webnovel

CEO Termiskin di Dunia

Posisi Hanjo sebagai CEO terusik setelah kematian Moina, istrinya. Betul, kedudukan di kursi eksekutif tertinggi itu didapatkannya setelah menjadi suami ketiga janda bergelimang harta itu. Namun Hanjo tidak bisa menerima ketika dalam surat wasiatnya, Moina yang biasa dipanggilnya Mamoi itu, hanya menyisakan sebuah rumah kecil dan mobil tua untuknya. Selebihnya untuk kedua anaknya. Lucya dan Melina. Hanjo bukanlah pria dengan modal tampang semata. Ia menduduki jabatan sebagai CEO juga ditunjang oleh kemampuan dan kemauannya untuk belajar. Ia punya banyak kawan. Pandai bergaul. Terjadilah perseteruan dengan Lucya dan Melina. Hingga ia kehilangan posisi sebagai CEO. Ia masuk penjara. Menjadi CEO termiskin. Mampukah Hanjo keluar dari belitan masalah? Apakah ia menjadi CEO termiskin selamanya? Apa yang dilakukannya?

Rehano_Devaro · 现实
分數不夠
147 Chs

Anak Mamoi Memfoto-foto

Dua hari berlalu. Tidak ada perkembangan soal surat wasiat. Anak-anak Mamoi juga tidak menghubungi Hanjo. Namun ia yakin mereka masih berada di Jakarta.

Hanya saja, untuk memperkuat keyakinannya, ia merasa perlu mengkonfirmasi. Tidak pada yang bersangkutan. Melainkan kepada Bik Sumi.

"Mereka masih ada di sini kan?" tanyanya begitu melihat asisten rumah yang tangga itu berjalan menuju dapur.

Bik Sumi menghentikan langkah. "Mereka siapa Tuan?"

"Lucya dan Melina."

"Kayaknya masih, Tuan. Kemarin mereka ke sini," jelas Bik Sumi.

"Kemarin, kapan?" tanya Hanjo heran. Ia tidak tahu kalau kedua anak Mamoi itu datang ke rumah.

"Sore, tuan."

"Sore?"

Bik Sumi menganggukkan kepala. "Sebelum tuan pulang kerja," jelasnya.

Hanjo tidak jadi menjangkau gelas kopi. Dibawa tangannya melipat di depan dada. "Lama mereka di sini?"

Bik Sumi menggeleng. "Paling sekitar sejaman, Tuan."

"Ngapaian mereka di sini?"

Bik Sumi kembali menggerakkan kepala. "Tak tahu juga."

Tentu wanita ini tidak tahu. Ia lebih banyak berada di dapur atau kamarnya. Sementara Lucya dan Melina berada di ruang depan. Atau mungkin di kamar mereka.

Dua kamar yang ditempati keduanya saat mereka masih gadis dan tinggal di rumah ini, tetap masih ada. Meski kamar itu tidak pernah lagi mereka tempati, namun saat masih hidup Mamoi mewanti-wanti, kedua kamar anaknya itu tidak boleh diganggu gugat. Tetap tersedia untuk mereka meski selalu terkunci.

Hanjo sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Di rumah ini ada 9 sembilan kamar. Dua di lantai atas. Selebihnya di lantai bawah. Karenanya, tak ada alasan bagi dia untuk mempersoalkannya.

Hanjo menoleh pada Bik Sumi bermaksud memberi kode ia tidak perlu lagi dan memperbolehkannya pergi ke dapur. Tetapi wanita berusia lebih setengah abad itu malah buka mulut. "Tapi, tuan, saya lihat mereka menfoto-foto isi rumah ini."

Hanjo terkejut. "Memfoto-foto?" tanya heran.

Bik Sumi membenarkan dengan anggukkan.

"Apa yang mereka foto?" kejar Hanjo dengan suara meninggi.

"Lemari, kursi. Juga lukisan di dinding."

Hanjo menarik nafas. Benar-benar informasi yang penting sekaligus mengherankan. Penting karena mengetahui apa yang mereka lakukan. Dan mengherankan, apa tujuan mereka.

Namun apa pun itu, Hanjo yakin, kedua anak mantan istrinya itu mempunyai maksud tertentu. Seperti ada yang mereka rencanakan. Ada sesuatu yang akan mereka perbuat. Apa itu?

Hanjo berupaya membawa kepalanya untuk mereka-reka apa yang mungkin direncanakan kedua anak Mamoi itu. Hanya informasi perihal foto-foto itu yang ada. Bagaimana menghubungkannya dengan rencana apa yang akan mereka lakukan? Tidak ada yang bisa direka.

Hanjo mencari rokok. Tidak ada di meja. "Tolong ambilkan rokok aku di atas," perintahnya pada Bik Sumi.

Meski tidak jelas apa hubungannya, namun setiap kali pikirannya suntuk atau terbentur, Hanjo selalu memerlukan rokok. Hembusan asap putih yang bergulung-gulung, percaya atau tidak, seringkali memberikan inspirasi atau jalan keluar.

Begitu Bik Sumi kembali dengan sebungkus rokok dan mancis, Hanjo segera membakarnya. Dan ia ingin sendiri menikmati rokok. "Ya, sudah bik. Makasih," ujarnya menyuruh Bik Sumi meninggalkan ruangan makan.

Maka bertebaranlah gulungan asap dalam ruangan tersebut. Habis sebatang. Namun Hanjo tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Pikirannya masih buntu. Dibakarnya sebatang rokok lagi. Asap putih kembali berpulun-pulun.

Sangat jarang Hanjo merokok di ruang makan. Atau dalam ruangan lainnya. Bukan tersebab ada AC. Tetapi karena omelan Mamoi. Istrinya akan mengomel panjang lebar kalau melihat ia merokok di ruangan makan. Mamoi perokok juga. Tetapi ia selalu mencari tempat tertentu. Tidak mau merokok di ruangan ber-AC.

"Merokok di ruangan ber-AC itu merusak kesehatan," begitu argumentasinya. Hanjo tidak berani membantah. Padahal, merokok itu di mana pun dan kapan pun, tetap akan merusak kesehatan.

Teringat hal itu, Hanjo tersenyum miring. Ia melangkah ke luar. Duduk di teras samping. Dibiarkan saja udara panas yang menampar mukanya. Hanjo membuka kancing piyama yang dipakainya. Terasa lebih leluasa untuk merokok.

Silih berganti gulungan asap putih keluar dari mulutnya. Berterbangan sesaat. Lalu kemudian hilang dihembus angin. Dihembuskannya. Kini dengan membulat ujung mulutnya. Gulungan asap berupa lingkaran kecil bergantian keluar dari mulutnya.

Hanjo menikmati permainan asap begitu. Berulang-ulang dilakukannya. Ia bahkan sampai lupa dengan pikirannya perihal kegiatan foto-foto yang dilakukan anak Mamoi yang sebelumnya memenuhi isi kepalanya. Maksudnya mencari inspirasi atau mereka-reka rencana anak-anak Mamoi teralihkan sudah.

Kebetulan Parman lewat membawa selang air untuk menyiram rumput. Ia menyapa tuanya minta izin lewat. "Maaf permisi, Tuan," ujar Parman yang segera memutuskan permainan yang tengah dinikmati Hanjo.

Hanjo tersentak. Bukan karena suara Parman. Tetapi pada kesadarannya yang kembali pulih. Bahwa ia mesti memikirkan apa yang mesti dilakukan guna mengantisipasi apa yang akan diperbuat anak-anak Mamoi.

Tetapi ia sendiri belum tahu apa yang akan mereka perbuat. Yang dia tahu bahwa mereka mengambil foto-foto isi rumah. Ia tidak ada tujuannya. Apa maksudnya.

Parman yang tengah sibuk menyirami rumput gajah varigata dipanggilnya. Pria setengah baya berbadan kurus kecil itu datang dengan kepala tertunduk. "Ya, Tuan," ujarnya.

"Waktu Lucya dan Melina datang kemarin Akang tahu?" tanya Hanjo.

"Tahu, Tuan."

"Ngapain mereka?"

"Ambil foto rumah. Taman. Juga foto mobil-mobil," jelasnya.

Ops! Kepala Hanjo seperti ditimpuk karungan pasir.

Ternyata mereka ambil foto semuanya. Tidak hanya isi rumah. Tetapi juga yang berada di luar rumah. Lalu apa maksudnya? Untuk diapakan foto-foto itu? Apa mau mereka jual rumah dan isinya? Ditawarkan kepada orang lain dengan memperlihat foto-fotonya?

Kepala Hanjo kian terasa berat terjepit. Ia menjangkau bungkus rokok. Duh. Ternyata tidak ada lagi isinya. Sudah habis.

"Kang carikan aku rokok ke luar," perintahnya seraya merogok saku piyama.

Ia kemudian mengeluh panjang mengetahui saku piyamanya kosong melompong. Tidak ada membawa uang. Uang ada di kamar atas. Tidak mungkin menyuruh Parman masuk kamar mengambilkan uang. "Pakai uang Akang dulu," ujar Hanjo kemudian.

Parman mengangguk. "Ya, Tuan, saya belikan," katanya seraya melangkah cepat ke halaman depan.

Aksi foto-foto yang dilakukan anak-anak Mamoi tidak bisa dibiarkan. Mereka tidak boleh sesukanya masuk. Tetapi bagaimana melarang mereka? Ini rumah orang tuanya. Berarti rumah mereka juga.

Hanjo tersadar, hari-hari diam tanpa menghubunginya ternyata digunakan anak-anak Mamoi untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang sudah mereka rencanakan.

Lalu aku, apa yang kurencakan, tanya Hanjo pada dirinya. Ia tidak melakukan apa-apa. Sama sekali tidak melakukan antisipasi terhadap rencanakan yang akan dilakukan Lucya dan Melina.

Rencana itu sendiri ia belum tahu. Lalu antisipasi apa yang mesti dilakukan?

Ketika Parman datang membawa sebungkus rokok, ia menyuruh pria berambut putih itu duduk di kursi depannya. Parman menolak. Ia duduk pada pinggiran lantai teras.

Hanjo membakar rokok. "Akang tahu untuk apa foto-foto itu? Ada bertanya sama Lucya atau Melina?" tanya Hanjo usai menghembuskan asap putih. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia punya pikiran untuk mencari tahu pada semua orang yang berada di rumah, apa maksud mereka mengambil foto-foto itu.