Penggunaan Dopamin harus dengan resep dokter. Karena ini digunakan memicu sensasi hormon kesenangan saat kalian sedang stress. Terlalu sedikit menyebabkan gangguan mental, kebanyakan malah jadi agresif. Well, untuk sekelas CEO pasti mereka punya dokter pribadi. (Suatu hari akan Ren bahas di adegan entah apa. Just wait patiently)
***
Madrid, Spanyol.
PAGI BUTA pukul 6 kurang 12 menit, Mile benar-benar siap dengan penampilan rapi. Lelaki Alpha itu berjalan cepat ke landasan Bandara Barcelona El Prat. Disambut tiga bawahannya yang tampak sangat menggigil. Kentara sekali mereka juga kesusahan bangun awal, tapi tetap berlaku profesional.
Saat duduk, Yuze dan Wen mengambil kursi ternyaman yang paling depan. Sementara sang CEO justru agak jauh dari mereka. Mile sengaja memisahkan diri untuk berpikir leluasa. Lalu berterima kasih saat pramugari pribadinya menyajikan sarapan.
"Tuan Presdir," panggil Jirayu sebelum Mile mengambil sendoknya.
"Ya?"
Takut-takut, Jirayu tetap melakukan tugasnya sebaik mungkin. "Maaf, ini ponsel dan koper Anda yang sempat tertinggal. Di dalamnya ada pesan tentang istri Anda, tapi maaf belum bisa disampaikan kemarin."
DEG
"Apa?" Mile pun segera mengambil benda itu dari tangan Jiraiyu.
"Anda semalam sepertinya lelah sekali," kata Jirayu coba menjelaskan. "Jadi, saya tidak tega jika memaksa kehendak. Mohon maaf sebesar-besarnya, Tuan. Saya layak mendapat hukuman."
Mile malah tidak fokus pada perkataan Jirayu. Dia membaca catatan yang co-translator-nya siapkan, lalu meneliti alamat RS juga nomor baru yang semalam menghubunginya. "Oh ...." desahnya dengan lengan yang melemas. Bagaimana tidak? Jelas-jelas Apo sempat dalam situasi darurat, tapi dia malah tidak tahu samasekali. "Oke, pergilah. Aku mau menelpon istriku dulu."
Jirayu berdebar kencang. "Yakin, Tuan?" tanyanya. "Tapi saya sudah melakukan kesalahan fatal--"
"Iya, iya. Sudah sana," kata Mile dengan mengibaskan tangan. "Suruh pilot menunda perjalanan 30 menit lagi. Aku mau melihat keadaan bayi-bayiku sekarang."
DEG
"B-Baik!" Jirayu pun menundukkan kepalanya gugup. "Permisi ...."
Well, sebut Mile berlebihan terserah. Namun, bibirnya bisa tersenyum hanya dengan memandang wajah Edsel di wallpaper. Barulah menghubungi Apo dalam keadaan debar-debar cemas.
Drrrrrttt ....
"Apo, tolong angkat teleponku kali ini," gumam Mile sampai lupa tidak menyendok sarapan. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa mabuk-mabukan seperti itu? Ya Tuhan."
Drrrrttt ....
Masih nada sambung yang teramat menyebalkan. Oh, Mile memang sudah terbiasa diabaikan sang Omega, tapi tidak jika dalam situasi seperti ini. Dia pun sabar menunggu hingga percobaan memanggil belasan kali, barulah dijawab dari seberang sana.
"Halo, Mile?"
DEG
"Oh, my God ...." desah Mile lega. Dia pun tersenyum, lalu berdiri mondar-mandir tanpa disadarinya. "Bagaimana keadaanmu, Sayang? Aku benar-benar minta maaf soal kemarin. Di sini--"
"Aku juga sangat-sangat minta maaf," sela Apo, meski tidak biasanya dia melakukan itu dalam telepon. "Anu, Thailand sudah pukul 12 lebih. Jadi, aku baru dibangunkan dari tidur siang. Maaf, ya. Kuabaikan lagi telepon darimu."
Entah kenapa, Mile langsung senang hanya dengan nada bicara Apo yang clingy. "Hm, tenang saja. Yang penting kau banyak-banyak beristirahat," katanya. "Tapi kenapa sampai begitu? Bisa katakan padaku? Masih ada waktu kok sebelum berangkat." Dia menilik arloji sebentar.
Apo sepertinya tersenyum di seberang sana. "Iyakah?" tanyanya. "Jangan lupa sarapan juga untukku. Jaga diri."
Hei, ada apa dengan Omega-nya ini? Tidak biasanya manis sekali.
"Baiklah, pasti kulakukan nanti," kata Mile. "Sekarang cerita saja semua. Apo, jangan membuatku khawatir. Jirayu bahkan bilang kau di rumah sakit sekarang. Habis demam?"
Apo sempat melenguh perlahan. "Hrrrmh, iya. Kangen," katanya lalu tertawa. Nada memang seperti bercanda, tapi Mile tahu Apo bukan tipe Omega yang mudah melakukannya. "Bukan hanya aku saja, Mile. Tapi Ed, Ed, dan Kay pun begitu. Mereka semua sering rewel jika kau tak ada di rumah. Sementara aku capek sekali mengurus ketiga-tiganya."
Dicurhati di tengah-tengah kesibukan, Mile entah kenapa malah bangga sekali. Mungkin karena ini pertama kalinya, sang Alpha jadi amat menikmati. "Hmph, besok aku ini sudah pulang. Sabar," katanya. "Sekarang harus ke Las Vegas dulu. Terakhir. Akan kubawakan sesuatu juga untuk kalian," janjinya.
"Tidak juga tidak apa-apa," kata Apo. "Aku hanya ingin kau cepat pulang, Mile. Kemari. Jemput aku di rumah sakit ...." keluhnya dengan suara tersendat. Mungkin, Apo kini sedang mengusap mata basahnya, padahal sang Omega jarang sekali menangis. Catat. Apalagi karena hal yang dulu dianggapnya sepele seperti ini. "Aku ini membutuhkanmu. Hiks ... aku ini sangat mencintaimu. Tapi ... aku ...." Apo sudah tidak bisa melanjutkan perkataannya.
Mile sendiri memilih diam untuk mendengarkan baik-baik. Dadanya hangat karena sang Omega mengharapkan kedatangan. Bahkan kalau bisa menerjang lelaki itu sekarang juga.
"Mile ... hiks ... hiks ... pulang ...."
"...."
"Aku benar-benar ingin memelukmu lagi ...."
Lama sekali isakan Omega itu. Mata Mile sampai ikutan berair, barulah dia membuka mulut setelah Apo mulai tenang. "Ok, listen to me, Apo. Kau boleh menggangguku kapan pun itu. Jangan ditahan," katanya. "Telpon saja kalau ingin dengar suaraku, chat, atau vicall sekalian tak masalah. Kalau sibuk, nanti pasti kubuka di saat senggang. Kalau bisa, pasti segera kuangkat. Aku ini milikmu. Alpha-mu. Aku menghargaimu lebih daripada apa atau siapa pun, jadi jangan berpikir ... hei, aku akan diabaikan karena dia sudah tidak peduli--no, kau mengenalku lebih dari diriku sendiri. Kalau berubah, bukannya kau bisa taekwondo untuk memukulku? Oh, shit. Jangan lupa soal anggar dan menembak juga. Aku bahkan diancam dengan perjanjian pra-nikah resmi. Jadi, apa semuanya masih kurang? I ... completely belong to Apo Nattawin Wattanagitiphat, fair enough?" tanyanya.
Lama sekali Apo terdiam, tapi kemudian sang Omega tertawa riang. "Ha ha ha ha ha, oke ...." katanya seperti kembali menjadi bocah. "Kalau begitu, sematkan nomorku yang paling atas. Wajib," tegasnya langsung posesif.
Mile malah ikutan tertawa-tawa. Lalu memijit kening yang kini tak lagi pusing. "Mulut siapa itu yang baru bicara? Aku sudah melakukannya sejak tahu kau hamil anakku," katanya.
DEG
"A-A-Apa? Serius?" tanya Apo yang pastinya sedang merona.
"Tentu. Lagipula mana bisa kuabaikan kalau ada apa-apa padamu," tegas Mile. "Sial. Sudah sampai begini kenapa baru membuka diri? Kupikir aku sudah mendapatkanmu sejak dahulu."
Apo pun terisak sekali lagi. Dia minta maaf berkali-kali, lalu praktik omongan Mile meski wajahnya sudah bengkak di sana-sini. "Ha ha ha ha, jelek," tawanya sambil menyusut ingus. Dan meskipun itu vicall paling tak estetik yang pernah Mile terima, sang Alpha malah gembira. "Aku, maksudku. Aku sudah begini sejak kemarin. Kau yang jahat karena membuatku menangis lagi. Padahal kan ... bengkak mataku seharusnya sembuh hari ini."
"Bodoh ...." kekeh Mile dengan mengetuk layar ponselnya. "Oke, sekarang aku mau lihat mereka bertiga. Apa tidur? Kalau tidur tidak usah tidak apa-apa."
Apo pun mengusapi mata dengan lengan-lengannya yang ramping. Lalu menoleh ke sisi kiri. Di sana ada kotak bayi yang diisi baby triplets. Dua lelap, satu sendirian masih terjaga. "Umn, Er masih bangun kok di sini. Tidak apa-apa kalau cuma satu?" tanyanya.
"Ya, tentu. Sini," kata Mile. Apo pun mengambil Blau Er untuk dihadapkan ke layar, sementara baby itu hanya kedip-kedip saja.
"Halo, Daddy ...." kata Apo dengan suara kecilnya. Dia mengesun Er di depan sang Ayah, sementara Mile tidak bisa membendung air matanya lagi.
"Oke, oke. Aku pasti akan segera pulang ...." kata Mile sambil tertawa kecil. "Hm. Daddy usahakan langsung menyusul ke sana nanti "
***
RS Bumrungrad, Bangkok, Thailand.
Lagi-lagi ada buket bunga yang datang. Padahal Paing hanya tertular demam dan bukan meninggal, tapi setiap satu jam pasti seseorang masuk untuk menjenguknya di bangsal peristirahatan.
Paing tahu, siapa pun itu sebenarnya mereka tidak peduli. Semua hanya cari muka karena dirinya CEO baru, yang artinya belum hapal pemetaan orang di dalam perusahaan. Anehnya, Perth tidak berkomentar banyak saat ingin melapor padanya.
"Biarkan saja," kata Paing yang baru sadar dari pingsan ketiga kalinya. "Atau lebih bagus jika kau angkut semua. Risih. Buang atau berikanlah ke toko bunga. Siapa tahu mereka mau menjualnya ulang."
Mengabaikan buket bunga-bunga, Perth cepat mendekat untuk duduk di sebelah Paing. "Daripada itu, ini map kuning yang Anda inginkan," katanya, lalu mengulurkan sebuah berkas untuk sang Presdir. "Terus, soal Tuan Natta sepertinya tidak bagus. Beliau tidak ingat apapun samasekali. Jadi, sayalah yang dikira mengurusnya malam itu."
DEG
Jari Paing pun berhenti, meski sempat ingin membuka halaman. "Oh ...." desahnya dengan ekspresi yang datar. Alpha itu tampak termenung sejenak, sementara Perth mencoba menjelaskan.
"Tadi sempat mau saya ceritakan," kata Perth. "Tapi, mungkin karena khawatir ... beliau langsung menanyakan baby-nya. Jadi--"
"Tak masalah, itu bukan apa-apa," kata Paing dengan gelengan kecil. Kedua matanya berfokus kepada map kuning, walau Perth tahu isi pikirannya tidak begitu. "Lagipula memang aku yang ada di sana. Dan sudah tugasku sebagai dokter untuk melakukannya."
"Oh, baik," kata Perth sebelum berdiri. "Kalau begitu saya pamit dulu, Tuan. Tapi, jika ada sesuatu lagi, hubungi saja segera. Untung hari ini saya praktek malam."
"Hm," kata Paing. Lalu menyentakkan dagunya ke arah pintu. "Jangan lupa saja untuk bilang suster aku ingin istirahat."
"Oh?"
"Siapa pun tidak boleh masuk lagi setelah dirimu keluar."
Perth pun mengangguk pelan. Lalu melipir sopan untuk mundur dari ruangan itu.
Bersambung ....