webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · 现实
分數不夠
147 Chs

Menghilang Usai Memuaskan

Pasti mereka punya tujuan tertentu. Ada agenda yang telah mereka mainkan. Tapi apa itu?

"Tidak mungkin itu, Bro," tanggap Hardiman usai mendengarkan jalan pikiran kecurigaan Hanjo.

"Tapi kenapa mereka menghilang begitu saja?" Menghilang setelah memberikan kepuasan. Aneh bukan?"

Muncul pula kecurigaan lain di kepala Hanjo. Wajahnya menegang. Ia seperti ketakutan.

"Bro, segera ke kamar. Periksa barang-barang. Tas, dompet, celana. Semua. Aku curiga mereka melakkan sesuatu pada kita. Aku juga akan periksa di sini," ujar Hanjo tergesa.

Di kepalanya tergambar sesuatu telah terjadi. Dan ia kehilangan semua barang-barang berharga. Pikiran semacam itu pun masuk ke kepala Hardiman. Ia pun berlari ke kamarnya.

Dengan tangan gemetar Hanjo membuka tas tangan. Ternyata lengkap isi tas kulit made in Perancis berwarna coklat tua itu. Diperiksa tas. Juga tidak ada yang hilang. Isi dompetnya pun masih utuh. HP, tablet, kacamata, jam tangan, ATM, kartu kredit dan barang-barang berharga lainnya masih ada. Tidak ada yang hilang.

Tak puas. Diceknya kembali. Semuanya. Satu per satu. Setelah itu ia bernafas lega. Dipastikannya tidak ada yang hilang.

Hardiman yang kemudian datang juga melaporkan hal yang sama. Tak ada barang-barangnya yang raib.

Hanjo dan Hardiman berangsur tenang. Tidak terjadi sesuatu yang ditakutkan. Namun rasa penasaran Hanjo belum hilang. Ia malah menjadi bingung.

"Tidak terjadi hal-hal buruk. Jadi tak perlu dipikirkan betul," sebut Hardiman.

"Tapi aku masih penasaran. Heran."

"Bisa saja kedua cewek itu kesepian. Butuh refresing. Mereka perlu hiburan. Jumpa dengan kita. Lalu terjadilah semua itu. Setelah bersenang-senang, setelah merasa hepi lagi, mereka pergi begitu saja. Bisa jadi kan?"

"Tunggu. Tunggu..." ujar Hanjo tanpa melanjutkan ucapannya.

Ia ingat sesuatu. Cewek-cewek itu bukan orang datang kebetulan. Ia sudah booking pada Marlon. Cewek-cewek itu adalah wanita yang dipasok Marlon. Tapi kenapa perangai mereka aneh begitu?

Hanjo meraih HP. Dihubunginya Marlon. Rekan bisnis Hanjo yang menekuni dunia entertaint dan hiburan malam. Aduh! Tidak tersambung pula. Dihubunginya lagi. Tetap tidak tersambung. Nomor HP yang dihubunginya tidak aktif.

"Cewek-cewek itu aku booking. Jadi tidak bisa mereka sesukanya. Aku booking selama kita di sini. Bukan satu malam saja," jelas Hanjo yang kepalanya kembali terasa berdenyut-denyut.

"Aku hubungi bos mereka, HP-nya tidak aktif pula. Tidak bisa dibiarkan ini."

"Tapi ada kemungkinan cewek-cewek itu bukan orang yang dikirim. Kalau yang dikirim pasti mereka melaksanakan tugas sampai selesai," tutur Hardiman menyampaikan pikirannya.

"Bisa juga. Tapi saat mereka datang ketika berada di pub, mereka sudah tahu nama kita. Aku pikir saat itu diberitahu sama Marlon."

Hanjo makin penasaran. Dihubunginya kembali Marlon. Tidak tersambung juga.

Seorang karyawan resort datang. "Maaf, Bapak-bapak. Makanan siangnya di antar ke sini? Apa Bapak-bapak mau makan di restaurant?" tanyanya.

"Antar ke sini saja," jawab Hanjo.

Petugas itu mengangguk dan berlalu. Namun dipanggil Hanjo.

"Kamu tanya ke respsionis ada tidak tamu yang bernama Inge dan Meisa menginap di sini. Pastikan juga ada tidak bon mereka. Atau nitip pesan apa," suruh Hanjo pada petugas itu.

"Baik, Bapak," ujar petugas itu.

"Jadi kacau acara kita," keluh Hanjo menggelengkan kepala.

"Tidak sepenuhnya kacau. Toh sudah sama-sama kita nikmatinya juga," kilah Hardiman.

"Tapi aku dirugikan, Bro. Aku sudah bayar penuh semua. Macam ini kejadiannya."

"Santai saja, Bro. Toh, kita masih dua malam lagi di sini. Iya kan? Masih banyak yang bisa terjadi. Dunia ini tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan kita," ujar Hardiman dengan pikiran positifnya.

Jadi pemikiran bagi Hanjo. Apa yang sesungguhnya terjadi? Benarkah mereka bukan cewek yang dikirim Marlon? Lalu siapa mereka? Kenapa pergi menghilang begitu saja? Apa tujuan mereka?

Tak berselang lama, petugas resort kembali datang. "Maaf, Bapak Hanjo. Tidak ada tamu bernama Inge dan Meisa yang menginap di sini. Tidak ada juga pesan atau bon mereka," jelasnya.

Hanjo berdehem mengiyakan.

"Karyawati di sini ada yang bernama Inge atau Meisa?" tanya Hardiman pula.

Si petugas resort menggeleng. "Tidak ada, Bapak. Oh ya, makan siangnya sudah tersedia, Bapak-bapak," tuturnya.

Hanjo tidak berselera makan. Tapi perutnya keroncongan. Sudah terdengar bernyanyi beberapa kali. Dipaksanya tangan mengambil sendok dan menyuap nasi. Sebaliknya, Hardiman tetap makan dengan lahap. Menu makan siang sangat sesuai dengan seleranya.

*

Hanjo mengembangkan tangan dan mengayuh air seperti kupu-kupu. Ia berenang dengan lamban. Tidak bisa berenang kencang. Kolam renangnya tidak memungkinkan. Kolam renang pendek. Berukuran 4x4 meter. Sekali kayuh saja sudah sampai di ujung.

Meski kecil namun air kolam sangat jernih dan dingin. Tampak jelas dasar lantai. Ubin hijau muda bergambarkan bunga-bunga. Pemandangan di sekitar kolam jauh lebih bagus. Di selatan tampak teras bangunan resort yang asri dan artistik. Sementara bagian barat dan timur terhampar halaman ditumbuhi rumput Jepang. Dibatasi pagar tanaman dengan bangunan resort lainnya.

Pemanangan terbaik terlukis di bagian utara. Terhampar lautan biru. Kolam renang yang terbenam dalam tanah masih masih berada di ketinggian. Tidak sampai terjangkau genangan air laut. Batasan tidak pantai. Tapi berupa beton batu alami. Tak berpantai, lautnya tentu tah berombak.

Berenang mengelilingi kolam beberapa kali, Hanjo naik. Duduk pada kursi rotan yang terhampar. Pemandangan ke arah lautan sangat menarik. Terlihat air laut yang dalam membiru. Puncak hamparan laut itu berayun-ayun di tiup angin.

Hardiman entah di mana. Dia mengaku tidak pandai berenang. Ia sangat malas diajak mendekati kolam renang. Bagusan aku di kamar. Nonton televisi atau apa, kilahnya ketika diajak Hanjo.

Hanjo duduk santai sendirian. Menikmati minuman teh tarik hangat bersama semangkuk salad buah. Ia setuju dengan pikiran Hardiman. Dunia ini tidak sepenuhnya mesti sesuai dengan pikiran kita. Makanya tidak menjadi pikiran lagi olehnya dua cewek misterius yang raib usai memberi banyak kepuasan.

Angin sore yang bertiup gemulai dirasakan Hanjo seperti usapan lembut tangan yang membelai. Membelai dan mengusap seluruh tubuhnya. Terasa nyaman dan menyenangkan. Hanjo menikmatinya. Ia bahkan menikmati dengan sepenuhnya sambil memejamkan mata.

"Selamat sore, Mas Hanjo," terdengar sapa seseoang dari samping kanan. Hanjo membuka matanya.

Seorang gadis. Bercelana jeans ketat. Memakai sweater dengan warna senada celana. Gadis itu membuka kacamata hitam. Tersenyum. Manis sekali. Kelihatan bibir merahnya merekah. Ada dua lesung pipit di kedua ujung pipinya. Rambutnya sebahu bergerak ditiup angin.

Hanjo menggosok mata. Ia meragukan pandangan matanya. Hanjo segera menegakkan badan. Duduk lurus. Ditolehkan lagi ke arah kanan. Gadis itu kembali tersenyum.

"Aku Rere, Mas. Anggotanya Bang Marlon," sebutnya dengan suara mendayu.

Marlon? Hanjo tesentak. Ia menurukan kedua kaki dari atas kursi rotan panjang. Memindahkan kaki dan memandang sepenuhnya pada gadis bertubuh ideal untuk seorang wanita. Ditelusurinya lagi mulai dari bawah hingga ke atas. Dari kaki hingga ke ujung rambut.

"Kamu anggotanya Marlon? Marlon Brandon?" tanya Hanjo memastikan.

"Ya, Mas. Aku barusan dari Jakarta. Disuruh ke sini oleh Bang Marlon untuk menemani Mas," sebutnya lagi. Masih disertai senyuman dan lesung pipit.

Hanjo terpana. Ia merasa didatangi bidadari dari nirwana. Sungguhkah?