webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · 现实
分數不夠
147 Chs

Soal Bertengkar Tak Perlu Risau

Hardiman membakar rokok. Meski di pinggir laut, tetapi udara di kawasan resort itu terasa segar dan dingin. Mungkin karena berada dekat kawasan perbukitan. Atau memang tengah lagi musim hujan.

Makanya makin nikmat hisapan rokok pria berkepala plontos sebagian itu. Bergulung-gulung asap putih keluar dari mulutnya.

"Bro. Bro!" teriak Hardiman setelah jarinya terasa panas oleh rokok. Tiba-tiba ia merasa tidak perasaan.

Hanjo datang. Sudah berganti pakaian. Pakai kaos dan celana Hawaii. "Sudah mandi, Bro?" tanya Hardiman. Hanjo menggeleng cengengesan.

"Tidak bisa ini Bro!" ujar Hardiman seraya menegakkan badan. Wajahnya tampak serius.

Hanjo segera melepaskan matanya dari layar HP. Ia pun balas memandang serius dengan mulut terbuka. Ada masalah apa lagi? Apa yang tidak bisa?

"Bingung aku sepi begini. Apalagi kita hanya berdua di sini. Terpisah pula pada masing-masing kamar. Bukan refresing kalau begini."

Hanjo tertawa. Dikiranya ada masalah lagi.

"Ini serius, Bro. Bagusan balik ke Jakarta dari sepi-sepi jauh entah di mana," keluhnya.

Hanjo melanjutkan tawanya. "Kalau itu soal sepele. Bentar lagi akan ramai di sini," ujarnya seolah yakin betul dengan perkiraannya. "Resort ini tampaknya saja yang sepi. Di sana juga pub. Ada karaoke. Bro mau nyanyi sampai pagi pun bisa. Juga ada sauna.

"Tahu dari mana?" tanya Hardiman.

"Ada infonya dalam kamar. Makanya ke dalam kamar dulu. Survei. Ada yang kurang tidak. Ada yang perlu dilengkapi tidak."

"Begitu begitu?"

"Lihat saja nanti."

Hardiman melanjutan hisapannya. Terdengar ia mengumamkan nyanyian.

"Soal bertengkar itu tidak perlu risau pula. Pasti ada wasit nanti yang akan melerai kita," tambah Hanjo.

"Melerai atau malah ikut berantam juga?

Hanjo kembali tertawa. "Bisa jadi kedua-duanya."

"Oke. Sekarang mandi. Setelah itu makan di restaurant. Udah keroncongan perut aku," ujar Hardiman seraya keluar dari kungkungan kursi kayu.

*

Ternyata Usman, karyawan resort, tidak menjual kecap. Tidak berlebihan promosi yang diutarakannya.

Banyak berjalan dan melihat, kawasan resort ini memang cocok untuk refresing. Hanjo dan Hardiman menyusuri jalan setapak di antara bentangan rumput jepang yang hijau. Di kedua sisi jalan dengan beton petak-petak tumbuh beragam bunga. Dengan bunga warna-warni.

Mereka sampai di bangunan restaurant. Bangunannya cukup besar. Apa puluhan meja besar dan kecil yang tersusun menarik. Bangunannya tanpa dinding. Hanya tertutup semeter di atas lantai. Selebihnya plong.

Duduk di bangunan restaurant yang agak lebih tinggi dibandingkan bangunan lainnya memang mengasyikan. Duduk di meja mana pun tetap terbuka pandangan mata ke laut. Juga akan terasa belaian angin darat yang bergerak menuju lautan. Dingin.

Hanjo dan Hardiman duduk pada salah satu meja yang semestinya untuk empat orang. Sebanyak kursi yang tersedia di empa sisi meja.

Terhidang menu makan malam yang dominan dengan seafood. Sesuai dengan letak resort. Tentu sangat mudah mendapatkan ikan-ikan laut.

Hardiman mengenali sejumlah menu yang ditata memenuhi meja. Seperti cumi saus tomat, lobster saus padang, kepiting lada hitam, steak kakap, tenggiri asam pedas. Juga ada salmon sambal kecombrang, tahu bayam saus tiram, steam omelet dan dadar telur cah tauge. Beberapa menu lainnya tidak dikenalnya.

"Ayok Bro. Kenapa bengong?" ajak Hanjo.

Tanpa menunggu waktu lagi, kedua sibuk dengan piring masing-masing. Hardiman tampak lahap dengan ikan-ikan yang memang menjadi menu favoritnya. "Habiskan saja, Bro. Jangan malu-malu," sebut Hanjo yang menumpuk lobster dan ikan di atas piringnya. Hardiman mengangguk-angguk mengiyakan.

Tak lama, keduanya tampak terkapar kekenyangan. Menu yang semula tertata rapi kini tampak porak-poranda.

Ternyata cukup banyak juga yang bermalam di resort. Setidaknya itu tampak dari ruangan makan yang ramai.

Dalam lirikan Hanjo beberapa kali, ia tidak mengenali tamu-tamu resort lainnya. Dan mereka pun tidak kenal dengan Hanjo. Suatu hal yang bagus dan sangat diharapkan Hanjo. Dengan demikian, ia tidak mesti sungkan-sungkan. Tidak harus menjaga wibawa. Toh, sama-sama tidak saling kenal.

"Jangan tidur, Bro. Masih banyak agenda kita malam ini," ujar Hanjo mengingatkan.

"Tentu tidak," jawab Hardiman seraya memperbaiki duduknya. Ia merasa tidak nyaman duduk di kursi meja makan yang kaku.

Dipanggilnya pelayan. "Kalau tempat duduk yang lebih santai di mana?" tanyanya. "Kaku sekali duduk di meja makan ini."

Si pelayan mengangguk paham. "Mari saya antara ke sana, Bapak," ucapnya.

Turun dari bangunan restaurant, mereka berjalan ke arah utara. Tak beberapa jauh. Sampai di bangunan lepas tanpa dinding juga. Atapnya jauh lebih rendah. Tidak kuat lagi angin. Sangat temaram suasananya. Hanya ada lampu-lampu kecil beragam warna terpasang di tiang-tiang. Kursinya lebih santai. Kursi rotan yang lebar.

"Ini baru tempat yang oke, Bro," tutur Hardiman setelah duduk. "Suka aku tempat macam ini."

Tidak itu yang membuat Hardiman senang. Tetapi peralatan organ tunggal yang ada di ujung bangunan. Terlebih lagi ada penyanyi yang tengah mengalunkan tembang di sana.

Hanjo mengedarkan mata. Seperti ada yang kurang. Ya, ya. Mendengarkan tembang tentu akan terdengar sumbang bila tidak ditemani segelas bir dengan sebungkus kacang.

Anehnya, sebelum Hardiman mengangkat tangan atau menghidupkan mancis untuk memanggil pelayan, dua orang gadis datang ke meja. Mereka membawa dua botol bir dan dua gelas.

"Selamat malam, Mas Hanjo dan Bang Hardiman. Saya Inge dan itu Meisa," ujar wanita muda, 21 tahun setelah meletakan botol bir dan gelas di atas meja.

Wanita bergaun pendek merah hati yang mengaku bernama Inge duduk di sebelah Hanjo. Sementara yang rambutnya sebahu, bergaun pendek juga warna biru campur merah, duduk dekat Hardiman.

Hardiman bengong. Di mana ia kenal nama aku? Diliriknya dengan sudut mata. Cantik. Putih mulus dengan hidung tipis. Bibir bulat penuh berisi. Bodi semampai. Gaun yang dipakai sepertinya agak kekecilan. Tergambar dengan tegas lika-liku gunung atau bukit yang tersembunyi di baliknya.

Namun tidak demikian dengan Hanjo. Ia berusaha menyimpan senyumnya. Pastilah Marlon yang memberi tahu. Tidak masalah. Dan tak perlu dimasalahkan. Hanjo kemudian mengulurkan tangannya. "Kamu namanya siapa?"

"Saya Inge, Mas Hanjo," jawab gadis berambut pendek.

"Dan kamu Meisa!" tunjuk Hardiman pada gadis di sebelah kirinya.

Gadis ia mengerlingkan mata. "Iya, Bang."

Meisa menuangkan bir ke dalam gelas. "Manalah cukup dua ini. Ya kan?" tanyanya menoleh pada Hardiman. Pria itu tersenyum dengan anggukan.

"Kalian saja yang salah bawa. Kenapa cuman dua."

Inge tersenyum. Ia melambaikan tangan. Seorang pelayan datang. Ia membisikan sesuatu pada pelayan dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu.

"Mesti banyak minum. Dingin begini," ujar Inge pula sambil mengapitkan kedua tangan dan mengangsur duduk ke dekat Hanjo. Hanjo pun balas makin mendekat pula. Hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.

Seakan tidak mau kalah, Meisa pun duduk mendekati Hardiman. Hal itu dilakukannya seraya mengambil rokok Hardiman. "Pingin coba juga rokok kreteknya. Bolehkan?"