webnovel

Bab 21

Sore ini aku berada di rumah pintar yang ada di Kemuning. Rumah pintar di sini, sekarang cukup ramai. Kira-kira adalah sepuluh pengajar yang ditugaskan Biung untuk mengurusi rumah pintar. Dan pengajar-pengajar tersebut berasal dari anak-anak salah abdi dalem yang kebetulan disekolahkan Biung di jenjang yang cukup tinggi. Tentu, itu semua endhak gratis. Biung selalu memberi upah bulanan kepada mereka untuk jajan. Termasuk, Manis yang saat ini tengah kuamati saat dia mengajar anak-anak. Pembawaannya yang tegas, dan banyak ucap tentu membuat anak-anak lebih terbuka dengannya. Meski begitu, ndhak jarang juga anak-anak bersikap kurang ajar.

Aku bertopang dagu melihat Manis yang hari ini tampak begitu manis. Mengenakan rok warna hitam dengan motif bunganya. Aku tahu, itu adalah kain pilihanku dulu, dan dia menjahitnya menjadi rok yang sangat pantas dengan lekuk tubuhnya. Rambunya yang habis dikepang pun diurai, membuat volumenya tampak semakin manis. Terlebih, gincu warna merah hatinya itu. Dan, aku benar-benar ndhak tahu, kenapa dia berpenampilan seberani itu? Apakah dia tahu, jika hari ini aku akan berada di sini?

"Juragan, kalau melihat Mbakyu Manis mbok ya mingkem. Jangan seperti itu, nanti ileran," tegur seorang anak bertubuh kecil. Matanya bulat seperti bola kasti. Dan benar saja, rupanya semua orang sudah memandang ke arahku. Sementara Manis, memalingkan wajahnya dariku.

Gusti, mati benar aku ini. Dipergoki telah meneliti penampilan Manis. Lagi pula, kenapa dengan anak-anak di sini? Kenapa pandai benar memata-matai jika aku sedang gandrung dengan gurunya yang ayu itu.

"Aku yang ileran, kenapa kamu yang komentar? Ya terserah aku, toh, mau memandang Mbakyu Manis sambil mangap, sambil melet. Kenapa kamu yang repot!" ketusku. Kutebas kemeja yang kupai untuk menutupi rasa maluku. Kemudian, aku berdiri. Melirik sekilas ke arah pengajar-pengajar lainnya yang rupanya sudah mentertawakanku.

"Apa lihat-lihat? Aku memang bagus!" bentakku lagi. Dan berhasil mereka langsung diam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Padahal ndhak tahu saja mereka. Rasanya, urat maluku sudah putus di sini. Rasanya, berat benar hanya sekadar mengangkat kepalaku ini.

Aku pun cepat-cepat melangkah pergi. Masuk ke dalam ruangan yang berisikan beberapa buku untuk anak-anak. Mencoba melihat-lihat, barang kali urat maluku bisa tersambung lagi.

Dan ndhak berapa lama setelah itu, anak-anak dizinkan untuk pulang. Para pengajar kemudian berkumpul di balai mereka. Sebuah gubug yang lumayan besar, dan diberi pembatas kayu sedada di setiap sisinya. Mereka bercakap-cakap sebentar, memakan hidangan yang tadi dititipkan Bulik Sari kepadaku. Kemudian, mereka masuk ke ruangan tempatku berada.

Ini adalah akhir bulan, sudah menjadi rutinitas mereka untuk menerima sedikit rasa terimakasih yang diberikan Biung kepada mereka. Sebab bagaimana pun, Biung enggan menyebut jika pemberiannya itu sebagai upah.

"Aku ingin mengucapkan terimakasih. Karena berkat kalian, meski anak-anak kampung Kemuning masih banyak yang belum bisa sekolah. Tapi mereka ndhak kalah dengan anak-anak yang bersekolah. Mereka sudah bisa membaca, menghitunga, dan melakukan kerajinan-kerajinan. Sungguh, aku sangat salut dengan kinerja kalian yang luar biasa ini. Namun demikian, apakah ada saran lain untuk memajukan tempat ini sehingga anak-anak semakin giat belajar?" kataku membuka suara.

Para pengajar itu tampak diam. Memerhatikanku tanpa kedip. Sepertinya, mereka cukup serius mendengarkan ucapanku ini. Karena baru kali ini aku mau menuruti perintah Biung untuk menggantikannya mengurus rumah pintar. Biasanya, aku lebih suka ke kebun. Tapi kata Romo, aku ndhak boleh ke kebun dulu.

"Kalian dengar, toh?" tanyaku lagi. Mereka tampak langsung kaget, sementara Manis masih diam di tempat. Benar-benar diam.

"Ngapunten, Juragan. Karena terlalu terkesima melihat wajah Juragan kami jadi ndhak fokus."

Aku langsung melotot. Merasa tersindir sebab tadi aku kepergok ndhak fokus karena terlalu memerhatikan Manis. Apakah mereka sedang menyindirku sekarang?

"Ya sudah, ndhak usah beri masukan. Ini, pergilah!" ketusku.

Kukipas-kipas wajahku yang mendadak panas dengan tangan. Kemudian mereka mengambil upah mereka masing-masing. Untuk kemudian, Manis masih tinggal.

"Kenapa?" tanyaku. Yang terbawa suasana karena ulah perempuan-perempuan ndhak jelas itu.

"Upahku," Manis jawab.

Duh Gusti, aku lupa! Upah Manis rupanya ketinggalan di rumah. Kok bisa, toh? Dasar, aku ini!

"Tertinggal di rumah," kubilang. Manis hendak pergi, tapi tangannya segera kutahan. "Tinggallah sebentar. Upahmu sedang diambil Paklik Sobirin," kataku lagi. Setelah memberi isyarat Paklik Sobirin untuk pulang lebih dulu.

Manis mengibaskan tanganku, kemudian memaksa pergi. Membuatku mau ndhak mau menutup pintu rapat-rapat.

"Sudah kubilang, di sini saja barang sebentar."

Kemudian ia melirik ke arah jendela. Mungkin dia pikir akan pergi lewat jendela dari sini.

"Silakan kamu lewat jendela. Maka dengan senang hati aku yang menjadi tumpuan kakimu. Sekedar melihat pemandangan indah di dalam rok cantikmu itu," sindirku.

Manis kemudian duduk, dia benar-benar diam. Seperti patung-patung di dekat candi.

"Bersama Arni, aku berusaha rem pol. Berharap bersamamu aku bisa gas pol. Tapi nyatanya, kenyataan ndhak seindah itu," kubilang.

Manis tersenyum kecut. "Memangnya kamu pikir, kamu ini siapa? Mengibaratkan perempuan seperti kendaraan. Terserah juga apa yang kamu mau lakukan dengan Arni. Toh, ndhak ada hubungannya denganku,"

"Cemburumu lucu," kataku. Dia melihat ke arahku, tapi masih diam membisu. "Perempuan itu memang lucu. Semakin dia berkata endhak, semakin pula mereka menginginkan sebaliknya. Iya, toh?"

Manis melemparku buku, tapi kutepis. Berlutut di depannya berharap dia benar-benar mau mendengarkanku barang sebentar.

"Kamu tahu, aku ndhak melakukan apa pun selama tinggal dengan Arni, Ndhuk. Percayalah. Bahkan di otakku, yang ada nama Manis, Manis, dan Manis. Sampai-sampai aku takut jika digigit semut karena terlalu manis."

"Arjuna! Ini benar-benar ndhak lucu!"

"Aku ndhak sedang melucu. Aku sedang mengatakan kenyataan. Namun, jika kenyataan itu membuatmu merasa lucu. Ya tertawa saja, ndhak dosa."

"Arjuna!" marah Manis lagi. Tapi, ekspresi jengkelnya jelas berbeda dari yang tadi.

"Apa, Sayang? Merdu benar suaramu itu tatkala memanggilku dengan penuh cinta," godaku lagi.

Wajah Manis tampak memerah, dia bersedekap kemudian memalingkan wajahnya dariku.

"Aku sudah punya calon suami. Kamu sudah tahu, toh. Simbahku pun ndhak suka denganmu."

"Paham, Bu Guru."

"Lantas, apa lagi yang bisa diharapkan dari semua ini?" tanyanya.

Aku diam sesaat, mencoba mencari-cari jawaban yang kiranya tepat untuk kuucapkan kepadanya.

"Jika kamu tahu sedari awal akan seperti itu. Lalu kenapa kamu rela melepas keperawananmu itu untukku? Bukankah itu suatu pengharapan dari sesuatu yang ingin kamu usahakan?"

Kutarik tangan Manis agar dia ikut duduk denganku. Kudekap tubuhnya erat-erat. Memandangi wajah ayunya yang hanya berjarak beberapa inci dariku. Sungguh, aku ndhak bisa menolak pesona perempuan ini.

Kukecup bibir merah Manis sekilas. Membuat Manis menarik tubuhnya dariku.

"Sebentar lagi Kangmas Muri akan ke sini."

"Sssst...," kataku. "Aku benci mulutmu menyebut Kangmas kepada laki-laki lain selain aku."

Lagi, kucumbu bibir Manis yang benar-benar penuh candu. Mengecup leher jenjangnya yang begitu wangi itu.

Pelan, kuturunkan resleting roknya yang ada di belakang. Membuat Manis yang awalnya menikmati cumbuanku pun tampak menegang.

"Boleh aku merasakannya lagi?" bisikku.

Dia ndhak menjawab. Namun diamnya cukup membuatku paham dengan jawabannya itu. Manis memeluk tubuhku semakin erat. Dan tangannya mencengkeram rambutku kuat-kuat.

Aku sama sekali ndhak tahu, jika mencintai seseorang bisa segila ini. Bahkan untuk menahan hasrat kepadanya barang sebentar pun rasanya ndhak bisa.

Tok! Tok! Tok!

Manis hendak memekik saat suara ketukan pintu itu terdengar dari luar ruangan ini. Namun, kucium lagi bibirnya agar dia ndhak bersuara. Aku yakin jika sejatinya Manis gugup, takut jika apa yang kami lakukan ini ketahuan.

Aku, dan Manis buru-buru mengenakan pakaian kami. Kemudian, kami membuka pintu yang sedari tadi diketuk dengan ndhak sabaran.

Di depan pintu itu. Tampak dengan jelas, Muri berdiri dengan tubuh setengah basah. Dan di belakang, ada Paklik Sobirin, yang memandangku dengan was-was. Rupanya, di luar hujan. Aku baru menyadarinya.

Muri hanya diam. Melihatku, dan Manis dalam diam. Meneliti kami satu persatu. Sementara Manis hanya bisa menunduk, mencoba merapikan wajah dan rambutnya.

"Apa yang kalian lakukan berdua, di sini?" tanya Muri. Rahangnya tampak mengeras, matanya memicing ke arahku.

Kutatap balik laki-laki tua itu. Ingin sekali kuucapkan kejadian yang sebenarnya, ingin sekali kukatakan kepadanya jika aku mencintai calon istrinya. Jika aku telah bercinta dengan calon istrinya. Tapi, Manis... perempuan itu menahanku. Dia seolah melarangku untuk melakukan itu.

"Apa kamu ndhak punya mata, sampai ndhak bisa melihat kalau di luar sedang hujan? Kenapa kamu masih bertanya kenapa kami sampai ada di sini? Apakah kamu pikir, kami sedang... kelon?" ucapku.

Tanpa basa-basi Muri langsung menarik tangan Manis. Dia mengajak Manis pergi di tengah hujan. Curi-curi pandang Manis memandang ke arahku. Tapi, yang bisa kulakukan hanyalah, menjadi pecundang bodoh dan melihat kepergian Manis begitu saja tanpa bisa menahannya.

"Juragan, perkara apa lagi yang ingin Juragan lakukan ini?"

Kulirik Paklik Sobirin, setelah menebas kemejaku aku pun melangkah pergi. Dengan langkah-langkah besar dia mengekoriku, memayungiku dengan payung yang sedari tadi ia bawa itu.

"Yang kucari bukan perkara, tapi arti dari cinta yang sesungguhnya. Besok, aku mau ke kota, meluruskan apa pun kesalah pahaman yang ada. Kamu, bilang kepada Romo. Jika Arjuna, putra dari Adrian akan bertanggung jawab dengan apa yang telah ia lakukan."

*****

Pagi ini aku sudah berada di rumahku yang ada di kota. Tepat di mana Arni, dan kedua anaknya tinggal. Kata Paklik Sobirin, setelah beberapa kali sidang, Arni lebih sering melamun. Jika benar dugaanku, maka aku harus melakukan sesuatu atas itu.

Saat aku baru masuk ke dalam rumah. Arni langsung menyambutku. Menutup pintu depan dengan tergesa kemudian mulai mencumbuku. Menghujaniku dengan ciumannya. Menarikku ke kamar kemudian melepaskan pakaianku.

Aku diam saja saat ia melakukan itu. Terlebih, tatkala pakaian kami telah terbuka seutuhnya. Dia menuntunku untuk berada di atas ranjang. Lalu, Arni melepaskan ciumannya. Seolah menyuruhku melakukan apa pun yang aku mau.

Kubelai leher jenjangnya, dia tampak memiringkan wajahnya. Memejamkan matanya rapat-rapat dan itu benar-benar membuatku tersenyum. Ternyata, tepat seperti dugaanku....

"Apa ini yang benar-benar kamu inginkan, Arni? Apa benar ini yang kamu mau?" kutanya.

Arni tampak membuka matanya, kemudian memandangku dengan raut wajah kebingungan itu.

Aku kembali tersenyum, kemudian mendekatkan wajahku padanya. Menghimpitnya lagi, dan dia melakukan ekspresi seperti tadi lagi. Memejamkan matanya sambil memiringkan wajahya. Membuatku cukup sadar, jika aku harus segera bangkit sekarang.

"Kenapa ndhak jadi, Kangmas?" tanyanya. Mengambil posisi duduk kemudian menyelimuti tubuhnya dengan jarik.

"Bagaimana aku mau kelon sama perempuan yang hatinya masih digantungkan dengan yang lain. Pantang bagiku melakukan itu. Lagi pula, ada hal yang membuatku ndhak bisa melakukannya kepadamu. Maaf."

"Apa maksudmu, Kangmas? Aku benar-benar ndhak paham," dia bilang lagi.

Memang dasarnya perempuan mungkin seperti itu. Terlalu tinggi hati meski sekadar mengakui apa yang sebenarnya ada di hati.

"Bukankah sidang perceraianmu sudah hampir selesai? Apa benar keputusanmu untuk berpisah dengan Muri itu benar-benar dari lubuk hatimu, Arni?" kutanya. Arni tampak diam. "Kadang cinta memang terasa lucu. Betapa pun orang yang kita cinta melukai kita. Tapi, kita dengan bodoh masih mencintainya. Bukan seperti itu, toh?"

Arni diam, dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Membuatku menepuk-nepuk pundaknya beberapa kali.

"Apa yang kamu lakukan kepadaku. Ndhak ubahnya hanya sebagai pengakuan. Serta rasa takut atas apa yang hendak hilang dari dirimu. Kamu seolah ingin memastikan, jika benar nanti kamu akan bahagia meski telah berpisah dengan orang yang kamu cinta. Iya, toh?"

Lagi, Arni terdiam. Dia ndhak mengatakan bantahan apa pun lagi. Aku tersenyum saja melihat ekspresinya seperti itu. Sebab bagiku, itu adalah wajar.

"Lagi pula, Arni, aku juga ingin berkata jujur kepadamu tentang suatu hal. Jika bagaimanapun keadaannya, aku ndhak bisa memberikan janji-janjiku dulu. Sebab, aku juga punya hati yang harus kujaga saat ini. Maaf, jika telah membuatmu kecewa. Tapi aku berjanji, akan membantumu dengan cara yang lainnya. Percayalah."

Arni tampak mengangguk, kemudian dia melangkah pergi. Masuk ke dalam kamar Ningrum, dan ndhak keluar-keluar selama sehari itu.