KREEEK
Pintu regol rumah tabib agung terbuka. Seorang gadis cantik terlihat berdiri di sana. Matanya langsung terpaku pada Arya yang sedang bercakap-cakap dengan Nalini.
Tanpa malu-malu, gadis berkebaya jingga itu berlari menghampiri Arya Dhipa. Dari jauh, suaranya yang tinggi melengking terdengar. "Kangmas Aryaaa!"
Nalini menoleh cepat dan mengamati sosok yang menghampiri mereka. Gadis bangsawan yang cantik dan berpenampilan mewah. Gelung rambutnya dihias konde dilapis emas. Nalini menunduk dan menghaturkan salam hormat.
Arya Dhipa yang tadinya ingin menyampaikan perasaannya pada Nalini tercenung dan cepat merubah ekspresi wajahnya. Ia membungkuk sedikit saat gadis muda yang mendekat padanya. "Putri Bintari, selamat pagi."
Perempuan bernama Putri Bintari itu tersenyum lebar dan menyatukan kedua tangannya di depan dadanya seraya ikut membungkuk. "Selamat datang, Kangmas Arya. Lama tak berkunjung kemari," ujarnya dengan senyum menawan.
Arya Dhipa menanggapinya dengan senyum dikulum. Ia dahulu memang sering bertandang ke tempat itu, bermain dengan Putri Bintari. Rumah mereka berdekatan. Namun, sejak kesibukannya sebagai pengawal pribadi Raja Lokapala, ia tak sempat lagi melakukannya.
"Iya, Putri. Maafkan, aku sekarang sibuk sekali mengawal Pamanda Raja," jawab Arya Dhipa.
Putri Bintari mengangkat kedua tangannya, memberikan isyarat tak jadi soal. "Tidak apa-apa, Kangmas. Aku tahu tugasmu sekarang penting."
Putri Bintari terus memandang Arya Dhipa, ia hanya melirik sekilas pada dayang yang ada di belakangnya. Putri cantik itu tak berminat untuk menyapanya.
Arya Dhipa yang teringat tujuannya datang ke situ segera memperkenalkan Nalini. Disuruhnya Nalini maju ke depan dan memberikan hormat pada Putri Bintari.
Nalini kembali memberikan salam dan membungkuk pada Putri Bintari. "Mohon ampun, Putri. Saya Nalini, tabib baru yang ingin belajar pada tabib agung."
Putri Nalini menoleh pada Arya Dhipa. Ia ingin bertanya, apakah Ndalem Kaputren tak salah mengirimkan tabib ke sini. Sejak kegagalan tabib utusan ayahnya sebelumnya, Maharaja mengatakan akan mencarikan sendiri tabib untuk permaisuri.
"Apakah benar apa yang dia katakan, Kangmas Arya?" tanya Putri Bintari sambil mengamati sosok gadis muda di depannya.
"Benar, Putri. Dia memiliki bakat pengobatan dan ingin belajar lebih mendalam pada paman tabib," jelas Arya. Pemuda itu memanggil tabib agung Gentala, ayah Putri Bintari, dengan sebutan paman.
Putri Bintari mengangguk kecil. Matanya masih mengamati Nalini, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Diam-diam dia merasa iri pada kecantikan tabib muda itu. Buru-buru ia menutupi perasaannya dan tersenyum lebar pada Arya.
"Baiklah, Kangmas Arya. Suruh dia masuk dan bergabung dengan tabib-tabib muda yang lain," ucap Putri Bintari. Ia ingin cepat menyuruh Nalini pergi supaya ada kesempatan berduaan dengan Arya.
"Nalini, masuklah. Bergabunglah dengan para tabib muda yang lain. Di rumah tabib agung, ada ruangan khusus untuk tinggal dan belajar tabib-tabib muda sepertimu." Arya Dhipa memerintahkan Nalini masuk, tapi masih memegan buntalan kain perbekalan Nalini.
"Kenapa diam saja, masuklah!" Putri Bintari ikut menimpali. Pandangan matanya tajam, memperingatkan Nalini agar tak mengganggu mereka.
"Ampun, Pangeran. Berikan buntalan itu pada hamba," ucap Nalini menunjuk pada buntalan kain lusuh yang masih berada di tangan kiri Arya Dhipa.
"Oh, ini. Ambillah," ucap Arya Dhipa seraya mengulurkan barang itu. Nalini menerimanya dan cepat berlalu dari hadapan mereka.
Namun, sebelum semakin jauh melangkah, Arya Dhipa kembali berseru. "Kau akan belajar membaca setiap sore, bersiaplah."
Nalini terhenti, menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih. Ia berjalan cepat memasuki rumah besar yang berbentuk memanjang itu.
Arya Dhipa mengantarkan Nalini dengan ekor matanya. Ia memastikan gadis itu tak salah arah dan mengikuti pengawal rumah tabib agung.
"Kangmas Arya, ayo kita juga masuk. Romo sudah menunggu kita," ajak Putri Bintari. Wajah cantiknya berbinar-binar penuh harap.
Arya Dhipa mengangguk dan menyuruh Bintari masuk terlebih dahulu. Bagaimanapun ia harus bertemu dengan tabib agung dan menyampaikan pesan dari Raja Lokapala.
Rumah tabib agung sangat luas dengan satu rumah utama berbentuk joglo dan bangunan-bangunan berbentuk kotak memanjang yang berada di sisi kanan dan kirinya. Bangunan sebelah kanan digunakan untuk tempat pengobatan, sedangkan bangunan di samping kiri difungsikan sebagai sekolah bagi para tabib muda.
Tabib agung Gentala sudah menunggu Arya Dhipa dan Putri Bintari di bangunan joglo utama. Ia duduk di kursi berukir di tengah ruangan.
Lelaki yang sudah berusia lebih dari 60 tahun itu menyambut kedatangan Arya Dhipa dengan sangat ramah. Siapa yang tak merasa terhormat mendapat kunjungan tangan kanan sang raja.
"Mari, mari. Silakan duduk, Pangeran Arya." Tabib Gentala menarik sendiri kursi yang akan diduduki Arya. Ia juga memberi isyarat pada Putri Bintari agar segera menyajikan makanan dan suguhan untuk tamu istimewa itu.
"Bintari, hidangkan jamuan untuk Pangeran Arya," perintahnya.
Tabib agung Gentala memiliki postur tubuh yang tambun dan botak. Lelaki setengah baya itu mengenakan celana hitam dan kain bermotif batik setinggi lutut. Baju yang dikenakannya berupa beskap rapi berwarna putih. Kancing-kancing emas melengkapi penampilan mewahnya.
"Terima kasih, Paman Gentala. Aku ke sini diutus oleh Pamanda Raja. Ada pesan yang ingin beliau sampaikan," ucap Arya seraya mengambil gulungan kertas lontar dari balik bajunya.
Gentala menerimanya lalu membacanya dengan cermat. Satu alis matanya terangkat saat selesai membaca pesan itu.
"Jadi, tabib wanita itu berhasil menyembuhkan Ratu Padma?" tanyanya datar. Meski begitu ia tetap menebar senyum dan menampilkan wajah senang di depan Arya.
"Betul, Paman. Tabib itu adalah ibu dari tabib muda yang datang bersama saya pagi ini. Permaisuri mengabulkan permintaannya untuk belajar ilmu pengobatan di sini." Arya Dhipa menerangkan.
Gentala kembali melengkungkan bibirnya ke atas. Pandangan matanya menyipit. Ia seperti menyimpan sesuatu tapi tak ingin diungkapkannya.
"Bagaimana? Paman tabib bersedia menerima dia bukan?" Arya kembali mendesak.
"Tentu saja, aku akan menerimanya. Apalagi itu titah sang raja. Aku akan mengajarinya baik-baik," jawab tabib Gentala berusaha meyakinkan pemuda di depannya.
Arya Dhipa menangkupkan kedua tangan dan mengucapkan terima kasih. Ia bersikap santai tapi tetap berhati-hati di depan tabib agung itu.
"Satu lagi, Paman. Saya akan sering datang ke sini untuk mengawasi tabib muda itu. Alasannya karena dia belum bisa membaca. Saya akan mengajarinya," ujar Arya Dhipa lagi. Kemauan Arya mengajari Nalini bukan tanpa sebab. Ada rencana besar yang sedang dijalankannya.
Tabib Gentala termangu sebentar mendengar ucapan orang kepercayaan penguasa Lokapala itu. "Apa aku tak salah dengar? Pangeran akan datang ke sini setiap hari?" Tabib Gentala mengulang lagi pernyataan dari Arya Dhipa.
Pangeran muda itu mengangguk seraya tersenyum. "Benar, Paman. Saya akan sering datang ke sini ..."
"Hah? Hangmas Arya mau ke sini setiap hari? Aduh, aku senang sekali!" Suara Bintari terdengar heboh dari pintu masuk. Rupanya ia mendengar percakapan ayahnya.
"Iya, begitulah, Putri. Aku akan sering ke sini lagi." Arya kembali menegaskan rencananya.
Putri Bintari seperti hendak meloncat kegirangan mendengarnya. Ia berusaha menahan luapan perasaan dengan menggigit bibir dan meremas tangannya sendiri.
"Kalau begitu, aku sendiri yang akan melayani Kangmas Arya setiap kali ke sini. Boleh 'kan, Romo?" Putri Bintari dengan berani meminta ijin pada ayahnya agar bisa semakin dekat dengan Arya Dhipa.
"Iya, putriku. Layanilah Pangeran Arya dengan baik." Tabib Gentala menjawab permintaan anak kesayangannya. Ia mulai berpikir, jika kedua anak itu dekat, pasti bisa menguntungkan di masa depan.
Arya Dhipa mengucapkan terima kasih pada keduanya. Namun, sang pangeran rupanya masih memiliki keinginan lain. "Tapi aku punya satu permintaan lagi..."