webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · 现实
分數不夠
147 Chs

Mereka Seperti Cacing Kepanasan

Meski kepalanya sudah mulai panas dan berat, namun Hanjo masih mampu mengendalikan isi kepalanya. Mestinya tidak perlu ke sini. Bercampur dengan banyak orang. Toh di kopel mereka sudah tersedia semua. Mini bar, karaoke dan fasilitas refresing lainnya.

Tetapi Hanjo tidak pula menyalahkan diri. Tentu beda suasananya berhibur di diskotik dan pub dengan banyak orang. Ada kelebihannya juga. Bisa menonton dan ditonton orang lain.

Hanjo dan Hardiman menurut saja ketika Inge dan Meisa menggandeng mereka. Kembali ke kamar.

Bukan masuk kamar. Melainkan ke ruangan karaoke. Kedua gadis itu sudah akrab dengan peralatan yang ada. Mereka yang mengaktifkan dan mengutak-atik. Tidak perlu operator resort.

Ternyata, fasilitas di ruang berukuran 4x6 meter itu tidak beda jauh dengan diskotik. Juga punya lampu yang berkedap-kedip. Ada pula LCD tivi berukuran besar. Tersedia dua set sofa. Minuman berbagai merek pun sudah stand by dalam lemari kaca.

Hardiman duduk pada salah satu sofa. Sementara Hanjo di tempat lainnya. Tawa Hardiman terdengar mengakak. Bahkan kian bertambah lebar ketika house music berdentum dan kedua gadis itu mulai bergoyang.

Inge memberi kode mengajak Hanjo bergoyang. Namun pria bertampang macho itu menggerakkan tangannya. Memberi kode: masih capek. Hanjo menyandarkan punggung dan merentangkan kedua tangan di atas sandaran sofa.

Hardiman mau berdiri. Kaki dan tangan terasa gatal lagi. Namun ia kembali mendaratkan pantatnya ketika dilihatnya gerakan tangan Inge. Dengan tetap bergoyang mengikuti hentakan musik, ia menekuk tangan kanan. Ia seperti menjangkau sesuatu di belakang pundak. Lama tangan kanan tersangkut di belakang.

Dengan tetap tertawa ia kemudian membelakangi Miesa. Gadis berambut pendek itu menyodorkan punggungnya. Miesa paham. Dengan gerakan tangan yang cepat, ia melakukan tarikan. Dari atas ke bawah.

Dalam hitungan detik, tanggal semua apa yang membalut tubuhnya. Gaun pendek berwarna merah menyala itu berpindah. Teronggok di atas lantai. Inge dan Meisa tertawa berderai. Kedua tetap bergoyang.

Melihat pemandangan itu mata Hanjo pun terbelalak. Seperti mau meloncat ke luar. Hanjo menarik punggungnya dari sandaran sofa. Ia duduk tegak lurus. Ia lupa tertawa.

Sebelas dua belas dengan Hardiman. Tidak saja matanya yang membulat. Rahangnya juga terlihat mengeras. Tapi ia tidak lupa dengan tawa. Meski tipis.

Jenak berikutnya ditelannya kembali tawa itu. Sebab mulutnya ternganga melihat Meisa melepaskan pula yang melekat di tubuhnya. Ia sendiri yang melakukan tanpa minta bantuan sama Inge. Kini hanya tersangkut dua kain berwarna senada. Merah maron.

Kian berderai tawa keduanya. Mereka seperti cacing kepanasan. Menerjang dan menggeliat saling berangkulan. Atau memutar-mutar kedua ujung bahu seraya membungkukkan badan. Membuat dua gunung di tengahnya seperti mau lepas dan jatuh.

Hardiman kehabisan kata menggambarkan apa yang terpampang tiga meter di depan matanya. Tidak perlu digambarkan. Dinikmati saja, kilahnya. Atau sekalian dilakoni.

Diakui Hardiman, tidak berlebih penilaian Inge dan Meisa perihal penampilan empat cewek di diskotik barusan. Pertunjukan yang ditampilkan kedua gadis ini sekarang satu level di atasnya. Bahkan mungkin dua level.

Lihatlah. Bagaimana Inge dengan tubuhnya yang semampai namun padat berisi meliuk bagai layangan yang kehabisan angin. Bergerak ke kiri dan kanan mencari angin. Meliuk-liuk seakan menghindari senggolan di kedua sisi pinggangnya yang ramping. Beberapa kali ia mesti membetulkan lilitan tali merah di kedua bahunya. Ikut bergerak karena yang sesuatu terbungkus di dalamnya terguncang-guncang bagai diterjang angin kencang.

Meisa yang lebih rendah dan tubuh lebih semok mengimbangi dengan gerakan kepala. Kepalanya bergerak lincah. Seperti mencari-cari sesuatu di tubuh Inge yang hendak ditelan. Disedot. Atau sekalian diterkam.

Hardiman tidak mampu menahan diri. Kakinya kian gatal. Jangannya terasa kesemutan. Lewat gerakan kilat Hanjo melepaskan kemeja. Dengan berkaos oblong ketat ia melompat. Inge dan Meisa bersorak riuh. Keduanya mengembangkan tangan menyambut kedatangan Hardiman.

Hardiman tidak perlu banyak gerak. Cukup menghentak kaki, mengoyangkan kepala dan tangan. Jangan berlebihan. Sebab dari kedua sisi, tangan Meisa dan Inge siap menggeranyangi.

Hanjo melihat saja dengan mata nanar. Kepala dan badannya seakan berat dibawa berdiri. Tidak terbelak lagi matanya. Sudah bisa tertawa ia. Sudah bisa menikmati. Ia justru sudah ingat untuk membakar rokok. Duduk dengan nyaman sambil menghembuskan asap rokok menikmati pertunjukan.

Inge membiarkan Meisa yang terus mendesak Hardiman dengan liukan. Hingga pria tersandar di sudut dinding. Tidak bisa melepaskan diri. Dan pria itu gelagapan ketika tiba-tiba ia mendapatkan tubrukan. Tubrukan yang cepat. Namun terasa lembut dan hangat.

Tetap bertahan duduk ternyata pilihan Hanjo yang sangat tepat. Sebab, kemudian Inge yang datang mendekatinya. Tidak mengajaknya bergoyang. Tetapi gadis malah melemparkan tubuhnya. Bukan ke atas sofa. Ke pangkuan Hanjo.

*

Hanjo menggeliat. Tulang-tulangnya terasa lepas. Untuk menggerakan badan pun sangat susah. Ia membuka mata. Mengerjap-ngerjap beberapa kali. Hanjo baru menyadari ia tengah terbaring. Ditengoknya ke kiri dan kanan. Tidak ada orang. Ia sendirian.

Hanjo menghela badan menarik kakinya. Mencoba duduk. Untuk bersandar pada ujung spring bed. Tidak mudah. Ia mesti mengerahkan semua tenaga.

Hanjo merasa kepalanya berat. Berat sekali. Matanya juga terasa perih. Ia menjangkau botol air mineral. Telannya beberapa tegukan. Terasa lapang dadanya. Diteguknya lagi.

Apa yang telah terjadi? Hanjo memukul-mukul kepalanya. Seperti membangunkan pikirannya. Mencoba mengingat-ingat apa yang sudah dilakukannya. Kenapa ia baru terbangun? Jam di dinding menjukkan pukul 11.20 WIB.

Kepalanya masih berat. Badannya juga masih susah bergerak. Tak ada yang teringat. Hei, kenapa ini?

Dijangkaunya kembali botol air mineral. Tidak diteguk. Melainkan dibarutkan ke wajahnya. Hanjo membasuh muka. Ia tidak peduli air itu kemudian membasahi pangal kakinya yang tidak mengenakan apa-apa. Membasahi spring bed.

Ditelannya air mengucur di atas bibir. Hanjo menggeleng cepat. Berkali-kali. Berhenti. Lalu menghirup udara untuk kemudian menghembuskan nafas panjang.

Kepalanya terasa ringan. Ingatannya berangsur pulih. Ia ingat dengan pub. Minum bersama. Berjoget di diskotik. Lalu pindah ke ruang karaoke. Semalam aku bersama mereka. Tidak sendirian. Tapi di mana mereka?

Diedarkannya mata ke segenap penjuru kamar. Tidak terlihat tanda-tanda ada orang lain bersamanya. Aku sendirian. Tidak ada orang lain.

Hardiman. Ya, Hardiman. Di mana dia? Teriak Hanjo dalam hati ketika kemudian ingatannya memunculkan wajah temannya itu. Di kamar sebelah? Betul. Di sebelah.

Hanjo melompat berlari menuju pintu. Langkahnya terhenti di depan pintu. Ia tertawa miring. Ia kembali ke ujung spring bed. Dijangkaunya celana Hawaii yang tergeletak di lantai. Dengan langkah panjang itu ke luar kamar.

Benar. Sudah siang memang. Udara di luar terasa panas menyengat. Tak dipedulikannya. Ia segera menggedor pintu kamar Hardiman. Berkali-kali. Tidak ada respon. Digedornya lagi. Lebih kuat. Tak terbuka juga pintu. Tidak hanya menggedor pintu, Hanjo pun berteriak. Memanggil nama Hardiman. Berulang-ulang. Tidak ada respon juga. Hei, ke mana dia?