webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · 现实
分數不夠
147 Chs

Mengaku Saling Tak Ada di Kamar

Hanjo mendengar pintu berderit. Terkuat. Matanya seakan mau meloncat ketika dilihatnya seseorang nongol dari balik pintu. Mulut Hanjo ternganga. Badan terpuruk ke sandaran sofa. Ia melepaskan nafas.

Betul. Tidak salah matanya. Memang Hardiman yang keluar dari pintu. Pakai singlet putih dan celana pendek. Tampak perutnya membuncit. Ia berjalan seraya menggosok rambut dengan handuk.

Mendekati ruang tamu dengan tawa cengengesan. "Ngapo sendirian di situ, Bro?" tanyanya ketika dilihatnya Hanjo duduk bengong sendirian.

Hanjo ingin menyeburkan muka pria itu dengan hardikan. Makian. Dan sumpah serapah. Namun amunisi kemarahan yang sudah menggumpul di ujung mulutnya seperti tersangkut. Tidak bisa ke luar. Melihat raut wajah yang tenang, klimis dan seakan tanpa dosa. Surut ke dalam kejengkelannya.

"Ngapo bengong?" usik Hardiman lagi.

Hanjo tersenyum miring. Belum didapatkanya kata apa yang mesti diucapkan.

Hardiman duduk di sofa sebelah kiri Hanjo. Ia mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana. "Wuih, semalam itu enak tenan, Bro," ujar Hardiman. Ditundanya membakar rokok. "Dua jempol ini untuk Bro. Mantap!," ulasnya seraya mengacungkan kedua jempol tangan.

"Apanya mantap?" tanya Hanjo seadanya.

"Semuanya. Perfek sekali!"

Hanjo menanggapi dengan seulas tawa. "Kenapa baru bangun sekarang. Aku sudah gedor-gedor dari tadi."

Hardiman terkekeh. "Keindahan itu mesti diresapi, Bro. Dinikmati Tapi, sungguh, capek betul aku. Serasa copot tulang-tulang ni." Hardiman memukul-mukul kakinya.

"Apa yang terjadi tadi malam itu?"

"Ah, Bro macam kura-kura dalam perahu."

"Maksudnya?"

"Berlagak pura-pura tidak tahu."

Hanjo menegakkan badan. Bersikap serius. "Betul, Bro. Tidak banyak yang kuingat lagi. Hanya saat dalam ruang karaoke. Melihat mereka berjoget. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi," tuturnya.

Hardiman tertawa. "Itu karena Bro larut terbawa suasana. Suasana keindahan."

"Aku serius, Bro."

Hardiman menelan tawanya. Ia memasang wajah duarius. "Itu karena pengaruh minuman. Kulihat Bro libas semua yang ada di atas meja."

"Mungkin juga," aku Hanjo kemudian. Diakuinya, semalam ia memang banyak minum. Mungkin berlebihan. Semenjak menikah dengan Mamoi, ia tidak bisa minum banyak.

"Di ruang karaoke itu..."

"Usai pertunjukan Bro berkelahi. Berkelahi habis-habisan. Bukan dengan aku. Tapi dengan cewek itu. Ingat?"

Hanjo mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu?"

"Ya, berlangsung pertarungan seru. Menarik. Dan seimbang. Keduanya silih berganti melakukan serangan. Jual beli pukulan. Lepaskan job dan uppercut. Tapi ada juga tendangan dan bantingan. Untung saja tidak ada wasit. Mana ada tinju pakai tendangan," cerita Hardiman seakan ia menonton pertandingan tinju Saul Alvares melawan Manny Pacquiao.

Hanjo mencoba memeras ingatan. Tapi tidak terekam sedikit pun dalam kepalanya ia melakukan pertandingan tinju. Bertinju dengan siapa?

"Bro menonton pertarungan itu?"

"Iyalah. Pertarungan yang sengit. Rugi sekali bila dilewatkan."

Tidak mungkin. Tak mungkin. Hanjo memutar kepalanya.

"Tidak hanya menonton aku juga melanjutkan pekerjaan."

"Melanjutkan pekerjaan. Pekerjaan apa?"

Hardiman tersungging mengusap-usap mulut. "Aku sih bersampan. Mendayung perahu ke tengah lautan."

"Ah, jangan asal ngomong, Bro." Hanjo mengibaskan tangannya.

"Betul. Aku mendayung perahu Meisa. Perahunya hebat dan mantap. Mampu berlayar meski ombak besar. Menyelip berliku. Menelikung mengkuti hempasan ombak. Makin lama mendayung kian terasa enaknya," tutur Hardiman lagi.

Hanjo mencibir. "Aku bertinju. Bro naik perahu. Ada-ada saja."

"Betul, Bro. Betul."

"Mana bisa dilakukan bersamaan. Beda itu dunianya. Satu di darat. Satu di air."

"Tujuan akhirnya sama. Sama-sama berujung dengan kemenangan dan kepuasan."

Hanjo menggoyangkan kepalanya. "Ah, susah ngomong sama orang hukum ini."

Hardiman membakar rokok. Segera mengepul asap putih. "Kulanjutkan ceritanya?" tanyanya.

Hanjo mengiyakan.

"Usai pertarungan, entah berapa ronde aku pun tidak tahu, Bro terkapar kelelahan. Mungkin juga pingsan. Nah, kita bertiga menggotong Bro ke kamar. Tentu lebih baik dan aman tidur dalam kamar," jelas Hardiman.

''Lalu?"

"Bro tertidur. Bermimp indah.

"Trus kalian?"

Hardiman memperlihat giginya. Sekilas. "Aku melanjutkan dayung sampan kembali. Bertambah satu sampannya. Ya aku dayung ke dua-duanya," ungkapnya terkekeh.

"Meisa bersama kalian lagi?"

"Dari pada nganggur tentu lebih baik dimanfaatkan."

Hanjo tidak tahu apakah ia mesti jengkel, marah dan memaki-maki Hardiman. Atau justru tertawa dan ngakak habis-habisan memuji kemafiaan perangai Hardiman.

Hanjo tersentak. Ingat sesuatu. "Jadi mereka itu masih di dalam kamar?" tanyanya.

"Mereka siapa?"

"Cewek berdua itu?"

"Ah, mana ada di dalam," jelas Hardiman.

"Ngapa pula mesti bohong."

"Betul. Tidak bohong aku," geleng Hardiman.

"Ah, tak percaya aku."

"Bro tengok sendiri ke dalam." Hardiman menaikkan dagu menunjuk ke arah kamarnya.

Hanjo segera melangkah panjang. Telah beberapa jam ia menyimpan rasa penasaran. Ia sudah menyiapkan jurus bantingan atau dekapan tanpa nafas bila mendapatkan kedua cewek itu di dalam kamar Hardiman.

Hanjo masuk melewati pintu yang tak tertutup. Sama dengan ruangannya, tidak hanya kamar tidur yang ada. Di dalam juga ada ruang tamu dengan dua kursi. Ruang santai yang berisikan meja minuman dan televisi. Setelah itu kamar tidur.

Hanjo menyusuri ketiga ruangan itu. Tidak ada orang. Diteruskannya ke toilet. Juga kosong. Ia kemudian memerika isi lemari, bawah meja dan tempat lainnya. Tetap tak ada juga. Tidak ditemukan kedua cewek itu.

Hanjo kembali ke sofa dengan langkah bingung. "Jadi ke mana mereka?"

"Jangan jadi kura-kura lagi, Bro." Hardiman tertawa.

"Aku tidak berpura-pura," tandas Hanjo yang sudah paham maksud ucapan Hardiman.

Hardiman santai saja. Ia membakar rokok yang kesekian. Setelah rokok terbakar dan asap mengepul, ia melirik, "Kata mereka pagi itu mau ke kamar, Bro. Tentu aku lepas yang tangan terbuka."

"Tidak ada mereka ke kamar aku," bantah Hanjo cepat.

"Tak perlu berbalas pantun, Bro."

Hanjo mengerinyit. "Balas pantun apa?"

"Aku bilang mereka tidak ada di kamar, Bro tidak percaya. Nah, sekarang tentu aku tak percaya pula mereka tidak ada di kamar Bro."

"Bro tengok sendiri kalau tidak percaya."

Hardiman menggeleng. "Tak masalah bagi aku, Bro. Tentu mereka harus melayani Bro pula."

"Betul!" tegas Hanjo cepat. "Tidak ada mereka!"

"Ah, tak perlu diganggu. Biarkan mereka istirahat."

"Tidak ada mereka di dalam. Menganggu siapa pula."

Hardiman belum percaya. Ia tertawa miring.

"Sungguh. Tidak ada!"

Melihat Hardiman masih tak percaya, Hanjo menarik tangan sahabatnya itu. Menghela masuk kamar. "Ayo. Kita lihat ke dalam," ujarnya.

Hardiman mengikuti dengan malas. Baginya tidak penting betul. Namun ia tak mau pula mengecewakan Hanjo. Keduanya masuk kamar.

"Nah, Bro lihat sendiri tidak ada orang di dalam kan?" jelas Hanjo setelah membawa Hardiman melihat segenap tempat. Memang tidak ada orang. Kosong melompong.

Hei! Heh! Lalu ke mana kedua cewek itu, tanya Harnjo dalam hati.

Tiba-tiba ia seakan diingatkan bahwa sesuatu telah terjadi. Kedua cewek itu pergi tanpa pamit. Menghilang begitu saja tanpa diketahui. Sengaja sembunyi-sembunyi. Dan mereka melakukan kebohongan. Pasti ada yang tidak beres ini. Pasti mereka melakukan sesuatu.