webnovel

BEN ABRAHAM

Ben Abraham, seorang duda berusia matang yang harus membesarkan putra semata wayangnya seorang diri. Memilih bercerai dengan mantan istrinya, Elena yang selalu mengutamakan harta dalam kehidupannya. Sampai suatu saat putranya yang bernama Robin, menginginkan kehadiran seorang Ibu yang bisa menyayangi dirinya. Apakah keinginan Robin akan terpenuhi? Dan perempuan seperti apakah yang bisa menarik perhatian seorang Ben Abraham? Kisah seorang Ayah dan anak yang bisa membuat kalian terharuh dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.

Nuzullahliia · 科幻言情
分數不夠
31 Chs

8. Lamaran Mendadak

"Robin, maafkan Daddy?" Kata Ben yang saat ini sedang berjongkok dihadapan putranya. Mereka kini sudah sampai dirumah dan tengah berada didalam kamar Robin.

"Kau mau bukan memaafkan Daddy? Maaf, maaf sekali untuk semuanya. Maaf untuk kesalahan Daddy, maaf untuk keegoisan Daddy, dan maaf untuk tidak adanya waktu Daddy bersama dirimu." Ucap Ben lagi bersungguh-sungguh. Dia kini menggengam tangan Robin sambil menatap dalam manik mata putranya yang memiliki warna kecoklatan seperti dirinya.

Robin menganggukkan kepalanya, lalu berhambur kedalam pelukan Daddynya. Dia memeluk erat Daddynya, mengalungkan lengannya pada leher Ben yang juga membalas pelukan sang putra. "Kau putra Daddy yang pintar." Ben mengurai pelukannya, lalu mengecup kening putranya.

"Bagaimana menurutmu dengan Bibi Alena, hem?" Tanya Ben dengan senyumnya. Dia tengah memancing putranya itu agar mau bercerita tentang apa yang diketahuinya mengenai Alena.

"Dia Bibi yang baik, dan dia juga menyayangi diriku." Kata Robin memberitahukan dengan wajah antusias. Ben hanya tersenyum sambil menganggukan kepalanya, saat menanggapi ucapan sang putra.

"Kau mau dia menjadi Ibumu?" Tanya Ben lagi yang dibalas Robin dengan menganggukan kepalanya cepat, membuat Ben tertawa pelan melihat antusiasnya sang putra untuk menjadikan Alena Ibunya. "Daddy akan berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai Ibumu." Lanjurnya mengelus kepala sang putra.

"Sungguh Daddy?" Tanya Robin dengan rasa bahagianya.

"Dengan satu syarat?" Ucap Ben lagi membuat Robin menatapnya bingung.

"Kau tidak boleh lagi bertemu dengan Ibumu, Elena. Dan kau juga harus selalu menuruti ucapan Daddy, bagaimana?" Ucap Ben dengan penuh penekanan, membuat Robin terdiam mendengar ucapan Daddynya. Dia sebenarnya juga ingin bertemu dengan Ibunya, meskipun hanya sebentar.

"Sebentar saja tidak boleh?" Tanya Robin pelan dengan wajah sendunya.

Ben menggelengkan kepalanya, lalu dengan wajah tegasnya dia berucap, "Kau tidak tahu Robin, disaat kau masih bayi dia tidak mau mengurus dirimu. Dia meninggalkan dirimu dan lebih memilih pergi dengan selingkuhannya. Daddy sebenarnya tahu jika kau belum mengerti tentang pembicaraan ini, namun Daddy hanya ingin kau mengetahui bagaimana sikap Ibumu itu. Dan setelah sekian lama, kini dia datang kembali kekehidupan kita lalu mengatakan jika dirinya menyayangimu. Semua itu pasti ada maksudnya, Robin! Percayalah pada Daddy!" Jelas Ben pada putranya, dimana putranya itu hanya terdiam mendengarkan semua kata-kata yang belum dipahaminya itu.

Robin menganggukan kepalanya, menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Daddynya. Ben tersenyum pada putranya, lalu menunduk menatap pada lutut Robin yang terlihat adanya plaster luka disana.

"Kau terluka Robin? Biar Daddy panggilkan Finesia untuk mengobati lukamu." Ben berdiri dari posisinya, lalu melangkah keluar dari dalam kamar sang putra untuk memanggilkan pelayan dan memintanya untuk mengobati luka dilutut Robin.

Ben mamasuki kamarnya, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Dia kini tengah membasuh mukanya dengan air kran wastafel yang ada disana, lalu menatap pantulan dirinya pada cermun yang ada didepannya.

"Baiklah Alena, akan ku jadikan kau sebagai istriku." Ben menyeringai sambil menatap cermin yang memantulkan bayangannya.

**

"Anak itu tadi datang lagi?" Tanya Silvi yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping Alena.

Alena yang tengah membersihkan meja bekas pelanggan sebelumnya hanya bisa menggelus dadanya. Pasalnya dia tidak tahu jika temannya itu sudah berdiri tepat disampingnya.

"Kau selalu saja muncul seperti hantu. Tidak bisakah memberi tanda dahulu saat muncul didekatku? Untung saja aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung." Balas Alena sedikit kesal melihat tingkah rekan kerjanya itu.

"Kau mengalihkan pembicaraan, Alena!" Silvi mengucapkannya dengan penuh penekanan.

Alena memberhentikan aktivitasnya, lalu menatap Silvi sambil mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

"Aku sedang membicarakan tentang anak kecil tadi, Alena."

"Robin? Kenapa dengannya?"

"Dia sepertinya sangat membutuhkanmu. Apa kau tidak merasa kasihan saat melihatnya? Terlebih Ayahnya itu tampak menyeramkan."

Alena tersenyum sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya untuk mengelap meja. "Sudahlah jangan membicarakan itu! Lebih baik kau bawa saja gelas dan piring kotor ini kebelakang!" Alena menyerahkan nampan yang berisi gelas dan piring kotor tadi kepada Silvi.

Silvi menerimanya dengan sedikit malas, lalu meninggalkan Alena yang tampak masih sibuk membersihkan meja. Hari ini cukup melelahkan baginya, karena banyak sekali pelanggan yang berdatangan dikaffe tempatnya bekerja.

Sekitar pukul 21.00 malam, Alena keluar dari kaffe tempatnya bekerja. Dia pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki seperti biasanya. Suasana malam ini tampak sunyi sekali, namun Alena tak sedikit pun merasa takut saat harus pulang berjalan kaki seorang diri.

Alena akhirnya sampai didepan rumah. Tubuhnya benar-benar sudah lelah dan ingin segera mandi, lalu membaringkan diri diatas ranjang kesayangannya. Saat dia tengah membuka kunci pagar rumahnya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang tengah menyorotkan lampu kearahnya. Alena menghentikan pergerakan tangannya, lalu mengarahkan tangannya itu didepan wajahnya untuk menahan silau yang sebabkan oleh lampu mobil itu.

"Baru pulang?" Suara bariton yang akhir-akhir ini sering didengarnya itu kembali masuk kedalam indera pendengarannya. Dia mengenali suara itu, suara dari seseorang yang tadi sudah berani mencuim bibirnya.

"Kau? Kenapa kau ada disini?" Tanya Alena saat Ben sudah berdiri tepat dihadapannya.

"Kenapa kau kaget begitu?" Tanya Ben menunjukkan seringainya.

"Dari mana kau tahu rumahku?"

"Sangat lucu jika aku tidak mengetahui rumah calon istriku."

Alena membulatkan matanya, lalu kemudian membawa kembali dirinya pada ketenangan yang semula. "Calon katamu?" Tanya Alena dengan tawa pelannya.

"Bukankah tadi kau sendiri yang menawarkan dirimu untuk menjadi Ibu bagi Robin?"

"Aku kira kau menganggap ucapanku tadi sebagai candaan."

"Aku tidak suka bermain-main! Kau tahu, aku ini sudah tua. Umurku sudah 37 tahun, dan tidak ada waktu lagi untuk bercanda!" Tegas Ben dengan raut wajah seriusnya, membuat Alena terdiam sambil mengamati setiap lekuk diwajahnya.

"Jadilah istriku! Aku hanya ingin melihat Robin tumbuh dalam kasih sayang yang nanti akan kita berikan. Dan kulihat, sepertinya dia nyaman bersama dirimu." Jelas Ben menatapnya dalam, membuat hati Alena sedikit bergejolak.

"Kau melamarku?"

"Ya. Aku melamarmu sekarang, Nona Alena." Mengeluarkan kotak kecil berwarna silver dari dalam saku jaketnya.

"Aku tidak percaya ini." Alena tertawa pelan sambil terus menatap kearah Ben yang kini sedang membuka kota kecil tersebut, dan tampaklah sebuah cincin emas dengan permata kecil ditengahnya.

"Aku juga tidak percaya dapat kembali melamar seorang wanita." Ucap Ben menatap pada Alena yang tanpak sedang mengerutkan keningnya.

"Jadi kau biasa melamar seorang pria begitu?" Tanya Alena membuat Ben memberikan tatapan tajam untuknya.

"Kenapa kau berfikiran seperti itu?" Kesal Ben mendengar penuturan Alena tadi.

"Perkataanmu mencurigakan bagiku." Alena mengalihkan pandangannya, tidak mau menatap Ben yang sejak tadi berdiri dihadapannya.

Ben mendesah pelan. Dia mengambil cincin yang ada dikotak tersebut, lalu meraih tangan kiri Alena dan memasangkan cincinnya pada jari manis Alena.

"Apa yang kau lakuka?" Pekik Alena saat Ben sudah memasangkan cicin pada jari manisnya.

"Kau terlalu lama, dan banyak sekali bicara. Sudah ya, aku mau pulang." Ben membalikkan tubuhnya, lalu berjalan kearah mobilnya. Saat sudah sampai didepan mobilnya, dia kembali menatap Alena yang ternyata masih terdiam ditempat semula. "Berapa umurmu?" Tanya Ben kembali membuat Alena mengerutkan keningnya.

"Untuk apa mengetahui umurku?"

"Katakan saja!" Kesal Ben mencoba bersabar menghadapi sikap Alena.

"27 tahun." Singkat Alena.

"Bagus, istriku masih muda." Ben tertawa, lalu memasuki mobilnya. Dia pun menjalankan mobilnya untuk meninggalkan rumah Alena.

Alena menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan tingkah ajaib Ben yang selalu berubah-ubah. Dia kini mengalihkan pandangannya pada cincin yang melingkar dijari manisnya. Benarkah dia akan menikah? Apakah ini jalan yang terbaik untuk kehidupannya? Dia sedikit tidak percaya. Bagaimana bisa dia akan menikah dengan seorang single Daddy yang memiliki satu anak. Tapi biarkanlah, mungkin ini adalah takdir yang digariskan untuknya.

TO BE CONTINUED.