webnovel

KARASU

"Aku mendengar suara kepakkan sayap yang menyedihkan .. Dia yang bertengger disana. Seakan memberi isyarat .. Kematian yang dekat" Sagiri terbangun sebagai seorang Karasu makhluk tanpa ingatan. berbekal THE BOOK of JOKER dan sebuah gun ia harus menghabisi ribuan Joker, yaitu orang-orang yang harus di hentikan masa hidupnya secara paksa. demi satu harapan terbesar Sagiri semasa hidupnya. lalu pertemuan itupun terjadi. sagiri harus menghadapi salah satu jokernya yang merupakan takdirnya, Naoki pemuda malang yang selalu mengalami hal buruk dalam hidupnya. Sagiri mulai bimbang dengan dirinya. ia dihadapkan 2 pilihan. menghabisi Naoki atau Mengabulkan harapan besarnya. apa sebenarnya harapan terbesar Sagiri? lalu pilihan apa yang akan Sagiri ambil?

Shi_lunaticblue · 奇幻
分數不夠
228 Chs

GRANDMA

"Bagaimana sekolahmu? Mama dengar kau pindah sekolah?" wajah ibunya berbinar, seakan kebahagiaan telah datang dalam kehidupannya.

"Mama tahu darimana?"

"Pamanmu bercerita saat terakhir kali menjenguk" tiba-tiba mereka berdiam dan menunduk "Semoga pamanmu tenang di alam sana"

"Sekolahku menyenangkan, pelajarannya mudah dan aku punya banyak teman" kebohongan itu meluncur begitu saja dari bibir Naoki. dia memang pandai dalam hal menutupi sesuatu, jika ibunya tahu bahwa Naoki sedang mogok sekolah dan akan segera berhenti, maka mungkin saja ibunya akan sangat merasa bersalah. "Mama selama ini, siapa yang mengurus mama disini?" Naoki meremas pelan kedua tangan ibunya.

"Aku" tiba-tiba suara seorang wanita berumur mengagetkan mereka. Hampir seluruh rambutnya sudah memutih oleh uban, disanggul dengan rapih, baju setelan khas orang penting dengan pas ia kenakan. Wanita itu tampak lebih muda dari usia yang bisa Naoki tebak. Wanita itu neneknya.

"Oka-san datang lebih awal dari biasanya" Miyuki-san menyapanya dengan wajah sumringah "Ka-san, Nao datang. Akhirnya aku tahu bahwa Nao selama ini ada dipihakku" matanya berbinar.

"Mama" Naoki terdiam sesaat. Dia tidak ingin membenarkan apa yang ibunya ucapkan. Tidak ada pihak yang harus Naoki pilih. Bagi Naoki, ibunya adalah alasan untuk tetap tersenyum. Tapi ayahnya juga bukan seseorang yang harus ia benci. Hati kecilnya ingin dua orang yang amat ia sayangi kembali bersama, meski ia tahu itu tidak akan mungkin terjadi.

Kedamaian yang tadi menyelimutinya seketika musnah, lalu matanya bertemu tatap dengan sang nenek yang seakan tak senang dengan kehadirannya, tekanan yang di berikan neneknya begitu terasa. Dengan cepat ia alihkan pandangan pada ibunya yang masih bertanya-tanya.

"Ada apa Nao, kau tidak sependapat dengan mama?"

"Bukan.. aku hanya-"

"Nao, kau tahu bahwa papamu dan wanita jalang itu telah menghancurkan hidupku, mereka telah merenggut kebahagiaanku, kebahagiaan kita!" Wajah ibunya merah padam, amarah bergemuruh dihatinya. Bahkan hanya dengan mengingat wajah suaminya saja Miyuki-san sudah merasa muak.

Naoki juga marah, Naoki juga muak. Tapi yang ia harapkan dari ibunya adalah merelakan semuanya. Dari awal semua hanya kebahagiaan semu. yang ia harapkan adalah kehidupan baru untuk ibunya. Ibunya harus sadar itu.

"Ma, sejak awal aku merasakan mama tidak bahagia dengan papa. Lupakan mereka" wajah Naoki sedih. Neneknya menyadarinya dan berdeham. Miyuki-san yang tampak terdiam tak percaya dengan apa yang Naoki katakan seketika berpaling.

"Naoki, bisa kita bicara berdua? Sudah lama nenek tidak bertemu denganmu" nenek beranjak dari ambang pintu tanpa menunggu jawaban dari Naoki atau bahkan menoleh untuk melihat apakah Naoki keberatan atau tidak. Sudah sejak dulu Naoki tahu bahwa neneknya adalah orang yang keras. Pendapatnya adalah mutlak dan selama ini ia tidak pernah melihat anggota keluarga sang ibu ada yang berani menentangnya.

Naoki bangkit dari duduknya, tapi tangan sang ibu menggenggamnya. Tatapan matanya seakan tahu, Naoki akan kesulitan menghadapi neneknya. Naoki tersenyum dan pergi menyusul sang nenek.

Neneknya sudah duduk dengan tenang di sebuah bangku dibawah pohon tabebuya tidak jauh dari gedung ibunya dirawat. Matanya mengawasi Naoki yang mendekat padanya "Apa kabarmu?" pertanyaan itu harus dijawab Naoki bahkan sebelum ia duduk disamping neneknya.

"Aku baik-baik saja" ia mengambil jarak dari neneknya untuk duduk. ia merasa segan dan kikuk jika hanya bicara berdua dengan neneknya.

"Walaupun aku tidak bersama denganmu, aku tahu segalanya tentang perkembangan penyakitmu. Aku khawatir padamu Naoki. Tinggalkan rumah itu dan kita hidup bersama, bersama ibumu" mata neneknya menatap lekat air wajah Naoki, mata itu tegas seakan bukan milik seorang nenek berusia 80 tahun.

Naoki hanya diam, banyak hal yang tidak ia sukai dirumah neneknya yang megah dan mewah, hal yang sangat ia inginkan hanya kembali pulang bersama ibunya meski keadaan tidak akan sama lagi. Naoki menunduk, menghindar dari tatapan sang nenek.

"Ada apa Naoki? Jika kau berpikir ibumu akan pulang denganmu, kurasa kau harus kecewa. Ibumu akan pulang ke rumah nenek, dan jika kau keberatan ikut denganku maka aku akan menghubungi ayahmu agar kau tinggal dengannya. Pamanmu sudah tiada Naoki, tidak ada lagi yang bisa menjagamu di rumah kosong itu."

Tangan Naoki sudah mengepal, jangan ayahnya!

"Kau, walau bagaimanapun kau cucuku." Neneknya beranjak pergi meninggalkan Naoki sendirian, yang masih terduduk diam. Menunduk, berpikir.. harapan-harapan yang sempat tumbuh saat mengobrol dengan ibunya harus ia buang jauh-jauh sekarang.

Makoto menghampirinya, sebenarnya sudah sejak lama ia mengawasi Naoki bicara dengan neneknya. Tapi setelah obrolan itu berhenti Makoto baru bisa mendekati muridnya itu. "Nenekmu orang yang berkharisma yaa" Makoto mencoba mencairkan suasana, tapi wajah Naoki tidak terlihat baik-baik saja.

"Makoto-sensei. Aku tidak-"

"Tidak bisa tinggal dengan ibumu, benar?" Naoki mengangguk

'Berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk memberanikan diri kemari? Menjemput bahagia itu? Dan lihatlah, hanya berapa menit bahagia itu dirampas darinya. Sekejam itulah waktu.. Sagiri, aku tahu.'

"Ayo kita pulang, pamit pada ibu dan nenekmu" Makoto menepuk pelan kepala Naoki. Dengan langkah gontai Naoki berjalan mendahului Makoto, pemuda itu sudah sering terluka. Luka itu belum sempat sembuh dan terus bertumpuk hingga mengikis sedikit demi sedikit hatinya. Makoto terus mengikutinya, langkahnya lamat menjaga jarak.

Sampai di depan pintu ruangan ibunya Naoki terdiam sejenak lalu menepuk dua sisi pipinya dengan keras, menegapkan badan dan masuk dengan cepat. "Mama" senyumnya mengembang "Aku dan Makoto-sensei pamit yaa. Aku akan sering kemari" neneknya tersenyum sampul "Nek, aku akan tinggal dengan Makoto-sensei untuk sementara jadi jangan khawatir"

"Apa yang kau katakan Nao?" ibunya terkejut, begitu juga Makoto "Tinggallah dengan nenek, dan saat mama pulang kita bisa sama-sama lagi"

"Hanya untuk sementara ma" Naoki menoleh ke arah Makoto yang masih mencoba mencerna apa yang Naoki katakan "Ya kan sensei?"

"Ah! Y, ya, saya akan berusaha menjaga Naoki, kebetulan saya tinggal seorang diri" Makoto tergagap menjawab

"Maaf merepotkanmu sensei" Neneknya membungkuk pada Makoto. Makoto balas membungkuk kaku

"Tapi-" ibunya memprotes

"Miyuki" sang nenek bersuara tegas pada Miyuki-san, tanda bahwa keputusan itu adalah final dan tak boleh di sanggah. Wajah Miyuki-san memerah.

"Aku akan baik-baik saja ma. Sensei banyak membantuku, dan aku juga harus mengejar pelajaran yang tertinggal karena sering tidak masuk kelas saat pengobatan" Naoki menggenggam tangan ibunya yang putih kemerahan "Percayalah, mama sehat terus ya"

Setelah lama ibunya bergulat dengan pikirannya sendiri. Akhirnya ia mengangguk dan tersenyum pada Naoki. Ia menoleh dan menatap Makoto

"Aku titip Naoki ya sensei"

Makoto mengangguk

Miyuki-san membalas tersenyum, lalu memeluk lagi Naoki sebelum mereka pergi.

Miyuki takut bahwa itu adalah pelukan terakhir baginya.

***