JIKA KALIAN MENEMUKAN BUKU INI, SILAHKAN MENUJU KE "Angelic Devil [Season 1 End]" terlebih dahulu. Karena jika langsung kemari RUGI BESAR! Banyak golden scene yang akan terlewatkan. Terima kasih!
__________________________________
SELAMAT MEMBACA SEASON 2
ANGELIC DEVIL: The Crown
[Iblis Yang Seperti Malaikat: Mahkota]

"Menulis dengan hati. Tidak untuk memuaskan siapa pun kecuali diri sendiri."
[Ren]


7 Hari Kemudian ....
ACARA "Thailand Business Award 2015" ternyata diajukan lebih awal. Yang biasanya diadakan awal November, kini malah muncul di pertengahan September. Mile dan Apo pun memotong jadwal bulan madu mereka di Denmark, lalu segera pulang ke tanah air.
DEG
"Mile, ini serius ...." kata Apo setelah bangun dari tidur siang. Dia pun menepuk-nepuk bahu sang suami, lalu menunjukkan foto undangan resmi dari Nathanee sejam lalu.
"Apa? Sungguhan?" kata Mile yang langsung melihat layar ponselnya.
"Hu-um, tinggal 2 hari lagi," kata Apo. "Jadi, bagaimana? Kita tunda dulu destinasi berikutnya?"
Mile pun menghela napas panjang. "Tentu. Aku sih baik-baik saja," katanya. "Masalahnya kau, Apo. Tidak apa-apa jika kita batal lihat aurora-nya? Aku membawamu kemari karena ingin mengajakmu ke sana."

Apo pun diam sejenak. Dia menatap kedua mata Mile, lalu membayangkan mereka menikmati Aurora Borealis hijau yang legendaris itu. Sayang, tidak mungkin. Ini acara yang lebih penting daripada usaha mereka sepanjang tahun, dan tentunya kehormatan company dipertaruhkan di muka umum.
Akan ada banyak tokoh besar yang hadir di sana. Mulai dari musuh, rival, teman kerjasama, dan masih banyak lagi.
Oh, jangan lupakan juga soal Mew Suppasit. Apo tidak mengikuti kabar lelaki itu lagi sejak mulai koma. Jadi kemungkinan mereka nanti akan bersua dengan penggantinya. Entah siapa sosok itu. Entah kenapa juga diangkatnya. Yang pasti mustahil itu dari pihak orangtua. Sebab Mew sudah kehilangan mereka sejak remaja, jadi hanya kakek nenek, jika bukan sanak saudaranya.
"Aku tidak apa-apa, Mile," kata Apo akhirnya tersenyum. "Memang kenapa sih harus sedih? Kita kan bisa kemari lagi kapan-kapan. Tinggal atur waktu saja yang lebih sesuai. Lagipula anak-anak juga ada peningkatan. Mereka sekarang lebih mudah kalau ditinggal. Setidaknya sudah kenal dengan babysitter, jadi tidak hanya butuh di dekatku saja."
"Are you sure?" tanya Mile berusaha tak khawatir.
"Iyaaaa," kata Apo. "Ya sudah, ayo bersiap-siap. Setidaknya kita paham pemetaannya meskipun ini dadakan sekali."
"Hm."

Tahun lalu, penghargaan antar pengusaha itu sudah diadakan tiga kali berturut-turut di Bangkok. Kali ini giliran mereka harus langsung ke Surat Thani. Dan di sana ada hotel "Four Season Resort Koh Samui" yang siap menyambut hangat.
"Selamat datang di Koh Samui ...." kata para resepsionis Beta tersebut. Mereka tampak cantik dengan make-up yang natural, lalu memberikan Mile dan Apo dua kunci untuk bermalam.
Well, pada dasarnya Mile dan Apo memang memiliki company terpisah. Mereka pun menerima dua-duanya, walau di akhir menyerahkan salah satu kepada para bawahan.
"Ini, Wen. Pakai saja dengan Yuze dan yang lain. Di dalam ada lebih banyak fasilitas. Jadi sayang kalau disia-siakan," kata Apo. "Tapi misal mau pisah ya silahkan. Tak masalah. Kalian booking saja kamar yang dimau. Tapi sepertinya yang first class sudah dipesan semua untuk para tamu VVIP."

Wen pun berterima kasih dengan raut cerah saat menatap Apo. Wanita Alpha itu tampak tak menyangka, lalu undur diri dengan gaya elegannya. "Tidak apa-apa, Tuan. Ini lebih dari cukup," katanya. "Selamat beristirahat hingga besok pagi ...."
"Iya, sama-sama."
Mile dan Apo pun melalui malam itu dengan perasaan yang campur aduk. Seolah diajak balapan tiba-tiba, mereka hanya berpelukan untuk menenangkan satu sama lain. Bagaimana pun, ini momen yang akan berpengaruh hingga satu tahun berikutnya. Jadi, daripada tenang dan tidur lelap ... kemewahan dalam kamar hotel itu rasanya biasa saja.
Malahan hambar.
Mile tahu usahanya semenjak datang belum maksimal, apalagi mengingat proses pembiasaannya dengan meja kantor tidak sebentar. Jadi, dia pun meminta maaf ulang kepada Apo Nattawin, padahal sang Omega sudah tidak pernah membahasnya samasekali.
"Aku paham, aku paham," kata Apo sambil mengelus punggung Mile yang memeluknya. "Sudah kubilang tak masalah, Mile. Kau jangan terlalu kepikiran seperti ini ...."


"Lagipula aku juga sempat batal kembali," batin Apo. "Nanti pasti kubantu begitu pulang. Jadi kita mulai semuanya dari awal lagi."
"Hm ...." kata Mile, meski tetap kedengaran tidak puas kepada diri sendiri. "Kalau begitu mari kita tidur. Sudah larut. Jangan lupa bangunkan aku semisal kau lebih dulu."
Apo pun mengangguk pelan. "Hm, don't worry."
Cup. Kali ini Apo lah yang berinisiatif bergerak untuk sang suami. Dia seolah menjelma jadi ibu yang teramat hangat, lalu menyusuri wajah Mile dengan kecupan-kecupan sayangnya.
"Hmmmh ...."
Tidak hanya bibir saja. Mulai dari kening, hidung, pipi, dagu. Apo pun memastikan semua dapat perhatian, barulah menarik selimut untuk mereka berdua.
"Good night, Daddy-nya Kaylee," batin Apo sebelum memejamkan kedua matanya. "Good night juga dari Ed dan Er untukmu."



Keesokan harinya, pukul 8. Suasana gedung selebrasi yang berjarak 2 kilo dari hotel pun dihiasi keriuhan sebagaimana rundown yang telah berjalan. Beberapa pebisnis hadir awal untuk mengikuti acara, dan tidak sedikit juga yang berasal dari kaum perempuan.
Ckrek-ckrek-ckrek-ckrek-ckrek
Diantara lampu flash yang terus menjepret, mereka pun melangkah anggun untuk memberikan vibe yang bagus. Sesekali ada yang tersenyum, sesekali ada yang memberi hormat, sesekali ada juga yang melambai kepada kolega di sepanjang jalan.
Saat itu, Mile dan Apo memang datang bersama-sama. Mereka berdampingan saat keluar dari limusin, tapi harus terpisah karena nomor urut kursi yang berbeda.
"Hubungi aku kalau sudah selesai," kata Mile sebelum meninggalkan Apo dua langkah ke depan. "Tapi tidak masalah jika ingin mengobrol dengan beberapa orang terlebih dahulu."
Apo pun tersenyum dan mengangguk saja. "Um, dah ....." katanya sembari melambai kecil.

"Aaaah ... Tuan Takhon!" seru seorang wanita tiba-tiba. Apo pun refleks menoleh ke belakang, padahal dia tadi sudah mengekori Mile yang melenggang untuk memasuki gedung.
"Oh, halo, Luhiang," sapa Paing kepada kolega kerjanya. Alpha yang baru datang dengan limusinnya itu pun menangkup tangan, lalu berjalan berdampingan dengan Luhiang.
Oh, sungguh. Tanpa menunjukkan aneh-aneh pun semua tahu, mereka merupakan tim yang hebat untuk tahun ini. Terlebih Apo ingat Luhiang di urutan ketiga diantara para pesaingnya tahun lalu. Dia pun tampak bagus di jepretan kamera bersama Paing, walau setelah itu terpisah juga karena denah yang berbeda.
"Halo, Phi," sapa Apo setelah Paing berjalan ke jalur yang dia tuju. Mereka pun beradu sapa dengan senyuman, lalu tertawa kecil karena tempat duduk yang ternyata bersisian.
"Ha ha ha, wow?" kata Paing sebelum mempernyaman diri di kursi miliknya. "Kuharap kau tidak bosan bertemu lagi denganku secepat ini."
Apo pun terkekeh kecil karenanya. "Apa-apaan, Phi? Makin lama, kau makin jaga jarak denganku, ya? Kenapa? Mulai alergi dengan Apo Nattawin?" candanya. Well, harusnya itu bukan hal baru. Apo memang senang menggunakan candaan satire sejak dahulu, bahkan Mile saja sampai tertular kebiasaannya. Karena itulah, saat resepsi mereka kemarin juga ada momen-momennya. Sayang, reaksi Paing ternyata beda daripada dulu. Lelaki Alpha itu tiba-tiba terdiam lama, barulah tersenyum saat menatap panggung.

"Hm, ya, memang harus lebih hati-hati saja," kata Paing dengan kedipan fokus. "Kalau dulu, status kita masih sama-sama mahasiswa. Jadi, memang sudah sepantasnya tak ada batasan," jawabnya sangat realistis. "Tapi sekarang kita sudah duduk di sini, Apo. Apalagi aku. Hanya seorang newcomer. Jadi mungkin ... agak sedikit diperhatikan beberapa orang." Lelaki Alpha itu lantas menoleh padanya dengan senyuman. "Tapi tak masalah. Aku senang kau tidak berubah ...."
Apo pun terdiam menyimak Paing kali ini.
"Maksudku, bahkan meski sudah terjun lebih awal," jelas Paing. "Terima kasih untuk tidak meremehkanku, dan tetap seramah Apo yang kukenal dahulu."
Ada jeda cukup panjang saat mereka saling bertatapan di tempat itu. Entah apa maknanya, dan entah kenapa alasannya. Yang pasti terdapat emosi yang dalam dari kedua bola mata tersebut. Sampai-sampai Apo merasakan kesedihan aneh, padahal sudah balas tersenyum begitu manis. "Um, sama-sama, Phi," katanya. Lalu menyesap wine yang disajikan seorang butler. "Mungkin karena aku tak pernah punya saudara. Jadi, rasanya senang saja mengenal dirimu."
Kali ini, giliran Paing lah yang mendengarkan baik-baik perkataannya.
".... Phi itu sudah seperti kakak bagiku," kata Apo. Meski mata fokus pada lalu lalang tamu, Omega itu justru mengenang gambaran Paing yang dikenalnya dulu. "Jadi meski Phi sudah lupa, aku ingat setiap bantuan yang kau berikan padaku."
"...."
"Entah waktu materi, atau masa-masa praktek ... semuanya saja, Phi. Jadi aku sangat berterima kasih."


Paing pun mengalihkan pandangan dari wajah Apo. Dia tidak pernah tahu sang Omega meletakkan dirinya dalam tempat khusus, karena selama ini pikirannya hanya fokus pada pendidikan. Dengan aktif dalam organisasi, praktik lapangan di sana-sini, jadi pengurus ini dan itu, dan sebagainya. Maka jangan heran dirinya lebih suka jelajah S3 daripada mencoba banyak hal.
Kalau boleh jujur lagi, Apo sebenarnya hanya satu diantara sekian banyak junior yang pernah dibimbing Paing. Dia sering sukarela menjawab persoalan-persoalan tugas, toh memang langganan jadi narasumber alumni dalam seminar.
"Oh, iya. Sama-sama," kata Paing sambil mengangguk pada waiter yang tadi menawari kudapan nampan. "Jangan khawatirkan soal itu. Senang bantuanku bisa membawamu sampai sejauh ini, Apo."
"He he he, iya Phi."
"Mungkin giliranku yang harus belajar darimu mulai sekarang," kata Paing, yang tiba-tiba mengembangkan senyum paling tulus sepanjang obrolan ini. "Bagaimana pun pengalamanmu lebih banyak dariku, Apo. Jadi, berhentilah merasa berhutang apapun ...."
Ketika gelas milik Paing disodorkan, Apo pun menatap wine merah di hadapannya. Dia senang suasana diantara mereka mencair, barulah Apo mengangguk dengan senyuman yang sama tulusnya. "Oke ...."
Ting ....

Namun, ternyata obrolan sederhana itu lebih lama dari yang mereka bayangkan. Paing dan Apo sama-sama tidak menyadari acara berjalan sejak tadi, apalagi lampu spot light tiba-tiba menyoroti meja mereka.
"Sekali lagi, kita beri selamat kepada Best CEO of The Year 2015/2016: Presiden Direktur Rachrood Mark Dynamics Thailand Paing Takhon!!!"
DEG
"Tunggu, aku?" gumam Paing. Dia memang sempat terkejut, tapi tetap menguasai ekspresi sebelum kemudian berdiri. Senyum di wajahnya tampak mengembang lebar, dan tepuk tangan meriah pun menggema di sekitarnya. "Terima kasih, terima kasih ...." katanya, lalu memandang Apo untuk pamit permisi.
DEG
"Oh, iya, Phi. Silahkan ...." kata Apo yang tidak kalah terkejutnya. Dia pun berdiri untuk memeluk sang Alpha dengan tepukan punggung, barulah Paing berjalan di atas karpet merah untuk menerima penghargaan pertamanya sebagai eksekutif.
Benar-benar sosok yang sangat bersinar. Award emas di tangannya saja kalah memesona, apalagi Paing mengenakan setelan putih dan radiant smile saat memberikan speech-nya di depan sana.

"Tunggu, Phi ... kenapa kau ...."
Sayangnya, mengenal Paing justru membuat Apo merasa aneh dengan senyuman itu. Sebab dia pernah melihat potret yang sama, tepat setelah sang Alpha absen semingguan dari kampus waktu itu.
Di tengah hujan yang deras. Diantara kemacetan jalan yang sesak. Apo melihatnya berpartisipasi dalam demo politik kenegaraan, padahal tidak pernah melakukannya selama ini.
"Phiiii! Phiiii! Ini sudah jam 10 malam! Apa tidak mau ikut pulang aku?" tawar Apo khawatir. Dia pun membuka jendela mobil, lalu melambaikan tangan pada Paing meski ikut tersiram hujan. Mungkin karena kejadiannya tepat setelah kematian Fay Aaron, Apo pun berpikir Paing hanya sedang melampiaskan energi negatif di dalam dirinya.
"...."
Saat itu, Paing hanya diam dan meletakkan bendera coreng morengnya. Dia tidak mendekat samasekali, malahan tersenyum manis sebelum berbalik dan lari pergi.
"Phi selalu saja begitu ...." gumam Apo sebelum duduk kembali ke kursi. "Kenapa tidak bilang saja kalau sedang bermasalah? Semua orang pasti pernah merasakannya."
Bersambung ....
NB: Yang dilakukan Paing ini disebut "Stress Language Pressure," (atau bahasa tubuh saat seseorang sedang frustasi) jadi semakin bermasalah dia, semakin keras pula terhadap diri sendiri. Misal malah makin rajin dalam kehidupan sehari-hari. Sering bersih-bersih biar perasaan lega. Olahraga biar enggak mukul orang. Kerja keras sampe mampus biar lupa masalahnya, dan pokoknya yang sejenis.
Oh, iye. Bagaimana kondisi Daddy Mile ngelihat Bab 1 ini? Semua terjawab nanti di bab berikutnya!
____________________________________
____________________________________
‼️ HARAP DIPERHATIKAN ‼️
Karya "Angelic Devil" adalah milik author. Kalian pembaca berkunjung kemari tidak dipungut biaya apapun. Jadi, tolong bijaksana dan jaga sikap. Karena author menulis bukan untuk pesanan commission. Tidak untuk memenuhi fantasi orang lain, request, atau apapun yang berbau protes.
_________________________________
NB: Di buku ke-2 memang akan terjadi kisah cinta segitiga. Kalau gak suka, silahkan baca karya yang lain. Author akan tetap mengikuti diri sendiri untuk menyelesaikan karya ini. Terima kasih.
Ren