"Apakah sangat lama kamu belajar disana Shem?" tanya Adaline denhan tatapan sedih, ia celupkan tangannya sambil bermain air sungai.
"Selama tiga tahun, Adaline. Royal Great di Negara Mercussa" sahut Shem.
"Aku akan sangat-sangat merindukanmu." Meneteslah air mata cinta dari gadis itu.
"Aku juga pasti merindukanmu, maafkan aku. Ini sebuah keharusan. Pendidikan disana takkan membolehkan kami meninggalkan Royal Great. Jadi aku takkan pernah pulang sampai tiga tahun ke depan," lanjut kata Shem.
"Oh ... Tidak, bagaimana aku bisa memendam rindu selama itu?" Adaline semakin menangis.
"Lakukan kegiatan yang banyak, atau kau juga bisa meminta Ayahmu untuk mendaftarkanmu ke Pendidikan Putri Raja? Di sana kau akan sibuk belajar sama denganku. Sehingga kau akan sibuk tak sempat merindukan aku."
"Tidak Shem, keluargaku menerapkan pendidikan di istana sendiri, aku privat diajari oleh guru yang hadir ke istana setiap hari. Mungkin aku perempuan, jadi ayahku tidak begitu menomorsatukan pendidikan untukku. Beda denganmu, kamu adalah laki-laki dan harus menjadi pemimpin. Akan sangat penting pendidikan itu." Adaline memberikan alasannya.
"Iya, memang benar katamu, Ayahku juga menjelaskan seperti itu. Apalagi aku anak satu-satunya." jawabnya.
"Aku sangat takut Shem," ucap Adaline.
"Takut kenapa? Kita akan baik-baik saja," jawab Shem.
"Tidak ada jaminan. kita tak akan pernah bertemu lagi selama tiga tahun. Kita juga tak bisa berkomunikasi lagi. Kamu akan melupakan aku dan bisa saja kamu disana akan bertemu wanita yang lebih cantik dari aku. Lalu kamu meninggalkan aku," Adaline menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Shem sangat tahu dia menangis semakin deras.
"Jangan katakan demikian, Adaline. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku sampai kapanpun." Dia mengelus rambut Adaline.
"Tidak ada jaminan Shem. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi nanti,"
"Aku akan meminta pengawalku setiap tanggal pertengahan bulan untuk datang ke Royal Great, aku akan selalu menitipkan surat untukmu. Dia akan rutin mengantarkan pesanku itu untukmu, jadi setiap bulan kita akan saling tahu kabar masing-masing." Shem memeluk erat tubuh Adaline.
"Aku snagat senang mendengarnya. Semoga itu terlaksana dengan lancar. Dan kamu bisa menjadi Pemuda kebanggan Rajamu. Aku akan selalu menunggu surat darimu kelak." Mulai tampak senyuman haru dari bibirnya.
"Aku juga akan selalu menunggu balasan surat darimu selalu, Sayangku." Shem mengecup mesra kening Adaline.
Betapa Shem juga sangat berat sebenarnya meninggalkan Adaline. Semenjak mereka menjalin hubungan cinta, sekalipun mereka tak pernah jauh. Dan kapanpun Shem merasa rindu, ia dengan leluasa mendatangi Istana Serafin. Dan jika Adaline yang merindukan Shem. Maka akan ada utusan yang datang ke Sadrach untuk menyampaikan kepada Shem.
Hanya waktu satu minggu ke depan untuk mereka berdua saling bisa bertemu, setelah itu Shem harus berangkat dengan kuda menuju Negara Mercussa, untuk belajar di Royal Great. Mereka hanya berharap. Agar cinta mereka tidak akan pupus oleh waktu dan jarak yang akan memisahkan mereka berdua kelak.
"Aku berjanji kepadamu Adaline, setelah aku lulus dari sana, ketika itu usiaku sudah dua puluh satu tahun. Aku akan meminta orang tuaku untuk melamarmu. Kita akan menikah nanti. Saat itu usiamu telah sembilan belas tahun, kan ya?" Shem megutarakan sebuah janji kepada Adaline.
"Sungguh Shem?" Adaline terkejut dan menatap Shem dengan mata yang berbinar-binar, dia tak menyangka mendapat ucapan janji dari Shem. Janji yang pasti menjadi mimpi semua gadis di masa depan.
"Sungguh, keturuan Raja takkan mungkin ingkar janji. Percayalah kepadaku, dan kita nantikan hari itu." Shem memeluk erat Adaline lagi.
Aku tak sabar ingin menikah denganmu, kita akan bahagia dan takkan ada lagi yang memisahkan kita," Adaline semakin mengembangkan senyumnya.
"Iya, seperti orang tua kita. Bahagia bersama anak-anak kita kelak." Shem membalas dengan hangat.
Abraham telah diberi pesan oleh Pamgeran Shem, semenjak kepergiannya dengan sang Ayah, membuat Shem was-was akan keselamatan Masyayel, maka dari itu dia meminta Abraham untuk menemaninya dan sekalian saja mengajari Masyayel menggunakan pedang. Karena itulah Abraham mencoba mendatangi kamar pangeran Shem karena niatnya ingin menemui Masyayel. Ia ketuk pintu kamar itu. Hingga membuat gadis itu terbangun. Ia mengucek-ucek matanya. Siapa yang mengetuk pintu? Kalau Shem pasti langsung masuk kamar. Ini kan kamarnya? Oh iya, dai baru teringat kalau Shem berpamitan akan pergi bersama Ayahnya. Mungkin yang mengetuk pintu Paman Elliot? Masyayel bangkit dan melihat dirinya masih memakai handuk. Maka dia segera bergegas mencari pakaiannya dan memakainya.
"Tunggu sebentar ya? Siapa di luar?" Tanya Masyayel
"Abraham, Tuan Putri," jawabnya.
"Ooh Abraham ada apa dia sampai mencariku?" bisiknya dalam hati.
Masyayel membukakan pintu kamar itu setelah ia memakai pakaian rapi. Ia menanyakan kepada Abraham. Ada maksud apa dirinya mencari Masyayel siang-siang begini? Sebab tak biasanya di istana Abraham mencari Masyayel.
"Saya diminta Pangeran untuk mengajarimu pedang mulai hari ini Tuan Putri, Maaf saya di perintah memanggil nama anda Masyayel," jawab Abraham.
"Iya, lakukan saja Abraham. Aku memakluminya, aku mau makan dulu Abraham, kamu masuklah." Masyayel mempersilahkan dia masuk.
"Tidak Nona, ini kamar Tuanku Pangeran Shem. Aku tidak akan masuk tanpa seizin tuanku," jawabnya.
"Baiklah kalau begitu, aku akan masuk untuk sarapan dahulu, kamu tunggu aku ya?" Abraham mengangguk dan dia menunggu dengan berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Tuannya.
Setelah Masyayel menyelesaikan sarapannya dia langsung keluar menuju dimana Abraham menunggu. Keduanya berjalan beriringan menuju luar istana, lalu Abraham mempersilahkan Masyayel untuk menaiki kudanya. Lalu disusul Abraham turut naik dibelakangnya. Mereka hanua menggunakan satu kuda untuk dinaiki bersama. Mereka hendak menuju lahan jerami yang luas untuk berlatih pedang bersama.
"Mulai sekarang, Nona harus berlatih pedang pada jam segini setiap hari. Sekalian berolah raga. Ini lesan Tuanku." Abraham menyampaikan pesan Tuannya kepada Masyayel.
"Aku sungguh antusias belajar Abraham. Aku ingin setidaknya bisa untuk berjaga-jaga diri, pada dasarnya aku sungguh menyesal bahwa selama hidupku sebagai seorang Tuan Putri tidak tertarik berlatih pedang. Padahal itu sangat penting. Sekarang hidupku di ujung tanduk. Aku hanya berharap belas kasihan orang untuk menyelamatkan hidupku. Dialah Shem," tutur kataku dengan menampakkan raut muka penyesalan. Karena hidup sebagai seorang Putri sama sekali berada pada zona nyaman dan tidak berusaha untuk mengasah atau mencari keahlian diri. Sekarang dirinya menyesal. Untung saja Tuhan masih memberi kesempatan dirinya untuk bernafas sampai detik ini.
"Tuan Shem dan aku, Nona. Beliau memerintahkan aku untuk selalu melindungi nyawamu seperti melindungu Tuan Shem, bahkan lebih dari melindungi nyawaku sendiri," ucapnya dengan tegas membuat aku terharu. Kenapa Shem begitu mencintainya hingga memerintahkan panglima terhebatnya untuk melindungi dirinya melebihi diri Abraham sendiri?