webnovel

~ 22 ~

"Dari mana aja, Yo?" Suara Alvin mengejutkan Rio yang baru saja sampai di rumah. Ia menghentikan langkah nya.

Rambut Rio nampak tidak beraturan, kantung mata nya terlihat jelas. Tangan nya menenteng jaket kulit hitam yang tadi sempat Rio kenakan.

Alvin sempat memicing melihat cara anak lelaki nya itu saat berjalan memasuki rumah. Kaki kanan nya ia seret, dengan langkah sedikit tertatih. "Kaki kamu kenapa?"

"Ketiban motor," Jawab Rio singkat. Matanya lurus menatap kedepan tak berniat melihat ke arah Alvin yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumah mereka.

"Ketiban?" Alvin mengernyit. "Coba sini! papa liat."

Dengan ragu Rio memutuskan untuk menghampiri Alvin yang masih menatap nya lekat.

"Duduk situ!" Perintah Alvin yang di turuti Rio dengan diam. Ia duduk di sofa yang tak jauh dari Alvin.

"Gimana ceritanya bisa ketiban?" Tanya Alvin sembari mengamati kaki kanan Rio yang tertutup celana jeans panjang.

"Motor aku di tabrak..." Dengan masih menatap lurus enggan membalas tatapan papa nya itu, Rio mulai menceritakan kronologi kejadian tadi pagi. Namun satu yang ia tutupi, ia tidak memberitahu Alvin kalau Fabian yang menabrak nya.

Ia beranggapan kalau ia cerita sekali pun, Alvin tidak akan peduli dengan nya. Lelaki tua itu hanya sok bersimpati.

Dengan sedikit membungkuk Alvin menyingkap celana jeans yang Rio kenakan. Rio sempat menegang karena terkejut Alvin melakukan itu. Namun sedetik kemudian ia kembali bersikap biasa bahkan nampak acuh dengan apa yang Alvin lakukan.

"Biru Yo, kaki kamu memar." Alvin menyentuh perlahan luka tersebut untuk meneliti seberapa parah luka itu.

"Shh! Sakit, Pa!" Rio meringis. Sontak, ia menjauhkan kaki nya dari jangkauan Alvin.

Alvin menghela nafas dan kembali menegapkan tubuh nya yang sudah tak sekuat dulu. "Mau papa obatin? Kalo di diemin nanti makin par-..."

"Ga usah." Dengan cepat Rio memotong perkataan Alvin. Ia langsung menoleh menatap Alvin dengan tatapan tidak suka. "Apa peduli papa?"

"Kenapa ngomong nya gitu, Yo? Papa peduli kok sama kamu." Alvin bangkit dari duduk nya dan hendak menuju dapur. "Tunggu sini, papa ambilin kotak P3K dulu ya."

"Aku bilang ga usah, Pa!" Suara Rio naik satu oktaf dan hampir terdengar seperti membentak.

Alvin mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya duduk di tempat semula menatap putra nya yang langsung membuang muka.

"Papa gak usah sok peduli sama aku. Aku ga butuh itu."

Hati Alvin langsung mencelos mendengar nya. Ia sedikit tidak menyangka dengan apa yang ia dengar barusan. Kembali lagi ia menatap Rio dengan tatapan yang dalam.

"Kok ngomong nya gitu, Yo?" Ucap nya tak percaya. Selama ini, ia merasa sudah memberikan perhatian yang imbang untuk kedua anak nya. Namun, ia merasa Rio lah yang menjauh dari nya. Disaat ia mencoba mendekati anak itu. Rio malah membalas nya dengan sikap dingin dan berlalu pergi. Selalu saja seperti itu.

"Emang gitu kan. Papa kan selalu perhatian sama si manja itu di banding ke aku. Apa papa pernah nanya keadaan aku? Aku selama ini ga baik-baik aja, Pa. Apa perlu aku harus luka dulu kayak gini biar papa perhatian sama aku? Apa perlu Rio mati dulu?!"

"Rio!" Bentak Alvin. Dadanya bergemuruh, perasaanya tercampur aduk. Memijat pelan pangkal hidung, Alvin berusaha mereda rasa pusing yang tiba-tiba menghampiri. Ia mengatur nafasnya yang kian memburu. Mencoba untuk tidak emosi menghadapi anak nya itu.

"Rio ga baik-baik aja, Pa..." Ucap Rio lirih. "Aku terima kemauan Papa. Aku mau lanjutin kuliah aku di Aussie. Karena itu kan yang papa mau." Kemudian Rio berlenggang pergi meninggalkan Alvin di tengah keheningan.

"Alterio! Papa belum selesai ngomong!"

***

"Non Diva!" Bi Ira menghampiri Diva yang baru saja turun dari tangga. Diva menyampirkan tas berwarna pink di punggung nya, kemudian menghentikan langkah dan berbalik menghadap Bi Ira.

"Iya, Bi?"

"Ini Non, kemarin Den Fabian ke sini. Ngasih ini ke Bibi." Wanita paruh baya itu kemudian memberikan ponsel yang kemarin Fabian titip kan padanya.

Diva menatap ponsel nya itu sedikit mengingat. Sial, dia bahkan lupa kalau ponsel nya di tangan Fabian.

"Eh, iya. Makasih ya Bi." Diva mengulurkan tangan mengambil ponsel tersebut sambil tersenyum.

"Maaf ya, Non. Semalem Bibi lupa mau kasih ke Non."

"Gapapa, Bi Ira. Santai aja. Diva juga semalem pulangnya kemaleman. Ga ketemu juga sama Bi Ira."

Bi Ira tersenyum menatap punggung anak majikan nya itu yang sudah berlalu. Anak itu sangat sopan dan ramah. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan kuat.

Bi Ira bahkan tau bagaimana hubungan Rio dengan keluarganya. Karena ia sudah mengabdi berpuluh-pulun tahun bekerja di rumah keluarga Alvin. Dia juga turut menyaksikan bagaimana Rio dan Diva tumbuh dewasa.

Diva meletakan tas nya di sebelah kursi yang kosong. Kemudian dengan lesu ia menjatuhkan bokong nya di atas kursi meja makan.

"Lemes banget Div," Salsa menghampiri Diva dan meletakkan susu stroberi kesukaan nya di depan Diva.

"Aku males sekolah, Bun."

Males ketemu Fabian sebenernya, koreksi Diva dalam hati.

"Tumben." Salsa mendudukkan diri di kursi seberang Diva. Menyapu selai di atas roti kemudian meletakan nya di piring kosong yang ada di depan Alvin.

Diva hanya mengendikan bahu nya. Dengan sekali tenggak susu stroberi itu sudah tak tersisa di gelas. Diva mengambil sapu tangan yang selalu ia bawa dari dalam saku, kemudian mengelap sapu tangan tersebut ke bibirnya yang ada bekas susu tertinggal.

"Papa tumben diem aja." Diva melipat kedua tangan nya di atas meja. Menatap Alvin penuh tanda tanya. Tumben sekali, biasanya papa nya itu selalu menggoda nya.

"Eh!" Alvin menggelengkan kepala, terbangun dari lamunan nya. Ia menoleh ke arah Salsa yang barusan menyenggol tangan nya.

"Itu anaknya nanya, ga di jawab?" Tanya salsa.

"Nanya apa, Div?"

Diva memutar bola matanya malas. "Gak ada pengulangan, Pa." Dengan jahil Diva menjulurkan tangan nya mencolek selai coklat di roti milik Alvin yang sama sekali belum tersentuh itu.

Sontak Alvin langsung memukul tangan Diva. "Jorok, ih."

"Aduh! Sakit, Pa!" Diva mengaduh kesakitan. "Makanya Papa jangan bengong mulu. Nanti malah roti nya yang makan Papa."

"Apa sih Div? Krik banget." Alvin langsung tertawa terbahak begitu pula dengan salsa. Alvin akui selera humor anak kedua nya itu payah sekali.

Diva mencibir sebal ke Alvin. Namun, di satu sisi hati nya lega mendengar tawa lelaki yang sangat ia sayangi itu. Entah apa yang mengusik pikiran papa nya.

Salsa langsung menghentikan tawa nya. Ketika menoleh, ia mendapati Rio yang mematung berdiri tak jauh dari mereka dengan pandangan kosong menatap ke arah mereka.

Lelaki itu sudah siap dengan jeans dan kaos polo serta jaket kulit yang ia pakai sebagai luaran. Mata hitam lelaki itu bersibobrok dengan mata Salsa yang juga sedang menatap nya.

Salsa langsung mengembangkan senyum saat Rio menyadari arah pandangan matanya. Namun, sangat disayangkan lelaki itu langsung pergi saat Salsa tersenyum padanya. "Gak sarapan, Yo?"

Rasa sesak kembali terasa di dada wanita itu. Lagi, Rio mengabaikan nya.

Alvin yang masih terkikik langsung terdiam dan mengikuti arah pandang istrinya. Melihat Rio yang semakin mempercepat langkah nya walau harus sedikit tertatih.

"Rio kenapa? Kok jalanya pincang?" Tanya Salsa yang di ajukan untuk dua orang yang ada di ruangan itu.

Diva hanya mengendikan bahu nya sebagai jawaban. Sementara Alvin memilih diam. Mungkin nanti ia akan bercerita kepada Salsa di waktu yang tepat.

"Kamu berangkat gih, nanti telat," Kata Alvin kepada Diva.

"Iya, iya. Aku berangkat ya." Diva menyalami kedua orang tua nya. Kemudian pamit pergi.

Diva berdiri di depan gerbang besar kediaman rumah nya. Di sampingnya masih ada Rio tengah memanaskan motor. Rio belum juga berangkat.

"Belum berangkat, Bang?"

Rio melirik nya sekilas, kemudian tersenyum sinis. Ia tidak menjawab pertanyaan Diva.

"Kaki lo kenapa?" Diva penasaran dengan hal itu, makanya ia memberanikan diri untuk bertanya.

Rio yang sedang memakai helm nya, berhenti seketika. Kembali memandang Diva dengan sinis sebelum akhirnya menstarter motor besarnya.

"Lo tanya sama cowok lo."

Sontak Diva memundurkan langkah nya saat Rio menjalankan motornya. Mungkin jika Diva tidak sigap kaki nya akan bernasib malang terlindas oleh ban besar motor itu.

Diva menghembuskan nafas kasar menatap kepergian Rio, "Salah gua apa sih? Kok dia selalu begitu sama gua."

Diva mengeluarkan ponsel yang tadi Bi Ira berikan. Kemudian menyalakan nya. Ia memutuskan untuk memakai jasa ojek online seperti biasa.

Sedikit terkejut mengetahui baterai ponsel tersebut tetap penuh, bahkan seingatnya terakhir kali ia memegang ponsel tersebut, presentasi baterainya tinggal setengah.

Apa Fabian meng-charger nya?

Kemudian tangan gadis itu dengan lihai mengetik beberapa angka untuk membuka hp nya.

Mata gadis itu terbelalak, melihat ke arah ponsel nya. Ia mengingat dengan benar kalau tampilan ponsel sebelumnya tidak seperti ini. Tampilan wallpaper ponsel nya telah tergantikan.

Apa Fabian yang mengganti nya?

Diva menahan senyum sekuat tenaga. Ia harus ingat tekadnya, tekad yang sudah bulat. Tekad untuk menjauhi Fabian.

*Ilustrasi nya ya

TBC.

Aku ga mau banyak basa basi. Kalian bisa check papan pengumuman penting yang aku tulis di profil ku mengenai cerita ini.