"Sial!" Diara merutuk kesal, melempar kertas undangan berwarna pink dengan motif tanda hati itu.
Beberapa penghuni kantor tersenyum mengejek melihat tingkahnya. Jelas mereka sudah tahu, perihal apa yang membuat sang kepala editor itu menjadi murka.
"Masih pagi, Mbak! Jangan marah-marah. Entar wajahnya cepat keriput," seloroh Bandan, salah satu rekan kerjanya.
Diara mendelik tajam. Bandan tersenyum kecut melihat ekspresinya.
"Mau?" tawar lelaki berkaca mata itu, menyodorkan gelas keramik putih berisi cappuccino yang masih mengepulkan asap. Berusaha meredam emosi atasannya.
Bukannya lebih tenang. Diara malah merundukkan setengah tubuhnya. "Do you want to die?" desisnya di depan wajah Bandan.
"Eng-enggak," sahutnya gagap. Lalu menoleh ke belakang punggung Diara, di mana ada Gina yang sedari tadi memberinya kode.
Bandan menautkan alis. Kurang mengerti dengan isyarat Gina yang terus mengedipkan mata dan meletakkan telunjuk di depan bibir.
Itu membuat Diara berdiri tegak lalu berputar arah. Karuan Gina terperanjat. Akhirnya dia berpura-pura fokus membaca map di depannya walau dengan tangan bergetar.
Diara mendengkus. "Gue benci bulan Februari," gumamnya. Kemudian menjatuhkan tubuh dengan sekali hentak di atas kursi.
.
"Undangan pesta valentine lagi?"
"Iya. Lo tau? Rasanya gue mau muntahin roti selai coklat sama susu vanilla rendah kalori di perut gue, waktu lihat itu undangan ada di atas meja!" Diara menggeram.
"Itu 'kan sarapan kita tadi pagi," omel Anye. "Eh, tapi gue heran juga. Perusahaan lo hobi amat adain pesta valentine. Jangan-jangan CEO-nya punya pengalaman pribadi yang berkesan tiap tanggal 14 Februari?" tukasnya kemudian.
"Gue enggak peduli! Yang jelas, kayaknya gue harus bikin surat pengaduan ke Komnas HAM."
"Diara-Diara. Dari pada bikin surat ke Komnas HAM, lo mending bikin surat buat atasan lo," ejek Anye.
"Lo 'kan tau gue kurang akur sama dia. Semenjak ajakan kencannya gue tolak, dia kayak si Tom lihat Jerry, bawaannya pengen bikin susah melulu," tukas Diara berapi-api.
"Ya, terus lo mau gimana lagi? Palingan lo pasrah aja kayak tahun-tahun lalu, ditindas sama semua karyawan."
Kedua mata Diara melebar. Terbayang kejadian setahun lalu, ketika dia memutuskan untuk tidak ikut menghadiri acara pesta valentine di kantornya. Selama seminggu, Diara menjadi bahan ejekan teman-temannya. Di setiap momen, Diara yang menjadi topik utama. Bahkan namanya menjadi terkenal di seluruh bagian departemen perusahaan. Dengan julukan, 'Woman Alone'.
Diara bergidik. Bibirnya terus mengumpat, "Amit-amit, amit-amit." Dengan satu tangan mengetuk dinding.
"Nah, 'kan. Lo pasti enggak mau. Lo bilang kejadian itu bikin malunya sampe sebulanan. Lo mau ngulang itu lagi, hah?" tegur Anye.
"Bu Gulu, ini gambal Delen." Tiba-tiba terdengar suara cempreng di antara mereka.
"Wah, Deren sudah selesai menggambarnya. Hebat. Sini, Ibu kasih bintang dulu, ya?" ucap Anye dengan suara lemah lembut. Berbeda ketika mengobrol dengan Diara. "Udah dulu ya, Di. Gue mesti kasih nilai anak-anak."
"Iya, Bu Guru. Semoga harimu menyenangkan bersama krucil-krucil itu," ketus Diara.
"Cih, seengaknya gue menikmati pekerjaan ini. Ya udah, sampai ketemu di rumah. Bye." Anye memutus sambungan.
Diara menatap kesal layar ponselnya yang sudah berubah gelap. "Apa salah gue sama dunia? Kenapa enggak ada satu orang pun di alam semesta ini yang mendukung gue?" bisiknya.
Tok, tok, tok.
Diara terperanjat. "Iya, sebentar." Kemudian bangkit dari atas kloset yang sudah didudukinya selama hampir setengah jam.
Ketika pintu terbuka, dilihatnya perempuan berkaca mata sedang menggeliat-geliatkan kedua kaki dengan tangan berada di area vital.
"M-mbak ... ud-udah ... beres ... be-belum?"
"Udah." Diara menyahut datar.
"Minggir, dong!"
"Aish!" umpat Diara yang tubuhnya digeser paksa. Beruntung kakinya sigap menahan. Jika tidak, bisa terpeleset di atas lantai toilet yang baru dipel.
Diara berjalan ke arah cermin di bagian wastafel. Membenahi kemeja hitam katun di tubuhnya, sekiranya ada bagian yang kusut. Lalu menatap setiap detail wajahnya, menelisik bila ada setetes air yang merusak make up-nya.
"You are strong, Di," ucapnya memberi semangat pada diri sendiri.
Diara pun keluar dari toilet. Berjalan dengan langkah anggun dan memesona seperti biasa. Menghilangkan kekesalan yang dia pendam sejak tadi pagi.
Di lain tempat, Bandan sedang termangu tak percaya, mendengar penuturan Gina tentang apa yang terjadi pada atasannya.
"Denger-denger, kata salah seorang senior, selama kerja di sini, Mbak Diara enggak pernah dateng ke pesta valentine yang diadakan perusahaan. Lo tau kenapa?" bisik Gina.
Bandan menggelengkan kepala.
"Mbak Diara enggak punya pasangan buat dibawa ke pesta."
"Masa?" Bandan tak sanggup mengedipkan kedua matanya.
"Iya. Lo tau 'kan itu artinya apa?"
Bandan menggeleng kembali.
"Mbak Diara enggak pernah punya pacar."
"Mana mungkin? Dia 'kan cantik, pinter, terus ...." Bandan mengatupkan bibir, melihat Gina lagi-lagi mengedipkan mata berulang kali.
Lelaki itu menoleh ke sebelah kiri. Diara datang ke arahnya. Bandan terpaku, dadanya berdegub kencang. Keadaan yang sudah beberapa kali dia alami, ketika melihat Diara.
Wajah cantik, rambut ikal yang diikat tinggi, tubuh langsing berbalut kemeja katun hitam juga celana denim panjang ketat. Tak lupa, sepatu kittens heels hitam sebagai penunjang penampilannya.
Perasaan yang selalu muncul dan Bandan pertanyakan sendiri dalam hati. 'Rasa apa ini?', batinnya.
Hingga pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tidak menyadari, Diara sudah berdiri di hadapannya.
"Mbak ... Diara," gumam Bandan tak sadar.
"Sudah mengobrolnya?" Diara menatap datar Bandan.
"Su-su-dah," sahut Bandan.
Diara berdecih tak suka mendengar jawaban ambigu itu.
"Sudah, Mbak." Gina membantu menjawab. "Bandan, cepet minggir!" lanjutnya.
Jelas Bandan kaget, menyadari keteledorannya karena sudah duduk di kursi milik Diara. Ya, kursi mereka memang berdampingan. Dengan urutan Bandan, Diara dan Gina.
Diara membungkuk, mendekatkan wajahnya hingga berjarak 30 centimeter dari wajah Bandan. "Kamu, anak baru. Jangan bertingkah aneh. Atau aku adukan kamu sama Pak Yosep," ancam Diara. Lalu menoleh ke arah Gina. "Sebagai karyawan yang sedikit bekerja tapi terlalu banyak bergosip."
Gina menelan ludah mendengar Diara menyebut nama Kepala Dewan Redaksi. Keringat dingin mengucur dari pelipis. Satu tangannya bergerak menepuk paha lelaki yang sama sekali belum peka atas sikap Diara.
"Astaga, maaf." Bandan menganggukkan kepala. Kemudian bangkit dengan ragu karena takut mengenai kepala perempuan di depannya.
Diara berpaling, berdiri cepat dan menegakkan tubuhnya kembali. Dengan mata yang tak lepas mengiringi gerak Bandan. Setelah memastikan bawahannya itu duduk di tempatnya, dia pun duduk di kursinya. Menatap layar di depannya, memeriksa pekerjaan yang sempat tertunda.
Sementara itu, Bandan merasakan getaran hebat dalam dadanya. Terbayang wajah sang dewi, ketika berdesis di depannya. Hari ini sudah dua kali dia mendapat perlakuan seperti itu, dan rasanya selalu sama.
Akan ada kupu-kupu berterbangan di sekitar wajah Diara, kemudian satu kupu-kupu masuk ke dalam mata Bandan. Anehnya, tidak ada perih sedikit pun. Justru perasaan senang yang dirasakannya setiap kali Diara menatapnya dari dekat.
Bandan lupa, sejak kapan perasaan ini ada. Bila diingat lagi, memang sejak hari pertamanya masuk kerja tiga bulan lalu, Diara sudah sering memperlakukannya seperti itu. Akan tetapi, tidak hanya padanya. Hampir semua karyawan baik perempuan atau lelaki yang berada di bawah naungan divisi tempat Diara menjabat.
Entah bagaimana yang dirasakan oleh orang lain. Yang pasti, Bandan merasakan hatinya telah jatuh pada perempuan di sampingnya.
.
"Makan siang barengan, yuk!" Saskia, salah satu staf bagian Kontributor berdiri di samping meja Diara.
Tak ada tanggapan. Diara terus menggerakkan jemari di atas keyboard.
"Di," panggil Saskia lagi, sembari merundukkan kepala menatap wajah masam Diara.
Selama ini memang hanya Saskia teman sekantor yang bisa dibilang lumayan dekat dengan Diara. Itu karena mereka dulu satu jurusan di kampus yang sama.
Diara tetap membisu. Saskia menautkan alis. Kemudian berdiri tegak kembali, memerhatikan situasi sekitar. Mood Diara bisa dibilang gampang berubah, bahkan untuk hal sepele. Seperti suhu AC, gelas kosong ketika dia haus, atau komputer yang mendadak error.
Tatapan Saskia terhenti pada satu titik. Bandan mengangkat kertas persegi berukuran 10 x 15 centimeter. Perempuan yang tampak semakin cantik dengan dress biru dongker di tubuhnya itu pun seperti tersadar. Bandan tersenyum kecut, Saskia menanggapinya dengan kedipan mata disertai anggukan.
"Mau makan siang di mana?" Kali ini Saskia bertanya lebih lembut, yang lagi-lagi tidak mendapat jawaban dari Diara. "Ya udah, gue suruh OB buat beli, ya. Kita makan di sini. Gimana?"
"Saskia ...."
Merasa dipanggil, Saskia berpaling ke arah sumber suara. Sagara, Manajer Marketing itu berdiri di depan meja Diara.
"Pak Sagara. Mau makan siang?" tanya Saskia ramah.
"Iya. Mau barengan?" tawar Sagara.
"Masih nunggu Diara, Pak. Duluan aja," sahut Saskia ramah.
"Yah, Diara kayaknya enggak bakal makan siang deh, buat sebulan ke depan. Kayak tahun-tahun lalu." Sagara tersenyum sinis. "Tau 'kan, kalau tadi pagi undangan buat pesta valentine udah disebar ke semua karyawan?"
Saskia memaksakan tersenyum. "Iya, Pak."
"Nah, kalau udah begitu, sindromnya muncul. Diara pasti enggak bakal keluar kantor sebelum gedung ini kosong," tambah Sagara.
Diara menghentikan gerak jemari lentiknya. Baginya, memang sudah biasa Sagara bersikap seperti ini. Seperti yang sudah-sudah, lelaki berambut cepak itu akan mengejeknya habis-habisan. Akan tetapi, bukan Diara Oktavia namanya, jika membiarkan seseorang mengolok-oloknya, terlebih sosok seperti pria di depannya sekarang.
"Apa itu menjadi masalah serius untuk Anda, Pak Sagara?" Diara bertanya dengan nada tak acuh.
"Ya, buat saya pribadi sih, enggak masalah. Tapi ... buat Divisi Redaktur, sepertinya akan menjadi aib berkelanjutan. Masa editor mereka yang terkenal cantik dan seksi, sudah empat kali berturut-turut absen ikutan pesta. Kelihatan ... susah lakunya," ejek Sagara.
"Setidaknya saya tidak datang dengan pasangan yang berbeda setiap tahun," tukas Diara. Jemarinya kembali menari lincah di atas keyboard.
"Mereka yang minta, bukan aku," ucap Sagara dengan nada sedikit kesal. Merasa tersinggung atas perkataan Diara.
"Kalau begitu, belajarlah menolak. Jika perempuan yang bergonta-ganti pacar bisa disebut murahan, lalu bagaimana dengan lelaki yang suka berganti pasangan?"
Di luar ekspetasi. Biasanya Diara akan membalas ejekan Sagara dengan gertakan dan umpatan penuh amarah. Kali ini, perempuan itu membalasnya dengan santai dan tampak kurang peduli. Lain halnya dengan Sagara, emosinya mulai tersulut karena ejekan Diara.
Sagara menggeram. Kedua tangannya mengepal. Diara adalah satu-satunya perempuan yang dia sukai sekaligus dia benci. Dua perasaan yang selalu beradu. Antara ingin memiliki juga ingin mencaci.
Tanpa disangka Diara mematikan komputernya. "Ayo, Sas. Kita makan siang di kantin," ajaknya.
Saskia yang sedari tadi sudah terlihat cemas, merasakan lega seketika. "Ayo, gue udah laper banget."
Diara meraih tasnya. "Sama. Gue juga jadi laper banget kalau abis debat." Kemudian berjalan melewati Sagara.
Sagara mengumpat tak jelas, memerhatikan kepergian Diara dan Saskia. "Apa kamu lihat-lihat?!"
Bandan terperanjat. Dia kira Sagara tidak menyadari sedang diperhatikan. "Maaf, Pak. Saya mau ke toilet," pamitnya dengan wajah ketakutan.
"Terserah!" teriak Sagara dengan langkah kesal, berlalu dari meja-meja yang sudah ditinggalkan penghuninya.
Di dalam lift, Diara memukul-mukul dinding dengan kesal. "Sialan! Sagara Sebastian! Awas kamu! Tunggu pembalasanku!"
Saskia hanya menatapnya. Ini tidak aneh. Semua penghuni gedung sudah tahu jika Diara tidak pernah akur dengan Sagara.
"Bedebah! Dasar hama!" Diara belum berhenti memaki.
"Lagian kenapa kalian enggak balikan aja sih, jadi sahabat. Kalau dulu waktu SMA bisa deket, kenapa sekarang enggak bisa?" tanya Saskia.
Diara berhenti. Menatap ke arah depan, di mana terpantul bayangan tubuh tinggi langsingnya. "Itu dulu, sebelum dia jadi cowok playboy. Apalagi semenjak dia naik jabatan jadi manajer, gue eneuk lihat wajahnya."
Ya, dulu Sagara dan Diara memang bersahabat saat SMA. Kemudian kuliah di universitas berbeda. Namun, takdir kembali mempertemukan mereka dalam satu perusahaan.
Awalnya, walau terasa canggung, Diara dan Sagara tetap menjalin hubungan baik. Makan siang bersama, lalu pulang pun saling menunggu satu sama lain. Hingga di suatu hari Sagara menyatakan cinta, jelas Diara menolaknya. Entah kenapa sejak saat itu, sikap Sagara berubah 360°. Perlahan hubungan pertemanan berubah menjadi permusuhan.
Pintu lift terbuka. Diara merapikan penampilannya. Saskia berdecih melihat kelakuan temannya itu.
Keduanya melangkah bersama ke arah kantin yang terletak di lantai satu.
"Diara! Saskia! Sini!" Jennie melambaikan tangan. Perempuan lemah lembut yang menjabat sebagai Redaktur Pelaksana, itu artinya dia adalah atasan langsung Diara.
"Gimana, Di?" bisik Saskia. Ada Gio, Kenan dan Friska di sana. Tiga orang yang biasa disebut 'bermulut ember'.
Diara mengembuskan napas pendek. "Ya udah, lah. Enggak enak nolak juga."
Akhirnya Diara dan Saskia menghampiri meja itu, di mana semua sisinya sudah tampak terisi.
"Sebentar," ucap Gio, salah satu staf Koresponden memberi isyarat. Lalu mengambil dua kursi dari meja di sebelah. Menyimpannya secara terpisah di salah satu sisi yang dirasa masih cukup ruang.
"Terima kasih." Diara dan Saskia mengucap bersamaan.
"Yup." Gio duduk kembali ke tempatnya.
"Sudah pesan makanan?" tanya Jennie.
"Belum, Mbak." Diara menyahut. "Mau pesan apa? Biar gue yang ambil," lanjutnya. Menoleh ke arah Saskia.
"Salad ayam sama lemon tea."
Diara mengangguk. Kemudian undur diri untuk pergi menuju meja makanan.
"Denger-denger, pagi tadi dia marah-marah lagi?" tanya Gio. Dagunya terangkat menunjuk ke arah Diara.
Saskia tersenyum ramah. "Saya kurang tau, Mas Gio."
"Eh, kalian 'kan udah temenan lama. Kenapa kamu enggak tau, apa alasan Diara selalu menolak datang ke pesta valentine?" timpal Friska. Teman yang berada di satu divisi dengannya.
Saskia menggelengkan kepala. "Aku beneran enggak tau."
"Apa iya, gosip yang datang dari departemen sebelah. Katanya ... Diara punya ...."
Semua mata memandang ke arah itu. Kenan, lelaki blasteran itu menggantung kalimatnya.
"Diara ... enggak normal. Dia enggak suka cowok," sambung Kenan.
Semua orang yang berada di sana jelas terkejut.
"Siapa yang menyebar gosip itu?" Saskia bertanya cepat.
Kenan tertawa. "Enggak penting siapa yang mengatakan itu. Yang jelas, semua bukti menunjukkan jika itu benar. Coba, kalian ingat. Siapa perempuan yang enggak pernah terlihat jalan sama laki-laki?"
"Diara," sahut Friska dan Gio serempak.
"Semenjak masuk kerja lima tahun lalu, dia selalu menolak ajakan para lelaki yang secara sukarela menjadi pasangannya di pesta valentine. Itu artinya apa?" tukas Kenan lagi.
"Les ...." Kata-kata itu menguar seiring keterkejutan mereka.
"Bahkan, untuk membuktikan argumen itu. Pak Guntur sengaja ngajak dia kencan di hari weekend. Lagi-lagi ... Diara nolak mentah-mentah." Kenan menggelengkan kepala sambil berdecak.
"Kenan, jangan nyebar gosip yang enggak jelas, ya?" tegur Jennie.
"Enggak jelas gimana, Mbak? Ini berita terhangat lo, di departemen kita," tukas Kenan.
Saskia menatap tajam lelaki berambut coklat gelap itu.
"Hust, Diara datang," ucap Friska.
Diara berjalan tenang membawa nampan. Beberapa pasang mata meliriknya, lalu tersenyum. Hanya saja, dia merasa ada yang aneh dengan senyuman mereka. Akan tetapi, dia tak terlalu menanggapi. Toh, dia memang selalu menjadi pusat perhatian.
"Thanks," ujar Saskia ketika Diara menyimpan nampan di atas meja. Lalu mengambil makanan pesanannya.
Terdengar bisik-bisik selama Diara menikmati makan siangnya, tapi dia tak ambil pusing. Diara benar-benar butuh asupan nutrisi, karena tenaganya sudah terkuras akibat berdebat dengan Sagara.
Satu persatu penghuni kantin meninggalkan kursi, begitu pun meja tempat Diara duduk. Friska berpamitan. Sempat dia melemparkan senyum ke arah Diara. Pun Kenan dan Gio. Lagi-lagi, senyum mereka terasa aneh di mata Diara.
"Diara," panggil Jennie, setelah selesai menyantap habis makan siangnya.
"Iya, Mbak." Diara pun menjawab selepas menyeka bagian mulutnya dengan tisu.
"Pesta kali ini datang, 'kan?"
Diara tersenyum. "Saya kurang tau. Lagi pula ini 'kan baru tanggal 1, masih terlalu awal untuk memutuskan," dalihnya.
"Oh." Jennie menganggukkan kepala beberapa kali. "Ya udah, aku duluan, ya. Dah," pamitnya.
Diara menatap punggung perempuan itu. "Tumben nanya, biasanya dia enggak pernah nanya soal itu," ucapnya. Kemudian meneguk habis isi gelasnya. "Udah beres, Sas?"
Saskia terhenyak. "Ud-udah."
"Kenapa lo?"
"Enggak, kok. Yuk," pungkasnya. Meraih tas di atas meja, kemudian berdiri.
Diara menautkan alis. 'Apa ada yang salah? Apa ada hubungannya dengan pesta valentine itu?', batinnya.
Bisik-bisik terdengar ketika Diara memasuki ruang Divisi Redaktur. Beberapa karyawan bahkan menatapnya, lalu tersenyum.
'Senyum itu, seperti ... mengejek?', batin Diara. 'Apalagi sekarang? Apa masih dengan julukan Woman Alone?'.
"Dah," pamit Saskia.
"Ah, iya." Diara menjawab cepat. Kemudian melanjutkan langkah ke arah mejanya. Disimpannya tas di atas meja, lalu menjatuhkan tubuh di atas kursi.
"Mbak," panggil Bandan.
"Hmm?" sahut Diara sambil menyalakan komputer.
"Beneran itu?"
"Beneran apa?" Diara mulai menggerakkan mouse.
"Mbak Diara ... les ... bian."
Diara termangu. Tangannya berhenti bergerak. Lalu menoleh pelan ke arah Bandan. "What?!" pekiknya histeris.
"Sehabis makan siang tadi, gosip itu menyebar dari mulut ke mulut. Udah sampai ... ke semua divisi," papar Bandan.
Diara menatap sekelilingnya. Pantas saja tatapan orang-orang terasa aneh. Ternyata ....
'Ah, tidak!' jeritnya dalam hati.
*****
--bersambung--