webnovel

Reality

Reality

Menghabiskan waktu dengan berdiam diri tanpa teman adalah kebiasaan Yuki untuk merenungi kehidupannya, mulai dari kisah-kisah masa lalu, apa yang sudah ia lakukan, kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga harus melakukan apa, Yuki selalu memikirkan semuanya dengan detail. Hanya saja keberanian Yuki masih ciut, dia harus menunggu momen tepat hingga akhirnya memiliki keberanian untuk mengutarakan semuanya.

Entah mendapatkan ilham dari mana, tiba-tiba saja Yuki tersenyum saat hatinya terus berucap pada dirinya sendiri untuk mengakhiri permasalahan ini. Apa yang dikatakan Ica ada benarnya juga dan Yuki tak boleh terus-terusan egois. Ia harus bisa melawan dirinya sendiri, bersembunyi bukanlah sebuah solusi justru akan menambah masalah. Lagi Pula ia sudah tak sabar untuk memeluk anaknya, anak yang selama ini jauh darinya karena keadaan telah memisahkan mereka.

Sosok wanita yang tadi siang muncul menemui seorang bocah laki-laki adalah Yuki. Bunda yang selalu dinantikan kedatangannya oleh si ganteng Danish. Sebenarnya bukan kali ini saja Yuki menemui Danish, sejak Stefan mengajak Danish tinggal di Paris, Yuki juga sering menemui anaknya meski dari jauh. Menguntit Danish adalah pekerjaan yang tak pernah ia lewatkan, tak heran jika Yuki tahu hal sekecil apapun dari putranya. Semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena Yuki belum berani menampakkan diri di hadapan Stefan, kala itu. Satu hal yang Yuki takutkan, takut jika Stefan murka dan tidak mengizinkan dirirnya untuk bertemu dengan sang putra.

Stefan dan Yuki menikah lima tahun lalu, kemudian berpisah satu minggu setelah Danish lahir ke dunia. Drama besar masuk kedalam kehidupan rumah tangga mereka, hingga pada akhirnya Yuki meninggalkan Stefan dan juga Danish saat itu dengan berat hati. Kepergian Yuki bukan tanpa alasan, jika mungkin hanya melibatkan Stefan dan Yuki mungkin Yuki akan bertahan, namun ini melibatkan kedua keluarga besar baik dari keluarganya maupun keluarga Stefa. Yuki yang tak mau memperburuk keadaan akhirnya mengalah untuk pergi.

"Pergi dari kehidupan Stefan jala***, kamu nggak pantas untuk ada di sini. Kamu nggak pantas menyandang nama William."

"Tapi.... "

"Saya tahu apa yang ada di otak cantik kamu itu. Pergi dan jauhi cucu dan cicit saya!. " Ucapnya tegas.

Yuki tersenyum sinis saat kembali mengingat memori menyakitkan itu. Wanita cantik yang sangat Yuki hormati, ternyata tidak cukup baik memperlakukannya. Yuki pun tidak tahu kenapa wanita itu berubah membencinya, padahal dulu wanita itu yang pertama kali membuka tangan untuk Yuki saat Stefan memperkenalkannya kepada keluarga besar William.

"Aku jal***, aku jal***," mulut Yuki komat-kamit memaki dirinya sendiri. Untain kata-kata tak pantas itu terngiang di telinga Yuki. Hingga akhirnya Yuki tak kuat dan menutup kedua telinganya erat-erat agar tak terdengar lagi. Bukannya menghilang suara itu seolah-olah semakin keras dan keras.

Sepersekian detik tubuh Yuki melemah, ia menyembunyikan wajah diantara kedua lututnya. Tangannya dengan kuat mengalungi lututnya sendiri. Hingga akhirnya ia berteriak dengan kencang membuat si bibi datang mendekat dengan tergopoh-gopoh.

Bi Imah sudah siap untuk mengistirahatkan badan hari ini setelah seharian berkutat dengan rumah, namun acara istirahatnya gagal akibat teriakan si nyonya rumah.

"Non.... Non.... Ya Allah, gusti pangeran." Ucap Bi Imah menyerukan nama Allah saat melihat betapa terpuruknya si nyonya.

Bi Imah turut prihatin memandang keadaan majikannya, sudah lama sekali Imah melihat Yuki seperti sekarang, mungkin ada satu tahun belakangan. Dalam hati, Imah bertanya-tanya, apa yang terjadi pada sang nyonya hingga bisa kambuh seperti ini.

Bi Imah menggoyang badan Yuki, "Non, sadar non. Istigfar, Non." Bi Imah terus merapalkan doa ke telinga Yuki. Agar majikannya cepat sadar.

"Pak, bapak!" Teriak Imah pada suaminya yang bekerja menjadi sopir sekaligus tukan kebun di rumah Yuki.

Merasa dipanggil, pak Akhir berlari terbirit-birit ke sumber suara. Tadi beliau sedang berkeliling rumah mengecek pintu dan jendela.

"Ada apa to ibu ini teriak-teriak..." Kata Akhir pada istrinya, beliau belum menyadari keadaan sang majikan.

"Bapak, lihat-" Imah menunjuk ke arah Yuki.

"Ya Allah, Non..." Pak Akhir memandang tak percaya. Seperti yang ada di pikiran Bi Imah, Pak Akhir pun memiliki pemikiran yang sama. Kenapa Yuki bisa kembali seperti sekarang ini.

Pak Akhir mendekat, ia memandang Yuki kasihan. Selama bersama Yuki, Pak Akhir sudah menganggap Yuki seperti anaknya sendiri. Bahkan Pak Akhir lebih tahu segalanya tentang Yuki dibandingkan orangtua Yuki yang kini entah bagaimana kabarnya karena memang Yuki sudah tak diakui lagi oleh mereka.

"Non, ayo Bapak antar ke kamar di sini terlalu dingin, Non..." Bujuk Pak Akhir.

Akhir dan Imah membantu Yuki untuk berdiri, Yuki hanya menuruti saja. Dia sudah tak berteriak atau menggumam seperti tadi, hanya saja Yuki masih terisak sesenggukan. Sepasang suami istri memandang prihatin dan kasihan. Saat ini majikannya sungguh membutuhkan keluarga bahkan orang-orang terdekat untuk membantunya bangkit, namun Yuki seperti sebatang kara. Keluarganya menjauh, teman-teman dekatnya sibuk dan tak selalu ada untuk Yuki setiap saat Yuki ingin. Membuat sepasang suami ini menatap iba, mereka pun mencoba memberikan yang terbaik untuk majikan mereka.

Bi Imah menyelimuti badan Yuki, beliau mengusap kepala Yuki dangan sayang dan menghapus jejak air mata di pipi sang majikan. "Tidurlah, Nak. Lupakan tentang hari ini, bangun lah esok dengan senyum indahmu." Bisik Bi Imah sebelum meninggal kan Yuki.

Masih di kota yang sama namun di tempat yang berbeda, meski malam menyapa namun keramaian masih tercipta. Sangat jauh berbeda dengan keadaan rumah Yuki. Danish masih sibuk mengoceh di samping Ayahnya yang sudah merem melek karena kelelahan. Stefan sudah ingin tidur sedari tadi, namun Danish masih saja mengajaknya bicara, alhasil Stefan hanya membalasnya dengan gumaman saja karena sebagian otaknya sudah tertidur.

Danish sedang mewarnai kuku beserta jari-jarinya dengan pena berwarna yang ia ambil dari meja kerja sang ayah. Danish memperhatikan hasil karyanya dengan seksama, ia tersenyum senang karena merasa bangga dengan hasil karyanya sendiri yang menurut dia sangat indah, meski hanya garis-garis tak beraturan.

Danis mengguncang tubuh ayahnya. "Yayah... Yah.... lihat nih," Danish menunjukkan salah satu tangannya yang sudah penuh dengan coretan kepada Stefan, namun Stefan masih memejamkan matanya. Ia merasa sudah tak kuat untuk sekedar membuka mata. Rasa kantuk sudah bergelayut manja.

"Yah..... Ayahhhhhh...!" Teriak Danish dengan kesalnya karena terus saja diabaikan.

Dengan sangat terpaksa Stefan membuka mata saat suara melengking milik Danish masuk kedalam indra pendengarannya. Stefan mengusap wajahnya, "Kenapa si Dan, Ayah udah ngantuk sayang. Sini, Danish bobo sama ayah." Stefan mendekap tubuh Danis, Danis yang tadinya duduk kini justru tiduran dalam dekapan Stefan.

"Yah, ihat duwu nih....." Tunjuk Danish tepat di wajah Stefan.

Stefan membelalak tak percaya pada apa yang ia lihat. "Ya Allah, Danish...." Geram Stefan. Ia melihat kuku putih anaknya berubah menjadi biru, goresan-goresan tak jelas memenuhi punggung tangan anaknya.

"Kamu apakan tangan kamu sayang?" Tanya Stefan sembari membolak-balikkan tangan Danis.

"Danis gambar tangan Danish kaya Onti Na, Yah. Baguskan ?"

Gubrag

Stefan menepuk jidatnya sendiri. Semua ini gara-gara kakaknya, sang kakak tadi datang berkunjung setelah menghadiri pesta pernikahan adik iparnya. Tangan kakak Stefan dihias dengan henna begitu juga dengan kukunya. Kata Kakaknya pingin pakai karena sewaktu menikah dulu belum zamannya para calon pengantin menggunakan henna. Danish yang penasaran akan tagan sang Onti akhirnya meniru dengan menggunakan spidol.

"Kelakuan kids jaman now!"

"Yayah kenapa pandang aku gitu, jelek ya Yah ?" Tanya Danish dengan raut kecewanya. Baru kali ini hasil karyanya tidak dinilai sempurna oleh Stefan. Biasanya Stefan akan membanjiri Danish dengan pujian ataupun memberikan nilai seratus atau ciuman. Tapi ini Stefan justru memandang aneh pada sang anak.

Stefan beranjak dari posisi tidurnya, ia tak lupa membangunkan Danish juga. "Danish sayang, ini bukan jelek atau ayah nggak suka. Tapi tidak seharusnya Danish gambar kuku dan tangan Danish seperti itu, apalagi menggunakan spidol. Itu tidak baik sayang, tangan Danish jadi kotor dan Danish bukan seorang wanita, cat kuku dan lukisan hena itu bagus kalau di pakai seorang wanita sayang." Pelan Stefan memberi pengertian kepada Danish agar Danish tak tersinggung dan juga paham dengan apa yang dimaksud oleh Stefan.

Danish mengangguk paham, ia minta di gendong ke kamar mandi untuk membersihkan noda di tangannya. Danish memekik geli saat Stefan menggoda anaknya dengan cara menggelitik pinggang Danis. Ia games sendiri dengan perilaku Danish hari ini.

"Yayah, geli.... Hahahah."

"Ini hukuman buat Danish karena sudah mengotori tangan Danish, lihat nih susahkan di bersihkan."

"Maaaf Yah, janji besik nggak lagi."

"Oke, Ayah pegang janji Danish."

"Ayyyayyy Kaptennnnnn....."