Setelah menelpon asisten pribadinya, Rama bersiap-siap, pria itu mandi lagi dan mengenakan kemeja berwarna biru muda di padukan celana jeans, kemeja warna itu adalah warna kesukaan istri tercintanya. Bibirnya sedari tadi melengkung sempurna, sesekali bibirnya yang tebal menggumamkan nama istri pertamanya, Dea, Dea dan hanya Dea.
Ponsel Rama berbunyi, menandakan ada panggilan. Rama segera melangkah menuju meja tempat dia meletakkan ponselnya tadi.
"Sudah?" tanya Rama langsung begitu panggilan dia angkat," sudah, Bos," jawab si asisten, "sekitar satu jam lagi anda bisa terbang ke Bali," sang asisten menambahkan.
"Kerja bagus," ujarnya memuji sang asisten, "terima kasih, Bos. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya kemudian, Rama nampak diam memikirkan sesuatu.
"Suruh seseorang menjemput saya, satu lagi, ikut sertakan beberapa anak buahmu bersamaku," perintah Rama tegas, "siap, Bos. Laksanakan," panggilan pun terputus.
"Lho, Mas. Mau kemana?" Raya yang baru pulang dan mendapati sang suami sudah rapi bukan'kah dia mengatakan hari ini dia libur, begitu pikir Raya.
"Mas ada keperluan sebentar," sahutnya cepat, tangannya memakai jam tangan mahal miliknya, lalu menyemprotkan parfum ke pakaian yang dia pakai.
"Mas pergi dulu," pamit Rama setelah tangan kirinya menyambar ponsel dan dompet miliknya, Raya mendesah kecewa.
"Mau kemana sih, Mas?" Raya ternyata mengikuti Rama sampai keluar kamar, sekilas Rama memandang sekitar berharap bertemu sang mama.
"Mas!" Raya berteriak karena Rama tidak juga memberi nya jawaban. Rama memutar tubuh menatap Raya lalu berkata, "sudah mas bilang'kan, mas ada perlu," kata Rama dengan sedikit ketus.
"Bilang ke mama, aku malam ini tidak pulang," Rama melangkah meninggalkan Raya dan menuju keluar, saat hendak membuka pintu dia ingat hari ini ada acara di rumah namun itu bukan acara mama kandungnya.
Rama, dilema. Jika dia pergi, dia takut sang papa akan semena-mena, jika dia tidak pergi nanti istri tercintanya akan kabur jauh lagi, Rama menggeleng keras.
"Titip mama, temani dia kemana pun mama pergi," pesan Rama, akhirnya dia memutuskan mengejar sang istri dan akan membawanya pulang.
"Mas Rama mau kemana sih, bikin penasaran?" gerutu Raya penasaran, dirinya lupa hanya Dea yang bisa membuat semangat suaminya begitu membara, kakinya melangkah menaiki anak tangga menuju kamar sang mertua, kepala refleks menoleh saat mendengar suara berisik dari lantai bawah. Bibirnya mencebik dan bola matanya dia putar karena jengah, ternya istri kedua papa mertuanya datang bersama teman-temannya.
"Ma," Raya memanggil sambil mengetuk pintu mama mertuanya, "Ma," panggil Raya lagi, karena tidak ada sahutan akhirnya dia melangkah turun, meninggalkan kamar sang mertua dia tidak berinisiatif masuk dan memeriksa keadaan ibu mertua yang sangat perduli padanya.
Saat mencapai tangga dia sempat memandang kamar milik Rama, ingin sekali dia masuk dan tahu apa isi kamar tersebut. Raya bimbang, di sini dia ingin tinggal bersama Rama, suaminya.
Tapi saat ini suaminya sedang pergi dan tidak pulang, ingin sekali dia pulang kerumah orang tua nya. Bosan di sini tanpa Rama, apalagi ada istri kedua papa mertuanya, semakin membuat Raya kesal.
Jika dia pulang pasti Rama akan marah, karena dia tadi sudah berpesan untuk menjaga mama mertuanya, "aaarrgghh," teriak Raya frustasi.
Di lantai bawah sudah ramai, akhirnya Raya turun dan memilih masuk kekamarnya dan menunggu teman-teman tante 'Pengacau' itu pergi.
***
Tampak seorang wanita berlari-larian dengan anak kecil, sesekali tawanya membuat orang lupa kalau dia sedang dalam masalah.
"Lea tunggu tante, Sayang!" Dea berhenti sejenak dan mengambil nafas, entah kenapa akhir-akhir ini tubuhnya sering cepat lelah.
"Ayo tante kejar Lea lagi!" gadis kecil itu ikut berteriak dan tertawa terbahak saat Abraham menangkap dan mengendongnya, lalu melangkah menuju Dea berada.
"Kamu ga papa?" Abraham menurunkan Lea dan ikut berjongkok di depan Dea, menyentuh dan menghapus kening wanita-nya yang mengeluarkan keringat.
"Tante kenapa?" Lea ikut berjongkok, sedikit mendongak karena tinggi badan yang berbeda.
"Tante ga papa, Sayang. Hanya lelah," jawabnya seraya mencubit pipi gadis kecil itu gemas.
"Kita kesana ya," Abraham mengajak Dea ke tenda yang mereka dirikan agak jauh dari bibir pantai, tendanya terbuka sehingga angin bisa melewati tenda tersebut. Dea hanya mengangguk patuh, sepertinya tidak dia sudah punya tenaga lagi.
"Sayang, kamu jalan ngga papa? Om bule mau gendong tante Dea," Abraham mengusap lembut kepala gadis kecil di sampingnya, tampak gadis kecil itu berfikir akhirnya mengangguk setuju melihat wajah sang tante terlihat tidak baik-baik saja.
"Hu'um, gendong tante aja, Lea jalan ga papa," Abraham menunduk dan mencium gemas pipi Lea, "terima kasih, Sayang," Lea mengangguk.
Abraham berdiri dan meminta Dea berdiri, saat Dea berdiri wanita itu memekik terkejut karena tiba-tiba Abraham mengendong dirinya ala bride style, Dea segera menyembunyikan wajahnya di dada Abraham.
Sesampainya di tenda, teman-temannya segera datang karena tidak biasanya Dea manja seperti itu dan mereka penasaran.
"Dia kenapa?" Laras segera maju begitu Dea sudah diturunkan dari gendongan Abraham, wanita itu menggeleng tanda tidak apa-apa, Abraham mengambil tas Dea dan mengambil minyak kayu putih, yang beberapa hari ini bisa menangkal rasa tidak enak badan pada wanita-nya.
"Hirup ini," Abraham menyodorkan botol itu setelah membuka dan menuang sebagian ke telapak tangannya, lalu mengusap tengkuk Dea. Dea terpejam menikmati sentuhan yang kekasihnya gelapnya berikan, sangat nyaman.
"Dia kenapa, Bro?" Dendi maju dan menyentuh kening Dea, "ga panas," ujarnya.
"Gue kecapekan," kata Dea dengan perlahan membuka mata, "kok bisa? emang kalian ngapain aja di kamar?" suara Dendi terdengar meninggi, matanya menatap sengit kearah Abraham.
"Jangan salahin, Abra. Kami di kamar hanya tidur, lagian Lea tidur bersama kami," ketus Dea tidak terima kekasihnya di salahkan.
"Tadi tante Dea lari-lari sama Lea, trus tante nya kecapekan," Lea maju dan memeluk Dea, Dea balas memeluk dan membuat anak kecil itu duduk di pangkuannya.
"Hufh," Dendi mendengus lalu berdiri dan meninggalkan tenda itu, "tante maaf Lea ya, udah bikin capek harus kejar-kejar kesana kemari," oceh Lea merasa bersalah. Lea merasa bersalah karena dia kini tante kesayangan nya harus seperti ini.
"Hish, bukan kok. Emang tantenya aja yang lagi ngga enak badan," mata Dea terpejam lagi, menikmati sentuhan dan pijatan di punggung nya.
"Lu udah makan?" Alex bertanya, Dea berfikir lalu menggeleng.
"Akhir-akhir ini ga selera makan," sahutnya masih dengan terpejam.
"Mau kelapa muda?" tawar Abraham, dia berfikir buah itu bisa di minum karena ada airnya dan bisa di makan karena ada dagingnya.
"Kelapa muda?" Dea membuka mata dan menoleh kebelakang, Abraham mengangguk.
"Mau," jawab Dea antusias, Abraham tersenyum lalu mendongak menatap teman-teman kekasihnya.
"Ada yang mau kelapa muda juga?" tawarnya pada mereka, Sila dengan percaya diri maju dan menerima tawaran Abraham akan kelapa muda tersebut.
"Tuan putri, apa tuan putri juga mau?" tatapan Abraham berpindah kearah Lea, gadis kecil itu mendongak seakan meminta izin sang mama, karena sang mama mengangguk tanda mengizinkan akhirnya dia berkata mau.