Pagi itu, Zara tampak tergesa-gesa. Di luar rumah, kabut tipis masih menutupi jalan, dan angin pagi yang sejuk membuat suasana terasa lebih tenang. Tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang terus berputar. Setelah pertemuan kemarin dengan Dylan, dia merasa sedikit lega, tetapi juga bingung. Dia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan, tetapi dia masih belum bisa sepenuhnya mengungkapkan perasaannya.
Hari itu, Zara menuju ke kantor, berusaha fokus pada pekerjaan yang menanti. Namun, pikirannya tidak bisa lepas dari Dylan. Sejak pertama kali mereka berbicara secara jujur, rasanya dunia seakan berubah. Bahkan saat dia berusaha berfokus pada tugas yang harus dia selesaikan, bayangan senyum Dylan terus muncul dalam pikirannya. Zara bahkan sempat merasa geli sendiri, karena dia tidak pernah merasa begitu cemas dengan sebuah hubungan sebelum ini.
Di sisi lain, Dylan juga merasa sedikit cemas. Setelah percakapan mereka semalam, dia merasa lebih dekat dengan Zara, tetapi dia juga tahu bahwa hubungan mereka tidak akan berjalan mulus begitu saja. Apalagi, dengan pekerjaan Zara yang selalu menyita waktunya, Dylan harus lebih pintar dalam menemukan waktu untuk mereka berdua.
Setelah beberapa jam bekerja, Zara akhirnya bisa melarikan diri sejenak ke kafe favoritnya, tempat di mana dia bisa duduk dengan nyaman sambil menikmati secangkir kopi. Pikirannya tetap kembali pada Dylan, dan bagaimana dia merasa semakin menarik. Tentu saja, perasaan ini membuatnya bingung.
Saat Zara melangkah masuk ke kafe, dia melihat seorang pria duduk di sudut ruangan. Dengan hoodie hitam dan celana jeans, pria itu tampak familiar. Tentu saja, itu Dylan. Tanpa pikir panjang, Zara langsung mendekat dan duduk di depannya.
"Kenapa lo di sini? Gue kira lo sibuk kerja," ujar Zara dengan nada heran, meski dalam hatinya ada rasa bahagia melihat Dylan.
Dylan tersenyum lebar. "Gue cuma pengen lihat lo. Gue tahu lo pasti sibuk, tapi nggak ada salahnya, kan, ngabarin lo sedikit?"
Zara merasa hatinya sedikit meleleh. Walaupun sikap Dylan sering terlihat santai dan kadang konyol, ada sisi yang sangat peduli yang membuatnya terkesan. "Lo ini, bisa nggak sekali-sekali nggak nyebelin?"
Dylan tertawa. "Lo bilang gitu, tapi lo senang kan gue datang? Ya udah, anggap aja kejutan."
Zara tersenyum tipis, tapi kemudian matanya kembali fokus pada secangkir kopinya. "Jadi, lo nggak ada kerjaan atau gimana?"
"Bukan nggak ada kerjaan. Cuma pengen ngajak lo ngobrol. Lagian, kerjaan gue kan nggak sepadat lo, ya," jawab Dylan, melirik ke arah Zara yang masih sibuk memikirkan pekerjaannya.
Zara menatap Dylan dengan tatapan tajam. "Gue nggak ngerti, Dylan. Kadang lo bikin gue bingung. Lo pengen ngapain sih?"
Dylan sedikit terdiam, sebelum akhirnya berkata dengan serius, "Lo tahu kan, gue peduli sama lo. Tapi gue juga nggak mau lo merasa terbebani. Gue nggak mau lo mikir gue cuma pengen nempel terus. Gue cuma mau lo tahu, gue ada buat lo kapanpun lo butuh."
Zara terdiam. Kata-kata Dylan memang sederhana, tapi ada kejujuran yang dalam. Di satu sisi, dia merasa senang, tapi di sisi lain, dia merasa cemas dengan perasaan yang mulai tumbuh.
"Tapi, Dylan... kadang gue takut gue bakal nyakitin lo. Gue nggak mau kalau perasaan ini cuma jadi beban," ujar Zara, suara sedikit gemetar.
Dylan mendekat, dengan lembut meraih tangan Zara. "Lo nggak bakal nyakitin gue, Zara. Gue yakin kita bisa ngadepin ini bareng-bareng. Tapi kalau lo nggak siap, gue nggak bakal maksa."
Zara menatap tangan Dylan yang menggenggam tangannya. Dia merasa bingung, tapi juga merasa nyaman dengan keberadaan Dylan. Mungkin, dia tidak perlu takut lagi. Mungkin, inilah waktunya untuk membuka hati sedikit lebih lebar.
"Makasih, Dylan. Tapi jangan bikin gue makin bingung, ya. Gue nggak mau salah ambil langkah," kata Zara sambil tersenyum kecil.
Dylan mengangguk, mata penuh keseriusan. "Gue nggak akan bikin lo bingung lagi. Gue janji, ini nggak akan jadi beban."
Setelah perbincangan itu, Zara merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, mereka memang berada di jalan yang sama, meskipun tidak ada kepastian yang pasti. Yang penting, mereka berdua bisa saling mendukung, dan itu cukup untuk membuat Zara merasa sedikit lebih tenang.
Namun, saat mereka sedang mengobrol, sebuah kejadian tiba-tiba terjadi. Tiba-tiba, Amanda masuk ke dalam kafe dan langsung menuju meja mereka. Zara sempat terkejut, dan dia bisa merasakan ketegangan yang muncul begitu saja. Meskipun dia mencoba tetap tenang, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa sedikit terganggu.
Amanda melirik ke arah Dylan, lalu tersenyum dengan sikap yang sangat ramah. "Oh, kalian berdua di sini! Apa kabar, Dylan? Zara, lama nggak ketemu. Kayaknya lagi asyik ngobrol, ya?"
Zara hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Amanda. Lagi ngobrol santai aja."
Dylan yang merasa canggung berusaha untuk tetap menjaga suasana. "Iya, cuma ngobrol-ngobrol ringan aja."
Amanda menyandarkan tubuhnya pada meja, masih dengan senyum yang tak berubah. "Kalian berdua terlihat kompak banget sih. Senang deh liatnya. Gue cuma ngeliat lo berdua, nggak ada yang lain, kok."
Zara merasa sedikit tertekan, namun dia mencoba untuk tetap santai. Tidak ada alasan untuk merasa cemas, kan? Dia tahu perasaan Dylan terhadapnya, dan itu yang paling penting. Tapi saat Amanda terus-menerus mencoba untuk mendekati Dylan, rasa cemburu itu muncul kembali dalam dirinya.
Di saat itu, Dylan menyadari ketegangan yang ada. "Amanda, kita cuma ngobrol santai kok. Nggak ada yang aneh-aneh."
Amanda tersenyum lebih lebar, seolah tahu apa yang sedang terjadi. "Tentu, Dylan. Cuma gue pikir, kadang hubungan itu butuh waktu, kan? Lo harus bisa memilih dengan hati-hati siapa yang benar-benar lo pilih."
Zara merasa kalut. Ada sesuatu dalam sikap Amanda yang terasa mengganggu. Namun, dia mencoba untuk tidak membiarkan perasaan itu menguasai dirinya. Dia harus belajar untuk lebih percaya pada Dylan, karena itu yang penting.
Namun, percakapan mereka yang tadinya santai, kini berubah menjadi lebih tegang. Zara merasa semakin ragu tentang perasaannya dan hubungan ini, tetapi satu hal yang pasti—dia tidak ingin kehilangan Dylan.