webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · 现实
分數不夠
147 Chs

Pasti Ada Maksud Tertentu

"Barusan aku jumpa Marten," ucap Melina memberitahu.

"Marten siapa?"

"Itu yang jumpa kemarin. Adik temannya yang di Surabaya itu."

"Oh, dia."

"Iya dia. Bersama pacarnya itu lagi."

"Apa menariknya?" tanya Lucya heran.

"Entah apa ya. Tapi aku merasa tertarik saja sama pasangan itu," aku Melina yang juga heran dengan ketertarikannya. Ia pun tidak tahu apa hal yang menariknya. Mungkin karena keserasian mereka. Mungkin karena kemesraan mereka.

"Mereka sama-sama kuliah. Anak muda. Pacaran. Lalu apa menariknya?"

"Bukan soal itu?"

"Lalu?"

"Aku seperti tertarik mengenal mereka lebih jauh," kata Melina pula.

"Yang cowok atau cewek?"

"Kedua-duanya."

Lucya mengibaskan tangan. "Ah, tidak menarik kalau itu. Ganti cerita lain."

"Oke," Melina meraih gelas dan minum lagi. "Aku dah jumpa dengan Hardiman di Batam. Menarik juga dia. Bermarga Pulungan. Tapi wajahnya Pekalongan," ujar Melina memulai penjelasannya.

Lucya mengerinyitkan dahi. "Aduh, menarik lagi. Pulungan dan Pekalongan apa pula hubungannya?"

"Dia Batak tapi bertampang Jawa. Marga Pulungan tapi wajah Pekalongan."

"Kurang lucu itu. Terus..."

"Dia mau membantu kita. Tapi aku belum bisa percaya seratus persen. Dia sepertinya masih setengah hati. Dia dekat sekali dengan Hanjo. Mereka berkawan dari SMA. Agaknya berat bagi dia berkhianat pada Hanjo."

"Kamu bilang, bila tidak mempan cara lunak maka dengan injak kaki. Cara keras. Kenapa tidak lakukan itu?"

"Betul. Itu akan kita laksanakan nanti. Sekarang aku cerita apa yang sudah dilakukan. Belum bicara soal hasil," ujar Melinda serius.

"Oke. Lalu?"

"Hardiman itu mengaku sudah mengurangi pertemuannya dengan Hanjo. Tidak akan membantu lagi. Tapi pengakuannya lagi, ia tidak bisa langsung memutuskan kontak."

"Berarti belum bisa dipastikan posisi dia?"

"Sudah juga walau belum sepenuhnya. Waktu pertemuan di kantor natoris dengan Hanjo itu, dia mengaku sengaja tidak ikut dengan alasan ada tugas di luar kota. Padahal dia di Jakarta. Tidak tidak datang dengan maksud tidak memberikan advis pada Hanjo," ungkap Melina menjelaskan pengakuan yang diterimanya dari Hanjo.

Diakui Lucya, Hardiman memang tidak ada sewaktu ia berjumpa Hanjo di kantor notaris. "Nanti aku cerita soal pertemuan di kantor notaris itu. Sekarang lanjutkan cerita yang di kamu dulu."

"Aku sudah siapkan orang untuk memantau Hanjo setiap hari. Akan segera diketahui gerak-geriknya. Bakal diketahui juga bagaimana posisi Hardiman yang sesungguhnya. Apa betul dia menjaga jarak dengan Hanjo atau tidak," jelas Melina.

Ditambahkan Melina lagi, "Mengikuti gerak-gerik Hanjo setiap hari penting dilakukan karena keberadaan Hardiman yang masih diragukan itu. Kita masih memberi waktu padanya. Bila tidak ada dampak positifnya, kita segera mengambil sikap."

"Siapa orang yang kamu siapkan?"

"Kawan aku SMA dulu."

"Mampu dan bisa dipercayai?" Bukan meragukan orang yang dipakai Melina. Tapi pengalaman Lucya, kemampuan saja tidak berguna bila tidak dipercayai.

Melina mengangguk. "Aku kenal dia," sebutnya. "Besok dia sudah mulai kerja."

Lucya menyampaikan dukungan dan persetujuannya meski ia belum kenal dan masih ada keraguan.

"Lalu bagaimana pertemuan dengan notaris itu?" tanya Melina kemudia.

Lucy menceritakan perrtemuan dirinya dengan Hanjo di kantor notaris Herawati Aida. Diceritakannya dengan lengkap dan detail.

"Jadi hanya rumah kecil dan mobil tua itu yang diberikan Mami kepadanya? Wah, syukur sekali." Melina tertawa panjang. "Bagaimana tanggapan dia?" tanyanya.

Melina yang bisa menggambarkan bagaimana kecewanya Hanjo. "Pasti sangat terpukul dia."

"Sepertinya dia menerima. Tidak kelihatan perlawanan atau ketidaksenangan," ujar Lucya seraya mencoba mengingat-ingat kembali sikap penerimaan Hanjo. Memang tidak terlihat keterkejutan yang luar biasa. Ia seakan menerima dengan tenang.

"Tidak mungkin dia bisa menerima begitu saja. Pasti dia akan melakukan sesuatu. Tampangnya yang diam menerima. Tapi otak culasnya pasti bekerja," kata Melina. "Mudah-mudahan segera diketahui apa yang akan dilakukannya itu," tambahnya.

"Itu makanya aku bertanya soal kemampuan. Juga kepercayaan terhadap orang yang kamu rekrut itu," ulang Lucya.

"Aku percaya padanya. Dia juga mampu."

"Semoga begitu."

"Dalam surat wasiat itu hanya soal pemberian mobil dan rumah. Tidak ada soal lain?" tanya Melina seakan tidak yakin hanya itu yang berikan Mami untuk pria itu.

"Hanya dua hal itu dalam surat wasiat tersebut," kata Lucya memastikan.

"Artinya tidak ada masalah? Dia bisa menerima?"

"Tidak ada masalah," jawab Lucya seraya menyebutkan bahwa notaris akan segera melakukan proses penyerahan kedua barang itu kepada Hanjo. "Tinggal menunggu waktu penyerahannya saja."

"Kalau begitu sudah bisa dilanjutkan dengan melihat surat yang ada sama Om Bernard? Semoga Mami memberikan semua hartanya untuk kita.

Lucya menyebutkan tidak hal yang menghalangi lagi. "Bisa. Tinggal konfirmasi sama Om Bernard dan Hanjo kepada waktu yang bisa disepakati. Kita bersedia kapan saja."

"Kakak yang menghubungi Om Bernard dan Hanjo. Kita berbagi tugas. Aku yang menangani soal pemantauan terhadap Hanjo. Keduanya harus berjalan segera."

Lucya mengangguk setuju.

*

Pagi-pagi sebelum jam sibuk kantor, Lucya menghubungi Hanjo via HP. Dalam perkiraan Lucya, Hanjo tengah dalam perjalanan ke kantor. Dari Mami ia tahu, Hanjo sangat tepat waktu. Baginya tidak ada alasan karyawan terlambat sampai di kantor. Harus on time. Dan ia pun selalu memperlihatkan sikap yang tepat waktu.

Begitu didengarnya nada HP tersambung, Lucya segera berkata tanpa didahului salam selamat pagi atau pertanyaan basa-basi, "Kapan ada waktu melihat surat wasiat yang ada di kantor Om Bernard?" tanyanya.

Lucya diam mendengarkan suara Hanjo.

"Tidak bisa dicari jadual yang lebih cepat? Om Bernard dipastikan bisa hingga pertengahan bulan. Setelah itu ia lebih banyak ke luar daerah. Susah mencari jadualnya bisa pas dengan kita," sebut Lucya lagi.

Lucya kembali mendengarkan.

"Jadi kapan bisanya?" tanyanya.

Lucya diam.

"Kenapa belum bisa dipastikan?" tanyanya lagi dengan nada suara lebih tinggi.

Lucya mendengarkan. Wajahnya terlihat tegang.

"Aduh. Bagaimana belum bisa dipastikan? Kan tinggal disesuai jadual yang sudah ada dengan waktu yang tersedia. Kok, susah betul sih?"

Lucya kembali diam.

"Itu bukan urusan aku. Aku ingin, seperti Anda juga, persoalan yang berkaitan di antara kita segera diselesaikan. Sebagian sudah klear. Tidak sebagian lagi yang belum. Aku harapkan ada kejelasan segera," tegas Lucya memutuskan sambungan.

Ia merasa jengkel. Hanjo mengaku tidak bisa memutuskan kapan ada waktu pergi ke notaris untuk melihat surat wasiat yang dibuatkan Moina Monaga yang berkemungkinan isinya pesan-pesan untuk anaknya. Banyak saja alasannya.

"Kenapa, Kak?" tanya Melina melihat wajah kakaknya yang suntuk.

"Banyak pula alasannya. Begana-begini. Belum punya waktu dia."

"Untuk melihat surat wasiat itu?"

"Iya. Itu yang kubicarakan. Bukan soal lain,"

"Lalu kapan ada waktunya?"

"Belum ada waktu, katanya."

"Tidak bisa kita menunggu saja. Kita harus desak dia. Bagaimana caranya agar masalah dengan dia itu cepat tuntas," tegas Melina.

"Pasti ada maksud tertentu dia. Mengulur waktu untuk mempersiapkan sesuatu," tambah Melina menyampaikan dugaannya.