Catatan dari seorang manusia yang ditunjukan kepada arwahnya setelah meninggal. Dia mengambil pena, memberikan wasiatnya yang dikirim oleh burung gagak ke neraka.
[Aku sungguh-sungguh mencari nilai-nilai yang disebut 'kebaikan' dalam diri ini.]
[Namun apa yang aku temukan hanya kekacauan tanpa harapan.]
Dia berbaring di atas tempat tidur, kedua tangannya memegang smartphone dalam posisi miring, memainkan game—"Dari konseling kemarin, dokter bilang 'jangan banyak berpikir' tetap saja aku tidak mengerti bagaimana caranya. Bekerja itu sangat membantu, namun aku tidak bisa bekerja terus sampai pingsan. Main game juga tidak membantu, karena begitu aku sendirian di ruangan ini, penyakit ini hanya akan menarikku dalam kesunyian. Lantas harus aku buang kemana pikiranku."
[Setiap keresahan mengarah pada satu hal, apakah sebanding siklus kehidupan ini terus berlangsung.]
[Simpati pada kemalangan seseorang masih bisa aku rasakan. Namun aku merasa menemukan alasan yang mengerikan dibalik perasaan simpati yang kuberikan.]
'YOU HAS SLAIN AN ENEMY' 'DOUBLE KILL—TRIPLE KILL! —MANIAC!!—SAVAGE!!!' 'WIPE OUT'
[Saat aku membayangkan diriku berada di tengah situasi yang sama, karena segala sesuatu di dunia ini bisa saja terbalik sehingga pada masa depan nanti kemungkinan situasi yang sama terjadi padaku; perasaan simpati yang aku berikan adalah egoisme yang ingin aku katakan pada dunia, bahwa ketika aku berada di situasi yang sama KALIAN HARUS MELAKUKAN HAL YANG SAMA TERHADAPKU.]
[Mengingat hal itu aku merasa jijik pada diriku.]
Beberapa hari yang lalu, di tengah hujan lebat, dia bertemu seorang pengemis pada perjalanan pulang selepas kerja. Pengemis itu kehujanan di jalan tanpa pelindung badan. Wajahnya pucat tak bercahaya, matanya menatap hampa, tubuh kurus seorang wanita tua yang mati rasa pada kehidupan. Karena merasa iba, dia membawanya ke warung makan—pemilik warung yang baik memberinya pakaian yang hangat—dia makan dengan rakus dan orang baik menyuruhnya untuk makan dengan tenang.
Setelah selesai makan, dia pamit untuk pergi—"Dan jika," dia berkata, "nenek membutuhkan bantuan, nenek bisa datang ke rumahku, beberapa blok di depan ada pohon mangga yang besar di halaman depan, rumahnya bercat biru dengan pagar kayu." Nenek tersebut tidak menjawab, "Makasih ya pak, ini aku bayar," dia menyerahkan sejumlah uang pada pemilik warung makan, kemudian pergi.
[Ketika aku memberi secara sukarela—tanpa berpikir panjang—yang aku temukan adalah kekosongan makna dibalik tindakanku sendiri.]
[Ini tidak menyangkut besar atau kecilnya perbuatan amal tapi alasan dibaliknya. Untuk orang sinting yang buta, adakah yang mau menyumbang gagasan?]
[Kenapa aku memberi? Kenapa aku mengasihi?]
Dia kembali memainkan game, setelah dengan mudah memenangkannya. 'WELCOME TO MOBILE *******' "Tim noob atau bukan, tugasku adalah menyergap dengan cepat, lalu push seperti orang barbar," Asassin Natalie adalah hero favoritnya, dia selalu dapat memprediksi siapa mangsa yang berjalan sendirian berkat pasifnya yang dapat menghilang—tidak sepenuhnya—dia akan pergi dengan cepat begitu kondisi tidak menguntungkan, dan akan melahap siapapun yang berjalan sendirian.
[Ada yang bilang semua manusia itu sama, aku sedikit kecantol dengan gagasan itu. Karena kita sama kita harus mengasihi; karena kita sama kita harus menghargai; karena kita sama aku jadi tahu bahwa semua manusia itu 'sakit' dan itulah uniknya menjadi bayi— beberapa orang ingin selalu menjadi bayi dengan bergantung pada kelompok, namun karena terlalu sering bergerombol mereka tumpul, tapi mungkin menjadi tumpul tidak buruk juga, Ah tidak, itu berbahaya untuk bertahan hidup.]
[Dalam dunia ini pokonya aku tidak boleh mati sebelum menua atau karena kecelakaan tidak terduga atau karena penyakit internal.]
[Selebihnya, aku harus berusaha agar tidak mati. Sesuatu yang mengarah pada kerugian itu buruk dan aku percaya kematian itu merugikan (kerugian mengarah pada kematian) Mengapa demikian? Karena hanya ketika hidup kita dapat berhitung, oleh karenanya kematian itu merugikan— setidaknya dalam tubuh sehat.]
[Pokoknya aku tidak boleh 'merugi' itulah sebabnya naluri untuk bertahan hidup memunculkan pertanyaan besar, masih adakah kebaikan jika aku tetap hidup?]
[Pengorbanan lebih absurd lagi. Seperti contoh para pahlawan. Aku selalu penasaran, apa yang mereka pikirkan saat mereka mengorbankan hidupnya demi orang lain, itu cuma keputusasaan bukan?]
Pikirannya saat ini berada dalam simulasi— "Atas nama umat manusia, aku *MC akan bertarung sampai titik darah penghabisan meskipun harus 'mengorbankan' nyawaku," dia menginjakan kaki seorang diri disamping lusinan mayat pasukannya yang hancur. Pedangnya menancap ke tanah, berdiri dengan gagah mengemban takdirnya dengan harapan seorang pahlawan dari anak-anak mereka akan membalaskan dendam. Mencabut pedangnya dari tanah dan mengacungkan ke atas, berseru di hadapan ribuan pasukan musuh, berlari menuju kematian.
[Dalam sumur yang gelap pahlawan itu berkata, "Aku akan memberikan hidup ku pada kalian karena aku sudah tidak kuat berada di dunia ini lebih lama lagi, dengan begitu kematian ku akan memiliki makna. Aku akan bebas, sementara kalian lindungi dunia ini dengan kerja keras dan terimalah segala rasa sakit dan penghinaan dan ketidakbermaknaan semua itu."]
[Apasih? Aku tidak tahu.]
[Apa yang mereka hargai begitu penting sampai mengorbankan diri sendiri, aku dapat dengan jelas membedakan siapa 'aku' dan 'orang' selain aku. Barangkali mereka menemukan makna, aku tidak tahu. Mungkin saja sebagai organisme hidup kesadaran kolektif untuk melindungi spesies membuat para pahlawan bertindak demikian, aku tarik kata-kataku; itu adalah tindakan yang mulia.]
[Demi kelangsungan spesies yang saat ini tumpah ruah.]
Seekor kucing hitam meloncat ke atas tubuhnya yang sedang berbaring—tangannya memegang smartphone—dia tersentak kaget saat kucing itu tiba-tiba muncul. Dia melemparkan smartphone yang digenggamnya secara reflek. Sementara kucing itu menatap dengan wajah manis yang tak berdosa.
[Apasih? Aku tidak tahu.]