"A shoulder to cry on ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Paing pun mendesis dan berontak beberapa kali. Dia diam setelah diberangus keempat cluster cukup lama. Kemudian sadar dan dilepas perlahan-lahan.
"Oh, shit!" maki Paing sambil memijit keningnya.
Bible terengah-engah karena nyaris dilumat. Dia tahu yang barusan sangat beresiko, tapi siapa lagi yang bertindak kalau bukan dirinya? Seorang Alpha wajib dihajar saat kehilangan kontrol. Targetnya pun harus kepala, walau taruhannya bisa nyawa. "Hahh ... hah ... hahh ... hah ..." desahnya. "... sekarang kau sudah baik-baik saja?"
Paing pun meremas rambut frustasi. Dia pening karena hampir menggampari rekan sendiri. Lalu menggeram pelan. "Yea, oke. Thanks ... tapi aku harus pergi dulu," katanya. Lalu melipir ke kamar mandi.
BRAKHHHHH!
Alpha itu membanting pintu cukup kasar. Lalu menyalakan shower plus wahser spray bersamaan. Suaranya gaduh sekali di dalam sana. Sebab Paing tak berhenti menyemprot wajah serta kepalanya. Juga berteriak saat meninju dinding.
BUAGH!
"AAARRRGHHHHHHHH!! HISSSH!"
BRAKHHHH!! PRAKH! PRANG!
Dia berusaha meredam emosi secepat mungkin. Tak tahan amarah karena jarang hinggap di dalam dadanya. Walau tempat itu jadi sarang tempur sebelum dia keluar.
Kotak peralatan mandi sampai berceceran di lantai. Cermin pecah dihantam oleh gelas-gelas odol. Dan tumpukan bathrobe berjatuhan karena dia menarik handuk asal-asalan.
"Hahhh ... hahhh ... hahh ...."
CKLEK!
Alpha itu mengatur napas sebelum memutar kenop, padahal tadi dia baru habis mandi. Tetesan-tetesan air berjatuhan dari rambut hitamnya, tidak keset. Sampai-sampai cluster B bersiaga di sekitar ranjang saat dia melangkah.
KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK! KACRAK!
Dengan senjata, mereka berubah melindungi Apo dari sang Alpha, padahal pasangan bonding takkan melukai mate-nya sendiri.
"Tuan Takhon ...."
Namun, bagaimana pun tugas tetaplah tugas. Jika harus mempertaruhkan sesuatu, biarlah. Mereka akan melawan Paing atau siapa pun juga. Sebab Paing sendiri sudah kehilangan beberapa persen kewarasannya.
"Aku baik, aku baik. Kalian boleh keluar setelah ini," kata Paing saat mengodel lemari bajunya. "Sementara tolong tinggalkan kami berdua. Tapi waspadalah jika aku pergi ke acara live nanti malam."
"SIAP, PAK!"
Mereka berenam pun menghormat sebelum keluar. Disusul Bible usai menggantikan infus Apo. Ya, walau koas itu sempat lirik-lirik karena mencemaskan kondisi sang rekan.
"Bro, kau tahu kan, kau itu tidak pernah sendiri ...." kata Bible sebelum berlalu begitu saja. Sejujurnya dia jengkel karena tahu perangai asli Paing Takhon. Yang walaupun senang kumpul-kumpul, tapi jarang mengandalkan orang lain saat punya masalah.
CKLEK!
"...."
Paing pun menatap pintu yang tertutup dalam kesunyian. Dia menghela napas karena heran beberapa hari ini, tapi akhirnya terbaring di sebelah sang mate. Seperti insting, Alpha itu mulai menutup mata dengan berbantalkan bahu Apo. Tiba-tiba dia merasa itu tempat paling nyaman. Bahkan beban perlahan mulai menguap sendiri.
Dia juga bisa tidur pulas hingga nyaris petang. Pukul 6 baru bangun dalam kondisi segar. Walau Paing terpekur di tepi ranjang. "Aku ini sebenarnya kenapa," bingungnya. Lalu menoleh ke Apo yang tidak lagi menangis.
"Apa wajarnya memang begitu?" Pikir Paing. Dia pun coba mendekat ke Apo sekali lagi. Menekan dadanya sendiri dengan telapak. Lalu memeriksa detak jantung yang melambat setiap merasa gelisah. "Oke, sepertinya perkiraanku tidak keliru."
Sejak dulu, buku Omegaverse memang jarang memberikan keterangan jelas terkait bonding. Para penulis hanya menjabarkan tema dasar seperti feromon, scenting, dan lain-lain. Tapi hanya memberikan statement "Setiap mate akan merasakan efeknya sendiri jika sampai ke tahap itu." Tanpa rincian begitu detail.
Mungkin karena bonding sangat jarang terjadi, bahkan mayoritas pasutri saja tidak berani melakukannya. Lagipula, Omega mana yang mau diikat satu Alpha selama-lamanya? Pernikahan bisa saja bercerai. Toh seorang Alpha masih mampu mengikat Omega lainnya---shit. Mereka pasti takut tidak bisa memberikan seks kepada calon pasangan baru. Karena itu bisa membuat kehidupan romansamu berakhir juga.
Drrrtt ... drrrtt ... drrrtt ... drrtt ...
DEG
"Siapa?" gumam Paing yang tersentak dari lamunan. Dia pun mengangkat ponsel yang bergetar di atas nakas. Waspada. Seolah itu adalah ancaman karena perasaannya menjadi semakin tajam. "Halo?"
Suara berat Bretha terdengar dari seberang sana. "Are you okay, Sayang? Kenapa sampai ada laporan kau mengamuk-ngamuk di rumah?" tanyanya.
"Oh, iya ... ha ha, tidak tahu. Mungkin hanya karena kurang tidur saja," kata Paing apa adanya.
"Ckckck. Apa-apaan alasan jelek seperti itu," cibir Bretha yang dikelilingi suara ramai. Wanita itu sepertinya sudah sampai di helat acara. Siap memimpin misi penyisiran kasus. Tinggal menunggu Paing karena stadion ramai penonton sejak tadi siang. "Pokoknya aku tidak mau tahu, ya. Cepat siap-siap dan berangkat kemari." Dia bilang. "Kita diskusi sebentar di dalam. Sekalian kudandani kau dengan perlengkapan anti peluru dulu."
...
....
Otak Paing serasa macet sesaat. "Oh, iya ...." desahnya dengan ekspresi datar.
"Good. Dan jangan khawatirkan penampilanmu saat pemotongan pita," kata Bretha. "Sudah kudesainkan rompi balistik, Sayang. Bahan kevlar PT yang cocok dalam jas hitam. Dan pastinya ringan dikenakan hingga acara selesai."
Paing pun mengangguk pelan. "Oke. Thanks, Bretha. Aku benar-benar terbantu dengan kerja kerasmu," katanya. "Tapi bagaimana dengan permintaanku kemarin? Apa skin face-nya sudah selesai? Itu penting untuk membuat Amaara distrak saat beraksi nanti." (*)
Bretha pun tertawa keras. "HA HA HA HA HA! OF COURSE! Kau pikir kau sedang mengajak bicara siapa, hm?" tanyanya. "Seluruh cluster sudah menggunakan "wajah" Mew, Mile, Nadech, Ameera, dan bahkan milikmu sendiri. HA HA HA HA HA HA HA! Mereka pasti bingung mana yang harus diserang. Atau siapa kau yang asli diantara pasukan."
(*) Skin face atau kulit wajah hiperrealis tiruan. Lahir sebagai produk terobosan Jepang. Dan harga per bijinya lumayan mahal. Yakni 100.000 yen atau setara dengan 11,5 juta rupiah.
Mendengarnya, Paing pun langsung merasa lega. "Hmp, that's cool. Dan maaf subuh-subuh aku mengganggumu pada waktu itu," katanya. "Apalagi baru ingat mengatakannya sekarang ...."
"FUCK! TAKHON ....!"
Bretha pun mengomel-ngomel lebih panjang padanya. Tak terima. Lalu memaki dengan bahasa binatang sepuas hati.
"Ha ha ha ha ha ha," tawa Paing karena entah kenapa rekan-rekannya banyak yang mirip. Baik Luhiang, Bretha, dan lain-lain--mereka senang memperlakukannya sebagai adik, padahal segi umur lebih muda beberapa tahun.
"Ck. Cukup, pokoknya sementara begitu dulu," kata Bretha setelah capek. "Sekarang beritahu aku soal Omega-mu? Apa dia tidak kenapa-napa? Luhiang dramatis sekali saat cerita kemarin pagi. Apalagi cluster B bilang dia menangis di saat tidur," lanjutnya. "Apa perlu kususupkan orang untuk mengawasi Keluarga Bextiar? Kita mungkin bisa dapat bukti lebih jika melalui jalur dalam."
Aura Paing pun menggelap sesaat. "Tapi aku tak setuju kalau mereka bawa kamera, penyadap suara dan lain-lain," katanya. "Itu melanggar hukum, bukan? Jangan main-main saat bukti kami sudah sangat lemah."
Bretha malah tersenyum miring. "Tidak, tidak. Tenang saja, Sayang. Toh mereka lah yang menggigitmu dari dalam duluan," katanya "Setidaknya kita bisa menambah saksi. Gunakan CCTV di rumah mereka sendiri. Lalu tinggal mengurutkan tanggal pelanggaran untuk jadi bentuk pembelaan."
Mendengarnya, kelopak mata Paing pun turun perlahan. "Oke, lakukan apapun yang menurutmu terbaik," katanya. "Kupercayakan soal ini, Bretha. Dan tolong tunggu jam 8 hingga aku sampai ke tujuan."