webnovel

Bersandar

Lebih dari satu jam gadis itu duduk terdiam memperhatikan sang atasan yang masih terdiam dengan pandangan kosongnya. Lena tak dapat berkutik apapun, saat pergelangan tangannya digenggam erat oleh laki-laki itu. Sejak tadi, Lena ingin keluar dari ruangan ini, namun Jay selalu menahan langkahnya. Sesekali melirik ke arah presensi di sebelahnya, berharap agar atasannya itu membuka suaranya—kendati tak ingin melepaskan tangan Lena.

Sekali lagi, Lena menarik nafasnya dan membuangnya kembali. Pribadinya juga agak sulit untuk memulai pembicaraan bersama atasannya ini. Karena pada dasarnya, sejak ia secara tiba-tiba dipeluk, Jay sama sekali tidak memberikan alasan laki-laki itu yang terlihat begitu kacau. Jika Lena boleh berasumsi, pasti ini semua ada hubungannya dengan kekasihnya yang tak pernah mengabarinya. Hanya saja, lidahnya kelu untuk membahasnya, dan khawatir jika asumsinya salah.

"Apa aku mengganggumu?"

Sedikit tersentak tak secara tiba-tiba suara atasannya itu mengudara setelah cukup lama dirinya terdiam. Perlahan kepala gadis itu ia toleh pada sang atasan. Menggeleng beberapa kali sebelum kembali menatap tangan kirinya yang berada di atas paha memegang lutut.

"Saya masih bisa berada di sini selagi bapak membutuhkan saya," ucapnya.

Namun, detik berikutnya ia terkejut setelah mengucapkan kalimat itu. Rasa-rasanya, itu adalah kalimat terbodoh yang ia ucapkan tahun ini. Lena mengatupkan matanya dengan erat, mengigit bibir dalamnya bersamaan dengan mengutuk dirinya sendiri. Ia sadar, tak seharusnya mengatakan hal itu. Lantas Lena tak berani menoleh paras Jay lagi.

"Kalau begitu, kau disini saja sampai jam kafe berakhir," pungkas Jay.

Untuk yang kedua kalinya gadis itu tersentak mendengar kalimat Jay. Kali ini, dirinya mencoba untuk menolak, karena jam tutup kafe itu masih lama. Masih ada sekitar tiga jam lagi, dia tak enak terhadap para pegawai lain jika ada memperhatikannya. Terutama, pegawai yang tadi menyuruhnya untuk memberikan laporan pada atasannya ini.

"Maaf, pak. Tapi, sepertinya saya tidak bisa. Tidak enak pad—"

"Kau bilang masih bisa berada di sini selama aku membutuhkanmu," sela Jay.

Iya, itu tadi. Sebelum kau memintaku untuk menunggu hingga jam tutup kafe—batin Lena berontak.

Ia rasa, memang dirinya tidak bisa pergi, apalagi saat merasa pergelangan tangannya semakin digenggam kuat. Jujur saja, pak tak Lena saja rasanya sudah terasa panas setelah duduk satu jam lamanya, lagi jika harus ditambah tiga jam lagi. Mungkin ketika tubuhnya bangkit nanti, dia akan merasakan mati rasa pada pantatnya sendiri.

Baiklah, Lena akhirnya mengalah dan memilih untuk berdiam selagi tangannya masih digenggam. Entah sampai kapan ini akan berakhir, dirinya mengajukan protes lagi. Hanya saja, secara mendadak ia ingin mengubah kalimatnya itu setelah secara tiba-tiba membaringkan tubuh dan meletakkan kepalanya di atas paha Lena. Genggaman itu memang terlepas, namun sekarang justru kakinya yang ditahan. Kedua tangan Lena pun terangkat secara otomatis.

"Bangunkan aku jika sudah mendekati jam tutup kafe,"

Tangan Lena ini rasanya sudah gatal ingin menyingkirkan kepala laki-laki itu dari pahanya, namun lagi-lagi yang memikirkan nasibnya di tempat kerja ini. Lena tidak siap jika harus kehilangan pekerjaan secara mendadak. Lantas gadis itu hanya memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki Jay yang nampak tenang tertidur di atas pangkuannya dengan kedua tangan yang terlipat di depan tubuh.

Di dalam sepatunya, seluruh jari kaki gadis itu ia tekuk bersamaan. Entah dengan alasan apa, dia hanya melakukannya karena situasi yang seperti ini. Beberapa menit berlalu, Lena juga sama sekali tidak melihat adanya pergerakan dari tubuh Jay. Ia rasa, atasannya itu sudah terlelap. Pun secara mendadak ia berniat untuk menyingkirkan kepala Jay dari pahanya. Harapannya, laki-laki itu tidak merasakan pergerakan yang sama sekali.

Lena mencoba untuk melambaikan tangan kanannya di depan wajah Jay, tak ada respon apapun yang diberikan. Ada guratan senyum di wajah Lena, dengan gerakan yang sangat pelan kedua tangannya memegang dua sisi kepala atasannya itu. Mengangkatnya perlahan dan mengubah bantalannya menggunakan bantal sofa sungguhan. Beruntung, hingga kepala itu berada di atas bantal sofa, Jay masih tidak melakukan pergerakan apapun. Gadis itu merasa lega, perlahan ia membawa sepasang tungkainya menuju pintu.

Tangannya saja belum memegang kenop pintu, namun suara Jay sudah merangsak ke dalam gendang telinga. Gadis itu mengapa tangannya sendiri depan wajah, lantas membalik tubuhnya menghadap laki-laki itu.

"Aku masih membutuhkanmu," kata Jay.

Satu tarikan nafas, Lena kembali berjalan dan berdiri di sebelah sofa yang ia duduki sebelumnya. Pergerakan selambat dan setenang itu saja Jay bisa merasakannya, bagaimana jika ia pergi dengan cara yang brutal?

Sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan apapun, Lena menawar dan mengikuti perintah dari atasannya. Yang saat ini memang agak merugikan, dimana ia harus tetap berdiri sampai kafe akan tutup. Lena melihat ke arah jam dinding di ruangan ini, tangannya ingin sekali memutar jam dinding itu tepat pada jam tutup kafe.

"Salah kau sendiri yang memilih untuk pergi. Tanggunglah akibatnya,"

Tidak tahu bagaimana Lena harus mendeskripsikan atasannya ini. Padahal, sebelumnya ia sempat memuji kebaikan laki-laki itu yang menjadikannya sebagai pegawai tetap, namun mendapati dirinya yang harus berdiri selama berjam-jam, Lena ragu apakah dia masih memiliki kalimat pujian untuk Jay.

Beberapa kali kakinya ditekuk secara bergantian untuk meredakan rasa pegal. Sudah hampir dua jam lamanya ia berdiri seperti ini, tersisa satu jam lagi. Kendati satu adalah angka kecil, tapi tidak berlaku untuk hitungan jam. Bahkan, waktu selama itu bisa ia gunakan untuk belajar.

Sampai akhirnya tersisa tiga puluh menit menuju tiga jam, Lena tersenyum dan mulai memanggil atasannya yang masih setia dengan posisinya. "Pak, kafe sebentar lagi akan tutup," katanya dengan perasaan bahagia.

"Biarkan saja," balasnya dengan kedua mata tertutup.

Rasa geram Lena semakin memuncak, batinnya benar-benar berontak ingin segera mengakhiri hal tidak masuk akal ini. Di sini Lena hanya membuang-buang waktu menunggu orang tidur. Dia memberanikan diri berdiri tepat di samping tubuh Jay, memang wajah kesalnya dan bersiap untuk meluapkan emosinya. Namun, saat jari telunjuknya baru saja terangkat, Jay justru bangkit dari baringnya, membuat Lena menurunkan jarinya dengan cepat.

Laki-laki itu terduduk dengan pandangan yang terarah pada lantai, menarik pelan tangan Lena agar duduk di sebelahnya—seperti awal tadi—dan menatap wajah Lena dengan tatapan sayu. Keduanya sama-sama terdiam dan saling bertukar pandang. Semakin lama mereka memandang, seluruh jari Lena terasa semakin dingin. Apalagi saat kedua manik Jay semakin menusuk ke retina Lena.

Jay menarik nafasnya cukup panjang sebelum berujar dengan kalimat yang membuat kedua alis Lena terangkat bersamaan. "Hibur aku dengan apapun yang kau bisa,"