webnovel

Terjebak Pertanyaan

"Di saat aku mengetahui semua kelebihanmu, bagimana mungkin aku tak mengagumi dirimu?"

- Asyifa

***

"Udahlah, tugas gue udah selesai." Nadira memegang tangan Asyifa. "Gue cabut!" sergahnya tepat di wajah Dhafa.

Nadira berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya. Merasa kesal dengan makhluk dingin itu.

Asyifa perlahan menoleh ke belakang, melihat sekali lagi ke arah kelas tadi. Dhafa sudah memasuki kelas, tanpa melirik sedikit pun ke arahnya. Bahkan tadi ia tidak disapa sama sekali. Asyifa menghela napas.

'Apa aku akan tetap seperti ini? Diam membisu jika di depanmu?'

Kedua gadis ini sudah sampai di dalam kelas. Lebih tepatnya, di bangku kebesaran mereka. Asyifa masih memikirkan tentang peristiwa tadi. Kenapa Nadira bisa seberani itu kepada Dhafa? Dan kenapa juga Dhafa menjadi sedikit kasar seperti itu? Bukannya selama ini Dhafa dikenal dengan diamnya?

"Huhfft! Padahal 'kan dia bisa santai. Ngomong kok ngegas gitu. Dikira aku ini siapa coba? Awas aja, nanti bakal aku balas!" dumel Nadira yang masih merasa kesal kepada Dhafa.

Asyifa tak mengubris perkataan Nadira. Ia kembali bergulat dengan pemikirannya. Ya, Asyifa sendiri membenarkan perkataan Nadira. Ia juga baru kali ini melihat Dhafa bersikap seperti itu. Namun, Nadira juga tak kalah sensinya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa hubungan di antara mereka? Pacaran?

Gadis lesung pipit ini menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepala. Karena mustahil dan sangat tidak mungkin seorang Dhafa mau pacaran. Pemuda itu tahu sendiri jika pacaran merupakan aktifitas yang mutlak diharamkan. Di mana setiap detiknya haram. Berujung pada kemaksiatan dan hilangnya kehormatan bagi perempuan. Dinikahi belum tentu, dikhianati bisa jadi.

"As!" Mendengar namanya dipanggil bersamaan dengan tepukan di bahu, membuat Asyifa tersadar dari lamunannya.

"Ya?" jawabnya sambil menatap sang lawan bicara.

"Kamu ngelamunin apa, sih? Dari tadi aku ngomel, kamu gak respon. Aku panggil, kamu gak nyahut. Lagi ngelamunin apa?"

"Bukan apa-apa."

Nadira berdecak pelan mendapati respon Asyifa yang seperti itu. Gak Dhafa, gak Asyifa, sama-sama pribadi yang gak suka banyak omong. Herannya, kenapa ia bisa dikelilingi dengan orang-orang yang bertolak belakang dengan pribadinya? Huh!

"Hem ... Nadira?"

Nadira menghela napas pelan. "Iya?"

"Anu, hum ...."

"Apa?"

"Kamu tau sesuatu tidak, sama tingkah ...." Asyifa menggantung ucapannya. Ia yakin akan terbata jika mengatakan kata selanjutnya.

"Tingkah siapa?"

"Itu tadi!"

"Siapa, sih?" gemas Nadira menatap Asyifa dengan menautkan kedua alisnya.

"Ish! Itu, Si ... Dha--fa." Asyifa menggerutu dalam hati. Lagi-lagi ia mendadak grogi.

"Kamu kok jadi gugup gitu?"

"Enggak kok," kilah Asyifa cepat. Ia tidak boleh terjebak dengan pertanyaan yang sama seperti di depan kelas tadi.

"Ya udah, tadi kamu nanya apa?"

Asyifa menatap Nadira dengan tatapan kesal. "Itu, kamu tau kenapa tingkah dia tiba-tiba aneh gitu? Apa hanya perasaanku saja?"

"Oh, dia emang gitu kalau sama aku."

"Tapi ...."

"Sensian?" Asyifa hanya mengangguk seolah membenarkan.

"Gak tau tuh. Tanya aja sama orangnya," suruh Nadira.

Mendadak Asyifa menurunkan kedua bahunya. Tidak mungkin ia melakukan itu. Menyapa Dhafa saja ia tidak berani, apalagi menanyakan sesuatu yang menurutnya merupakan hal privasi.

"Emang kenapa, As?"

"Kenapa kalian bisa begitu akrab?"

Nadira mengerutkan kening, merasa aneh dengan pertanyaan Asyifa. "Kayak gitu dibilang akrab? Kamu waras 'kan?"

Asyifa tak menjawab. Ia melirik ke sudut kelas. Ingin mengatur intonasi suaranya, agar ia bisa bertanya dengan nada yang datar dan pelan. Asyifa menarik napas dalam. "Apa kalian pernah pacaran?"

"Hah?" kaget Nadira dengan tawa yang lepas begitu saja mendengar pertanyaan sahabatnya itu.

"Ahaha, kalau iya, kenapa?" celetuk gadis ini dengan tawa khas miliknya.

Asyifa bergeming di tempat. Ia menatap Nadira tak percaya. Apa ia tak salah dengar? Nadira dan Dhafa pacaran? Asyifa menatap Nadira yang masih tertawa pelan.

"Kamu ... serius?" tanyanya dengan raut wajah polos membuat tawa Nadira semakin keras, hingga sedikit air menggenang di sudut matanya.

Sekarang Asyifa seperti orang linglung, karena ditertawakan. Nadira memegang pundak kanan Asyifa.

"Kamu ...." Belum sempat Nadira melanjutkan kalimatnya, ia kembali tertawa. Hal itu menjadikan Asyifa sedikit kesal.

"Ya sudahlah. Aku tidak akan bertanya lagi." Kalimat Asyifa seketika membuat tawa Nadira mereda.

"Uluh-uluh, ngambek nih ceritanya?" canda gadis ini memegang kedua pipi Asyifa dan menggoyang-goyangkannya.

"Emang kamu kenapa jadi kepo gini? Gak biasanya," lanjut Nadira.

"Gak papa." Asyifa menurunkan tangan Nadira dari pipinya. Perlahan ia kemudian meluruhkan badannya, dan menjatuhkan kepala ke atas meja.

"As," panggil Nadira.

"Hum." Dengan posisi wajah yang bersembunyi pada kedua tangan yang Asyifa luruskan ke depan, membuatnya hanya mampu membalas panggilan Nadira dengan deheman.

"Menurut kamu, Dhafa itu sifatnya bagaimana?" Asyifa hanya menoleh dengan kepala yang masih bertumpuh pada lengannya di atas meja.

"Maksudku, orangnya seperti apa?" tanya Nadira meralat kalimat sebelumnya. Asyifa tak menjawab. Namun, tatapannya menajam.

"Aku cuma nanya kepribadiannya, As. Bukan karena apa. Gak usah mikir yang macam-macam!" tegas Nadira merasa terintimidasi.

"Kenapa harus aku?"

"Pengen tau aja, menurut kamu dia kayak gimana, gitu."

Asyifa mangguk-mangguk. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu.

"Orangnya baik ...." Mendengar pernyataan Asyifa, membuat Nadira kembali terkekeh. Asyifa sendiri sedikit heran. Apa yang lucu dari kalimatnya?

"Terus-terus?" tanya Nadira sambil mereda tawanya.

"Pendiam."

"Betul," sahut Nadira.

"Dingin."

"Banget."

"Pintar."

"Pasti," sahutnya sekali lagi membenarkan.

"Hm ... apa lagi, ya?" Asyifa menggerakkan bola matanya secara abstrak, sejenak berpikir.

"Ganteng?" timpal Nadira yang merasa bahwa Dhafa termasuk salah satu jajaran pria terganteng yang ada di sekolah mereka ini.

"Ganteng 'kan relatif, hanya bonus saja," jawab Asyifa sambil mengubah posisi dengan kembali menegakkan badannya.

Nadira mengangguk mendengar pendapat dari asyifa. "Oh, oke."

"Kalau kamu?" Kini giliran Asyifa yang bertanya.

"Menurut aku, Dhafa itu orang yang paling menyebalkan yang pernah ada."

"Heh, sampai segitunya?" Asyifa menjeda sejenak. "Bukannya kamu suka sama dia?"

"Dia siapa?" tanya Nadira ingin menguji sahabatnya itu. Dia ingin tau, kenapa setiap kali menyebut nama Dhafa, Asyifa selalu terbata?

"Memang sekarang kita lagi bahas siapa?"

"Siapa coba?" Nadira menggoda Asyifa dengan menaikkan kedua alisnya.

"Ishh!" kesal Asyifa melihat tingkah wanita di depannya itu.

"Apa sih? Tinggal ngucapin namanya aja kok, biar jelas."

"Itu ...." Asyifa menggantung kalimatnya sejenak. "Gak jadi," lanjutnya.

Nadira memajukan wajahnya, menatap Asyifa intens. "Kenapa gak jadi? Jangan-jangan, kamu kali yang suka sama Dhafa."

Nadira menunjuk ke wajah Asyifa beberapa kali. Spontan Asyifa menjauhkan wajahnya dari sahabatnya itu.

"Kamu ngomong apa, sih!" Asyifa mengalihkan pandangannya, tidak ingin menatap Nadira.

"Gak usah bohong. Itu pipi kamu sampai merah gitu."

Asyifa membulatkan matanya. "Hah?" Ia segera mengeluarkan ponsel dari sakunya, kemudian melihat pantulan wajahnya itu.

"Haha, aku nggak nyangka, As, kalau kamu suka sama Dhafa." Seketika Nadira kembali tertawa lepas, merasa telah berhasil menjaili sahabatnya itu.

Asyifa menatap Nadira kesal. Ia merasa telah dikerjai. "Ish, gak lucu, Nadira!"

"Tenang aja, Sist. Aku nggak akan bocorin ke siapa-siapa kok, cuma ke Dhafa doang." Asyifa melempar tatapan kilat tidak suka. Spontan Nadira berdiri dan berlari keluar kelas.

Asyifa mengejar Nadira keluar kelas. "Nadira! Itu nggak seperti apa yang kamu duga."

Asyifa dapat melihat Nadira yang sudah berada di luar kelas. "Nadira..! Sto--"

Bruk!

Asyifa bergeming ditempat, menatap Nadira yang jatuh tak jauh darinya. "Nadira!"

Tanpa pikir panjang, ia segera menghampiri sahabatnya itu, menepuk-nepuk pipinya perlahan.

"Ba-bangun, Nadira." Ia mencoba meraih saku Nadira. Mencari Inhealer yang selalu Nadira bawa ke mana-mana.

Masih dalam posisi yang sama, Asyifa spontan menoleh kiri-kanan, mencoba mencari bantuan.

"Tolong! Tolong!" teriaknya celingukan.

Seketika sudah banyak siswa maupun siswi yang mengelilinginya.

"To-tolong..! Tolong sahabat saya," mohon Asyifa menatap orang-orang yang mengelilinginya itu.

Namun, tiba-tiba Asyifa melihat kedatangan Dhafa yang tanpa ba-bi-bu, atau permisi sedikit pun, langsung menggendong Nadira. Asyifa terkejut melihat perbuatan Dhafa. Pasalnya, Dhafa merupakan ketua Rifan–Rohis SMA Gadafton Bangsa– dan dia sendiri juga tahu bahwa tidak boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Tapi ... kenapa dengan entengnya Dhafa menggendong Nadira?