Anna melintasi lorong kampus sambil membawa setumpuk buku yang diminta oleh dosennya untuk dibawanya ke ruang guru. Ditengah perjalanan, ia tak sengaja berpapasan dengan Iam. Anna menatapnya sejenak lalu memalingkan wajahnya. Ia berusaha menutupi degup jantungnya yang mendadak muncuk setiap kali ia melihat pria itu di dekatnya.
Ketika itu, Iam juga menyadari keberadaan Anna di depannya. Sehingga Iam memutuskan untuk berhenti sejenak. Dan bermaksud memberikan sedikit sapaan dengan anggukan kepala.
Tapi bukannya mendapat balasan atau sapaan balik, seperti yang sudah seharusnya, Anna justru menunduk dan pura-pura tidak melihatnya. Dengan langkah seribu, Anna langsung melewati Iam dan berjalan ke arah ruang guru tanpa melirik ke arahnya sedikitpun.
Melihat itu, Iam menatap kepergian Anna dengan kening berkerut. Merasa bingung dengan sikapnya.
Sebenarnya dia memang tidak melihat dirinya atau pura-pura tidak melihat? Tapi sepertinya tadi dia sempat melihat ke arahnya? Lantas kenapa gadis itu seperti mengacuhkannya? Apa itu hanya perasaannya saja?
Karena tidak mengerti dengan situasi yang terjadi, Iam hanya bisa menggarukkan kepala. Dan kemudian berjalan pergi.
***
Lalu, kelas tambahan biologi dimulai kembali. Kali ini, Anna lagi-lagi sekelompok dengan Iam. Dosen meminta para muridnya untuk berkelompok sesuai dengan kelompok mereka yang sebelumnya di minggu lalu. Beliau juga meminta semua muridnya untuk mengerjakan tugas baru yang diberikan dengan segera cepat sampai batas waktu yang ditentukan.
Semua murid menyanggupi.
Berkat itu, Anna merasa amat bersyukur dan berterimakasih pada sang dosen. Beliau benar-benar sangat tahu bagaimana menyenangkan hati seseorang. Terutama hati seseorang yang sedang dimabuk kasmaran, seperti Anna. Hehe...
Dengan tekad kuat, Anna berharap bisa menunjukkan kinerjanya yang sesungguhnya di depan Iam.
Karena kemarin ia sudah membuat kesalahan yang sangat fatal, dan membuatnya sangat malu sampai-sampai ia tidak sanggup melihat Iam lagi. Kali ini, Anna bertekad tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Atau bahkan kesalahan sekecil apapun yang mengganggu.
Ia telah sangat mengusai materi yang akan diuji-cobakan kali ini. Ini adalah keahliannya, sehingga ia berharap pria itu tidak akan menganggap Anna sebagai patner yang tidak bisa diandalkan lagi. Dan mungkin karena menyadari ada sesuatu yang berbeda, Iam jadi memperhatikan Anna.
"Kau tampak lebih percaya diri dan bersemangat. Apa ini adalah tugas yang kau kuasai?" tanya Iam yang menangkap keyakinan diri Anna yang cukup mencolok dan berbeda dibandingkan minggu lalu.
Anna terkejut, "Heh?"
Ia tertawa, "Tidak juga. Hanya saja, praktek kali ini adalah favoritku. Aku sangat menyukainya. Sehingga aku sangat tahu segala hal yang ada di dalamnya. Em. Aku juga sudah mempelajari ini secara mendetail. Jadi kali ini aku pastikan, aku tidak akan mengecewakan."
Mata iam berkilat, "Kau masih memikirkan kejadian minggu lalu?" tanya Iam dengan tebakan yang tepat. Anna langsung membantahnya.
"Ah, tidak. Tentu saja tidak," seru Anna. Ia mengambil peralatan yang dibutuhkan dan menyusunnya dengan rapi. Iam masih memperhatikannya.
"Apa kau sungguh ingin menunjukkan kinerjamu itu padaku?" tanya Iam yang membuat Anna bingung, "Apa kau... menyukaiku?" tanya Iam mendadak. Anna langsung tertegun.
"Hah? A-apa sih yang sebenarnya kau bicarakan?" Anna mengucapkannya dengan terbata-bata. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Iam yang penuh selidik.
Mungkin karena selama ini banyak wanita yang menyukai dan mendekatinya, Iam menjadi besar kepala. Tapi tidakkah pertanyaan itu terlalu riskan di situasi seperti ini?
"Saat pertama kali aku melihatmu, kau selalu saja bersikap gugup dan canggung setiap kali aku menatapmu. Jadi tidak heran 'kan kalau aku berasumsi seperti itu?" balas Iam.
"T-tidak. Tentu saja itu tidak mungkin. Kenapa kau jadi berasumsi seperti itu hanya karena aku gugup dan canggung kemarin? A-aku seperti itu karena aku merasa gugup dengan tugas yang diberikan oleh dosen. Aku juga tidak percaya diri karena harus berkerjasama denganmu dalam satu kelompok. Aku sudah banyak dengar tentangmu yang selalu mendapatkan nilai sempurna dihampir setiap matakuliahmu. Jadi aku hanya merasa kurang percaya diri. Itu saja kurasa," dalih Anna, berbohong.
Iam menyipitkan matanya mencoba mencari lebih dalam makna ucapan Anna, "Benarkah?"
Anna mengangguk dengan yakin, "Tentu saja! Aku tidak mungkin 'kan menyukaimu. Kau 'kan sudah punya pacar. Jadi itu tidak mungkin!" balas Anna lagi dengan bohong.
"Ah... kau benar," Iam hampir lupa tentang rumornya dengan Jessica yang sudah beredar hampir di seluruh kampus. Tak heran jika Anna juga sudah mengetahui hal itu.
Iam mencoba mengacuhkan pikiran konyolnya itu, kemudian tersenyum dan mengangguk.
Anna langsung bernafas lega. Hampir saja, batinnya.
Sepertinya, Anna harus lebih berhati-hati dalam menyembunyikan perasaannya yang begitu menggebu agar tidak ketahuan. Iam tidak boleh tahu tentang perasaannya ini. Apapun yang terjadi.
Tapi, kenapa Iam bisa berkata seperti itu 'ya? Apa perasaannya itu terlihat begitu jelas?
Anna menatap Iam yang kembali sibuk dengan percobaannya itu, dengan ngeri. Oh, No! Ia benar-benar harus waspada!!
"Lalu, kenapa kau mengacuhkanku, saat aku menyapamu?" Iam bertanya lagi tanpa menoleh.
"Hem?" Anna merespon dengan kaget.
"Beberapa hari yang lalu aku melihatmu di koridor membawa setumpuk buku ke ruang guru. Aku sempat menyapamu dengan anggukan kepala. Tapi kau pergi begitu saja dan tidak menggubrisku. Dan aku yakin sekali, kau sudah melihatku saat itu. Tapi kau tetap mengabaikanku," terang Iam sambil mengingat kembali kejadian tempo hari.
Anna jadi panik. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa saat itu jantungnya berdegup dengan sangat kencang sampai seolah akan meledak, sehingga ia tidak sanggup menatap pria itu lebih lama lagi. Tapi ia juga tidak mungkin berbohong dengan mengatakan bahwa ia tidak melihat pria itu karena jelas sekali Iam mengatakan bahwa Anna sempat melihat ke arahnya. Lantas apa yang harus dikatakannya?
Anna terdiam. Tak bersuara. Ia bingung harus menjawab apa.
Iam menoleh, "Apa ada yang mau kau katakan?"
"Ehm..."
"Sudahlah. Kau tidak perlu berekspresi serius begitu. Lama-lama, bisa ada keriput di wajahmu jika kau terus-terusan terlihat stress seperti ini," Iam menyerah, "Lagipula, kau tidak harus menjawabnya. Mungkin juga kau sudah tidak ingat," serunya.
"Aku hanya penasaran. Tapi setelah kupikirkan lagi, tidak ada alasan untukmu yang mengharuskan kau membalas sapaanku ketika itu. Kita bukan teman atau saudara. Kita bahkan baru bertemu satu kali. Jadi wajar jika kau bersikap begitu. Mungkin juga saat itu kau tidak mengenaliku," lanjutnya.
Anna sebenarnya ingin mengatakan sesuatu tapi Ia memilih untuk diam. Ia sendiri bingung harus berkata apa. Demi Tuhan! Dalam jarak apapun, Anna tidak mungkin tidak mengenalinya. Karena itu, saat ini Anna hanya bisa mengeluh dalam hati.
Seandainya saja Iam tahu bahwa itu bukan pertemuan tak sengaja mereka yang pertama. Apa yang akan dikatakannya?
Hah…
Iam, kita sudah beberapa kali bertemu secara tak sengaja. Walau saat itu kau tak mengenaliku dan kita hanya berpapasan seperti angin lalu, tapi itu tetaplah sebuah pertemuan. Aku bahkan sudah sering sekali mencuri-curi pandang padamu tanpa kau sadari. Dan satu hal lagi, sejauh apapun kamu berdiri, aku pasti bisa langsung mengenalimu tanpa kau perlu menyapaku duluan. Jadi, bisa kukatakan dalam hati bahwa semua ucapanmu itu, adalah salah besar!
Aku hanya terlalu gugup dan takut untuk menyapa. Rasanya seperti membawa sebuah bom waktu yang akan siap meledak kapanpun tanpa aku bisa menahannya. Jadi aku putuskan untuk melarikan diri saat itu juga, tanpa melakukan hal apapun yang lain.
Anna tersenyum pahit.
"Akan aku pastikan lain kali aku akan menyapamu. Maaf, aku sungguh tidak tahu," Anna menampilkan wajah bersalahnya.
"Tidak masalah. Ini bukan hal yang besar. Hanya saja, aku merasa... kau terkadang sedikit membingungkan," ujar Iam to the point.
Anna menatapnya bingung. Membingungkan? Apanya?
"Ah, sudahlah. Lupakan itu," Iam mengulaskan sebuah senyuman. Dan meminta Anna untuk kembali bekerja, "Ayo kita lanjutkan."
Mereka pun kemudian kembali melanjutkan tugas mereka.
Dua jam telah berlalu dan Anna sungguh merasa senang karena bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Ia tersenyum dengan bangga dan tidak menyadari kalau Iam memperhatikannya sejak tadi. Melihat Anna yang tersenyum penuh kesenangan, Iam mau tak mau jadi ikut tersenyum.
Aneh, Iam sepertinya tidak pernah bosan melihat wajah gadis yang ada di depannya ini. Anna punya senyum yang cukup manis. Dan ini membuat Iam sedikit betah untuk berlama-lama menatap wajahnya yang tersenyum itu.
Bukankah itu aneh mengingat ia selama ini belum pernah tertarik dengan seorang wanita manapun yang ada di kampusnya? Dan lagi hanya karena sebuah senyuman?
***