya puas menginjak rokok yang terjatuh. Berkali-kali dia menghentakkan kakinya ke tanah. Sullivan tersenyum tipis, lalu menyembunyikan wajahnya.
"Kalau mau senyum, ya senyum aja. Gosah kaya begitu, gengsian amat lu," tembak Shireen, wajahnya cemberut karena kesal. Dia berdiri tepat didepan Sullivan, sambil berkacak pinggang.
"Apaan sih," cebik Sullivan, tangannya bersiap menyalakan rokok baru. Sigap, Shireen menepuk tangannya dan rokok kembali terjatuh. Sullivan menatap tajam Shireen yang berdiri angkuh didepannya.
"Lo bilang orang rese, tapi lo sendiri yang rese sama orang. Hello suing, introspeksi diri!" sentak Sullivan, jari telunjuk dan tengahnya dia taruh dikepala.
"Lagian, kenapa sih sengaja banget. Udah tau gue nggak suka asap rokok," bela Shireen, membenarkan tindakannya.
"Oh, lo nggak suka. Ya, urusan lo."
"Lu tau aki-aki suing, tapi lu pura-pura nggak tahu."
"Oh getto toh."
"Ngeselin!"
"Ngaca."
"Ih, lu emang nyebelin parah." Shireen kembali duduk di samping Sullivan, pria itu menggeser posisinya.
"Oh," sahutnya tanpa ekspresi, mulutnya membukat. Tidak sedikitpun dia menoleh, pada gadis rasa janda di sebelahnya.
Dari kejauhan Alea melambaikan tangannya, mereka berdua ikut mengangkat tangan. Membalas lambaian tangan Alea, bocah itu terlihat membersihkan badannya dari pasir. Kemudian berlari menghampiri Shireen dan Sullivan yang duduk berdampingan.
Ketika sampai, Alea langsung memeluk Shireen. Sullivan terkejut melihat tindakan Alea, netranya menatap bocah dan Shireen bergantian. Bukan hanya Sullivan saja yang terkejut, Shireen juga tak kalah terkejutnya.
Saat tangannya mengusap rambut Alea, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti naluri seorang ibu yang menyayangi anaknya, Shireen memeluk Alea erat. Mereka cukup lama berpelukan, saat bocah itu melepas pelukannya. Shireen melihat gelang yang dia berikan pada Sullivan, sedang dipakai oleh bocah dihadapannya.
Seketika hati Shireen berdesir, matanya mendadak panas. Rasa terharu menyelusup ke dalam hatinya, dia melirik Sullivan yang diam memperhatikan mereka berdua. Matanya kembali menatap Alea lekat, dia merasakan ikatan batin dengan bocah itu.
"Sayang, gelangnya bagus banget," puji Shireen. Mengusap punggung tangan Alea.
"Iya, ini punya boy," sahut Alea, kepalanya ia arahkan pada Sullivan, bocah itu duduk diantara mereka.
"Boy? Kok, manggil Papanya boy?"
"Karena kita teman."
"Temannya jutek banget, ya sayang," goda Shireen, ekor matanya melirik Sullivan.
Pria itu mengubah posisi duduknya membelakangi mereka, tapi telinganya dia pasang lekat. Karena takut dengan pembicaraan bocah kesayangannya juga Shireen, yang pintar menjebak dengan pertanyaan. Sullivan sdar betul dari mana Shireen mempelajari semua itu, hingga saat ini dia masih belum melupakan apapun.
"Walaupun boy jutek, kadang bagaikan kulkas dingin. Tapi, boy orang yang baik tante." Alea membela Sullivan.
"Iya, dia memang orang baik. Tapi banyak nyebelinnya," ejek Shireen, wajahnya mengkerut tersenyum mesem.
"Kok, tante kayanya tau sekali boy, pacarnya yah?" terka Alea, seketika tawa Shireen pecah mendengar perkataannya.
"Hahaha, kamu ini kecil-kecil tau pacaran." Shireen mencubit hidung mungil Alea, gemas.
"Tante cantik tinggal dimana?"
"Didekat sini, sebetulnya rumah tante di Bandung. Tapi, lagi ada pekerjaan di sini beberapa hari."
"Oh, begitu yah. Hmm, mau main sama kau sebentar?" pinta Alea, memasang mimik muka memelas.
"Main apa sayang? Memang Mama kamu kemana?"
"Ma, Mama...." Alea menundukkan kepala, wajahnya berubah murung.
"Kok, jadi sedih sih sayang. Im sorry for asking you," ujar Shireen, dia merangkul Alea ke dalam pelukannya.
"No problem, aunty," sahut Alea, lirih. Bocah itu membenamkan kepalanya di dada Shireen, moodnya mendadak berubah ketika Shireen menanyakan soal sosok ibunya. Karena sampai saat ini Alea belum pernah berjumpa sekalipun.
Mendengar suara parau Alea, Sullivan membalikkan badan menghadap mereka. Tangannya menarik paksa Alea dari pelukan Shireen, bocah itu hanya pasrah mengikuti gerakannya. Sullivan mengusap rambut pendek Alea, lalu membisikkan sesuatu yang membuat bocah itu kembali tersenyum.
"Thanks you, boy," ucap Alea, bergelayut manja dipangkuannya.
"Urwell baby, happy for you girls," sahut Sllivan, melepaskan Alea dari pelukannya.
"Tante, ayo," ajak Alea, menggamit tangan Shireen mengajaknya bermain pasir.
Alea dan Shireen tampak bahagia saling melempar pasir, wanita itu tidak peduli dengan gamisnya yang kotor. Melihat pemandangan didepannya, Sullivan terusik suatu perasaan yang selalu dia bunuh selama ini dan tidak pernah diberikan pada siapapun.
Terkadang dia merasa kasihan saat Alea mengeluh, menginginkan kehadiran sosok seorang ibu dalam hidupnya. Namun, Sullivan selalu menepis rasa itu dari hatinya. Sebab bagi Sullivan memelihara perasaan kasihan, jauh lebih berbahaya dari pada rasa sayang.
Orang sering lemah ketika hatinya merasa kasihan pada sesuatu, Sullivan tidak mau hal tersebut terjadi pada dirinya. Untuk itu, dia selalu memberikan batasan baik pada perasaan maupun dirinya. Dari dulu pria itu tidak suka membesarkan perasaan dari pada otaknya. Apalagi untuk urusan cinta dan hubungan yang rumit.
Hidupnya tidak pernah sekalipun terlibat suatu hubungan atas dasar rasa cinta. Dia tetap berpegang teguh pada motto hidup, take it or leave it. Siapa yang datang akan dia sambut dan siapa yang ingin pergi, akan dia biarkan begitu saja.
Shireen berjalan kembali ke arahnya, terlihat Alea asyik bermain ayunan. Sambil berjalan, wanita itu berusaha membersihkan gamisnya yang penuh dengan pasir. Shireen mengulumkan senyum dan duduk lagi di samping Sullivan, pandangannya lurus menatap Alea yang tertawa ceria sambil berayun.
"Sampai kapan, Om, bisa sembunyikan rahasia kalau Alea itu anakku," ujar Shireen, melontarkan pertanyaan yang menusuk.
"Lo selalu aja over thinking, negatif thinking lo juga belum hilang, ckckck," desis Sullivan, sudut bibirnya terangkat tipis.
"Heh, gue yakin suatu hari Allah akan bantu gimana pun caranya. Karena gue yakin, anak gue masih hidup," ucap Shireen yakin, wajahnya tersenyum semringah.
"So agamis banget lo sekarang," cibir Sullivan.
"Setiap orang punya kesempatan kedua dalam hidupnya. Tuhan selalu baik pada semua hambanya, tapi sayang terkadang orang merasa suci sendiri. Lupa dengan dosa," sindir Shireen.
"Ya, ustadzah," sahut Sullivan tanpa ekspresi.
"Jadi lupa tujuan gue dateng kesini, gegara si cantik anak lo yang mengalihkan dunia gue sesaat. Kehampaan ini tiba-tiba hilang ngelihat senyum bocah itu.
"Lebay," tukas Sullivan.
"Oom Suu, kasih gue kesempatan sekali lagi, ya," pinta Shireen, kedua tangannya dia satukan didepan dada.
"You know motto hidup gue, take it or leave it. And I choose leaving you, from my life, understand," tandasnya, menatap tajam Shireen dari balik kacamatanya.
Shireen menarik napas dalam-dalam, dia mengerti tidak semudah itu mengusik prinsip hidup Sullivan. Shireen menundukkan kepalanya, mengucapkan istighfar berkali-kali. Dia berusaha menguatkan hatinya, untuk menerima keputusan Sullivan yang sudah bulat tidak mau menerimanya kembali.