webnovel

BEN ABRAHAM

Ben Abraham, seorang duda berusia matang yang harus membesarkan putra semata wayangnya seorang diri. Memilih bercerai dengan mantan istrinya, Elena yang selalu mengutamakan harta dalam kehidupannya. Sampai suatu saat putranya yang bernama Robin, menginginkan kehadiran seorang Ibu yang bisa menyayangi dirinya. Apakah keinginan Robin akan terpenuhi? Dan perempuan seperti apakah yang bisa menarik perhatian seorang Ben Abraham? Kisah seorang Ayah dan anak yang bisa membuat kalian terharuh dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.

Nuzullahliia · 科幻言情
分數不夠
31 Chs

24. Penyelamat Alena

11.00

Kecemasan dan kepanikan kini sedang melanda dirinya. Dengan langkah lebar dan terburu, Ben kini sudah sampai diluar kantor. Dia mengambil alih kunci mobil dari tangan Alex, dan bergegas memasuki mobilnya untuk menuju rumah sakit. Dia bahkan meninggalkan Alex yang masih berdiri mematung didepan kantornya.

Mobil yang dikendarainya kini sudah melaju dengan begitu cepat. Ben seakan menulikan telinganya dari suara kelakson dan umpatan para pengemudi lainnya, yang merasa terganggu dengan cara mengemudinya. Ben tidak perduli, bahkan dengan keselamatan dirinya sendiri. Yang ada difikirannya saat ini hanyalah Alena, Alena, dan Alena.

Bagaimanakah keadaan istrinya saat ini? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia terluka seperti yang beritakan oleh Alex tadi?

Ben benar-benar tidak mau memikirkan hal yang buruk. Dia yakin jika istrinya itu pasti akan selamat dan baik-baik saja.

Tapi dia juga takut, jika semua itu benar terjadi. Alena baru saja belajar mengendarai mobil, dan dia belum begiu ahli. Hal tersebutlah yang semakin menambah ketakuan pada diri Ben. Dia takut jika asumsinya itu benar, dan dia harus kehilangan Alena. Dia belum siap, bahkan tidak akan pernah siap untuk kehilangan istrinya.

Ben mulai menyadari betapa berartinya Alena didalam kehidupannya. Dia tidak mau kehilangan Alena. Dia sangat mencintai Alena, istrinya.

Tak terasa, mobil yang dikendarainya kini sudah sampai disalah satu rumah sakit ternama. Ben keluar dari dalam mobilnya, lalu berlari untuk memasuki rumah sakit tersebut.

Langkahnya terhenti saat tiba didepan meja resepsionis yang tersedia.

"Pasien atas nama Alena?" Ucap Ben dengan nafas memburu.

"Alena? Bisa sebutkan nama lengkapnya, Tuan?" Balas sang resepsionis.

"Alena Agluera Abraham."

"Tidak ada pasien atas nama tersebut Tuan."

Ben mengusap wajahnya kasar. Lalu berfikir sejenak, "Pasien yang baru saja mengalami kecelakaan beberapa jam yang lalu. Apakah benar dia dikirim kerumah sakit ini?"

"Ohh itu. Pasien masih berada di IGD, dan belum dipindah----" resepsionis itu belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi Ben sudah terlebih dahulu berlari untuk menuju ruang IGD.

Ben kini sudah sampai di ruang IGD. Dia bertanya kembali kepada salah satu perawat yang berada disana. "Pasien kecelakaan?"

"Dia ada disana, Tuan. Kautkan hati Anda! Dan saya turut berduka cita." Ucap perawat itu sambil menunjuk salah satu bilik disebelah kanan.

Tubuh Ben menegang saat medengar ucapan perawat tersebut. Tanpa disadarinya, setitik air mata jatuh begitu saja. Ben tidak memperdulikannya, dan justru berjalan kearah bilik tersebut.

Dilihatnya tubuh yang kaku itu tertutup oleh selimut. Ben tak kuasa lagi untuk menahan rasa sakit yang menyelimuti hatinya. Dia tidak sanggup, dia tidak ingin dan tidak siap jika harus kehilangan istrinya.

Ben mengulurkan tangannya untuk membuka selimut yang menutupi wajah cantik istrinya.

"Ben---." Suara seorang wanita dari balik punggungnya, membuat Ben mengurungkan niatnya dan justru berbalik arah.

**

07.30

Alena baru saja selesai mengantarkan Robin kesekolah, saat tiba-tiba ponselnya berdering dan tertera nama teman baiknya disana.

"Iya Silvi, ada apa?"

"Tidak, aku baru saja mengantarkan Robin ke sekolah."

"Baiklah aku akan mampir kesana."

"Ok, sampai bertemu nanti."

Alena mematikan sambungan teleponnya, dan langsung mengendarai mobilnya untuk menuju kaffe tempat kerjanya dulu.

Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarainya kini sudah sampai dikaffa tujuan. Alena keluar dari dalam mobil, dan mulai memasuki area kaffe.

Silvi yang melihat kedatangannya langsung menyambut hangat dirinya dengan memeluknya. Dia mengucapkan kata terimakakasih berkali-kali, lalu pergi keluar setelah urusannya dengan Alena selesai.

Tepat beberapa detik setelah Silvi pergi. Alena melihat Valleria yang baru saja masuk dari arah pintu depan. Dia juga sempat melihat jika Silvi dan Valleria tadi mengobrol sebentar diluar kaffe, mungkin Silvi sedang meminta izin kepada atasannya.

"Hai, Alena. Kau disini rupanya." Sapa Valleria yang kemudian memeluk Alena.

"Iya, Nona Valle. Aku merindukan rasa coffelate dikaffe ini." Jawab Alena sambil tersenyum.

"Benarkah? Kalau begitu pesan sebanyak yang kau inginkan." Goda Valleria yang kemudian disambut tawa keduanya.

"Aku sudah memesannya Nona Valle. Jika nanti aku menginginkannya lagi, aku pasti akan memesan lagi." Tersenyum seraya mengangkat cangkir coffenya.

"Baiklah. Aku tinggal keatas dulu ya? Pekerjaanku sangat menumpuk hari ini. Selamat menikmati coffelatemu, Alena." Tersenyum ramah, kemudian berjalan menuju lantai dua.

Alena kembali menyesap coffelatenya. Perpaduan antara rasa pahit dan manis yang sempurna. Sangat berbeda dengan kehidupannya. Jika saja Ben mencintai dirinya, pasti saat ini kehidupan Alena sangatlah sempurna dan bahagia. Tetapi semuanya hanya ilusi semata. Sebab Ben tidak pernah sedikit pun mencintai dirinya.

Alena terus melamun dengan pemikirannya sendiri. Mengacuhkan kebisingan dan suasana kaffe yang mualai ramai, karena pengunjung sudah mulai berdatangan.

**

Ben terdiam sejenak, memastikan jika sosok wanita dihadapannya benar-benar nyata. Alenanya ada disana, dan dia baik-baik saja. Ben melangkah lebar mendekati istrinya, dan membawa tubuh mungil itu kedalam pelukannya.

"Syukurlah kau baik-baik saja Alen. Aku mencemaskan dirimu, hingga membuatku takut saat memikirkan hal buruk menipa dirimu." Ben mempererat pelukannya, seolah tidak rela jika Alena menjauh dari dirinya.

Alena hanya terdiam dalam pelukan suaminya. Dia bahkan tidak mendengarkan pengakuan Ben yang mungkin saja bisa membuat hatinya bahagia. Yang ada difikirannya saat ini hanyalah sosok dibalik selimut tersebut. Sosok yang sudah menjadi korban, sekaligus penyelamat bagi kehidupan Alena. Mungkin jika sosok itu tidak ada, maka bisa jadi Alena lah yang menjadi korbannya.

"Ben, dia meninggal. Aku---aku sudah membuatnya kehilangan nyawa." Ucap Alena dengan suara bergetar.

"Ssttt--, tidak Alen. Ini bukan kesalahn dirimu. Ini sudah takdir yang digariskan oleh Tuhan. Kau tidak bol---. Alen!" Ben panik, saat tiba-tiba saja tubuh Alena menjadi lemas.

Alena pingsan. Wajahnya pucat, dengan mata yang tertutup rapat. Ben mengangkat tubuh mungil istrinya. Membawanya menuju bilik sebelah untuk dipriksa. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya. Dia sudah menyadari cintanya untuk Alena. Dan mulai saat ini, dia akan melindungi istrinya.

TO BE CONTINUED.