Akhirnya Xavier hanya bisa menghela napas. "Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka atau kau melukai dirimu sendiri dengan mencari pelarian…"
Ia menepuk bahu Elleard pelan dan berbalik masuk ke dalam ruang makan. Ia datang kemari untuk bicara dengan Elleard agar memikirkan kembali keputusannya untuk menikah dengan gadis yang baru ditemuinya beberapa kali itu.
Namun, sepertinya kali ini Elleard benar-benar keras kepala. Dulu saat ia hendak membunuh suami Lisa, Xavier masih bisa meyakinkannya untuk memikirkan kembali konsekuensi dari keputusannya yang dilandasi rasa dendam itu, tetapi sekarang rupanya Elleard tidak peduli dengan ucapan Xavier.
Kalau sudah begini, Xavier hanya bisa membiarkan. Mungkin nanti Elleard akan sadar sendiri bahwa apa yang ia lakukan itu salah.
Atau ia akan bosan dengan pelariannya dan belajar menerima kenyataan bahwa ia memang tidak akan mendapatkan Lisa kembali, dan menikahi wanita yang sekadar mirip dengan Lisa tidak akan mengembalikannya ke masa lalu saat ia dan Lisa masih bersama dan berbahagia.
Atau…
Mungkin hal tak terduga akan terjadi. Elleard mungkin akan benar-benar jatuh cinta kepada Elena dan pernikahan mereka akan menjadi pernikahan sungguhan.
Xavier menggelengkan kepalanya saat memikirkan itu. Entah kenapa pemikiran itu membuatnya tidak merasa nyaman.
***
Pagi ini Elena berdiri di depan makam orang tuanya. Wajahnya terlihat sendu karena mengingat pernikahannya nanti tidak akan dihadiri orang tuanya.
Ia lalu meletakan satu buket bunga pada masing-masing makam. Kali ini ia membawa bunga segar dari taman di mansion. Elleard teryata memiliki sangat banyak tanaman bunga cantik yang seharusnya dapat dia bawa untuk ditaruh di makam orang tuanya. Namun, ia lebih memilih membeli bunga dari Elena dan membantu gadis itu mendapatkan uang.
Ah, mengingat itu, Elena merasa terharu. Ia merasa beruntung karena Elleard sangat baik kepadanya. Siapa yang mengira bahwa seorang gadis miskin dan sederhana sepertinya akan dapat menarik hati seorang lelaki tampan dan kaya seperti Elleard?
"Ayah, aku akan menikah minggu depan. Siapa yang akan mendampingiku di altar nanti?" Elena bicara kepada makam ayahnya dengan terisak-isak.
"Ibu, bagaimana nanti aku menjadi istri? Aku belum belajar bagaimana menjadi istri yang baik. Ibu bagaimana ayah menyayangimu, bu? Apakah seperti Elleard? Dia sangat baik kepadaku, tetapi aku tidak mengerti mengapa ia memintaku menikah dengannya. Kami bahkan belum kenal terlalu lama."
Tidak ada orang di dunia ini yang dapat ia ajak bicara dan curahi keluh-kesah selain dua orang yang telah tiada dan dikubur di dua makam ini. Elena tidak dekat dengan bibi dan sepupunya. Ia juga tidak memiliki teman dekat.
Akhir-akhir ini ia memang cukup dekat dengan Greta, pelayan pribadinya, tetapi ia merasa tidak pantas jika ia mencurahkan isi hatinya tentang Elleard kepada Greta.
Karena itulah Elena hanya dapat memendam semuanya dan menumpahkan isi hatinya saat ia berkunjung ke makam orang tuanya. Elena duduk di sana dan berkeluh-kesah hampir satu jam lamanya.
Setelah Elena puas meluapkan isi hatinya, ia meninggalkan makam dan melangkah menuju kantor pengelola yang terletak tidak jauh dari situ. Kantor itu hanya berlantai satu dengan halaman dipenuhi tanaman hijau rindang. Ketika Elena tiba di depan bangunan itu, dari pintu kantor keluar dua orang petugas.
Elena ingat kedua orang itu adalah petugas pemakaman. Mereka yang dulu hampir membongkar makam orang tuanya. Ia mengangguk ke arah mereka dan menyapa kedua lelaki itu dengan sikap canggung.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Elena dengan sedikit menundukan kepalanya.
Dua orang tadi tidak bisa menutupi keterkejutannya saat melihat penampilan Elena saat ini. Elena nampak sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu.
Elena sempat melihat pakaiannya dari ujung sepatu sampai pada gaun mewah berwarna hitam yang ia kenakan. Apakah ada yang salah? Mengapa mereka menatapnya seperti itu?
"Selamat pagi, Nona," balas salah satunya."Ada yang bisa kami bantu?"
"Uhm… aku ingin bertemu dengan manajer di sini. Pak Russo," ujar Elena.
"Oh… beliau sedang ada di ruangannya, Nona bisa langsung masuk ke dalam," jelas pria itu.
"Oh, terima kasih. Aku masuk dulu kalau begitu."
"Kami permisi, Nona." Kedua pria itu segera berlalu dengan gumaman yang samar masih Elena bisa dengar.
"Itu gadis waktu itu bukan?"
"Iya, wwaahh… uang bener-benar bisa merubah segalanya."
"Menurutmu dari mana dia bisa mendapatkan banyak uang untuk membeli baju semahal itu?"
"Entahlah. Dia gadis cantik. Orang sepertinya tentu saja akan dapat mencari uang dengan mudah kalau ia mau."
"Maksudmu?"
Suara mereka semakin lama semakin samar dan akhirnya sama sekali tidak kedengaran lagi. Elena hanya bisa menggigit bibir dan mengabaikan mereka.
Ia kembali melanjutkan langkahnya memasuki lobi kantor itu lantas mencari ruangan yang bertuliskan manajer di depan pintu masuknya.
TOK
TOK
Elena mengetuk pintu beberapa kali. Setelah dari dalam terdengar suara mempersilahkannya masuk barulah Elena membuka pintu. Pak Russo yang hari itu mengenakan kemeja putih garis-garis, menatap Elena penuh tanda tanya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan sembari mengamati langkah Elena.
"Tuan, saya ingin membayar sisa sewa uang makam orang tua saya, pasangan Neri," kata Elena dengan sopan.
"Apakah ada masalah?" Pria berkaca mata itu membuka data dari laptopnya. Mencari nama Neri di sana. Ia terteran keterangan bahwa sewa makam yang dimaksud sudah dibayar. Lalu, mengapa gadis ini hendak kembali membayar?
Elena mendeham dan menjawab, "Waktu itu Tuan bilang masih kurang 100 euro lagi. Saya mau membayarnya sekarang."
"Semuanya sudah dibayar untuk 20 tahun ke depan. Saya tidak mengerti kenapa Anda mau membayar lagi," kata Tuan Russo keheranan.
Elena tertegun mendengar ucapan sang manajer. Ia mengerutkan keningnya dan meminta Tuan Russo mengulangi ucapannya.
"Bisa Tuan jelaskan lagi?" tanya Elena keheranan. "Aku baru datang kemari sekarang, karena Tuan memberiku waktu seminggu. Lalu siapa yang membayarnya?"
Tuan Russo membaca catatannya dan menjawab, "Sudah dibayar oleh tuan Elleard Salvator Osbart, Nona."
"Oh…. begitu ya?" Elena mengangguk.
Ia sadar bahwa ia semakin banyak menanam budi kepada Elleard.
"Nona Elena?!"
Panggilan pria di depan Elena membuat gadis itu tersadar dari lamunan. "Ahh, iya. Terima kasih, Tuan. Saya permisi kalau begitu."
Setelah dipersilakan, Elena keluar dari ruangan itu.
Dengan mata berkaca-kaca, ia mengirim SMS ke nomor ponsel Elleard. Itu adalah satu-satunya nomor yang sudah disimpan di ponsel barunya.
[Terima kasih kau sudah membayarkan biaya sewa makam orang tuaku. Aku sangat menghargainya.]
Elena merasa ia harus menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tahu terima kasih. Karenanya ia buru-buru mengirim pesan itu kepada Elleard. Baru saja ia berjalan beberapa langkah, terdengar dentingan pesan masuk dari ponsel yang Elleard berikan. Elena melihat nama Elleard, langsung membuka pesan itu.
[Pergilah ke mall, beli apa saja yang kau inginkan.]
[Aku tidak menginginkan apa-apa.] balas Elena.
[Kau bisa melihat-lihat dan berbelanja. Kau akan segera masuk kuliah. Apakah kau tidak mau membeli perlengkapan kuliah?] Elleard kembali mengirim pesan.
Elena mendecak pelan. Elleard benar juga. Ia sama sekali belum memiliki persiapan untuk kuliah. Mungkin sebaiknya ia pergi ke mal dan melihat-lihat siapa tahu ada yang bisa ia beli.
Sebelum ia masuk ke dalam mobil, Elena mencoba untuk mengajak Elleard bertemu. Rasanya akan menyenangkan menghabiskan waktu bersama pria itu seperti waktu dulu ia mengajak Elena makan siang di kafe, walaupun ia hanya minum kopi.
Ini akan terasa seperti… kencan.
Iya kan? Mereka akan menikah seminggu lagi dan mereka bahkan tidak pacaran. Kencan juga belum pernah. Well, kecuali kalau yang waktu itu mau dihitung.
Elena mendesah pelan. Walaupun ia tidak terlalu mengenal calon suaminya, Elena hendak membuka diri untuk bergaul lebih erat dengan Elleard dan mencoba mengetahui lebih dalam seperti apakah lelaki yang akan segera menjadi suaminya itu.
Sejak ia memutuskan untuk ikut Elleard dan tinggal di rumahnya, mereka belum pernah lagi menghabiskan waktu berdua. Kini, Elleard menyuruhnya pergi ke mall dan berbelanja sesukanya.
[Apakah kau mau bertemu denganku untuk minum kopi di mal?] tanya Elena.
Ia menatap ponselnya berlama-lama setelah mengirim pesan itu. Namun balasan dari Elleard tidak juga datang.
Akhirnya Elena menyimpan ponselnya dan memutuskan untuk pulang ke mansion. Ia tidak jadi ke pusat perbelanjaan. Untuk apa ia ke mal kalau hanya berjalan-jalan sendirian. Rasanya pasti sepi sekali.