webnovel

7. Nafilla Ashelyn Niskala

🍁🍁🍁

Gadis manis yang sering ia kuncir dua itu tampak menggemaskan dengan aksesoris lucu menghiasi rambutnya, Assel suka sekali menata rambutnya. Buna Saras memanggilnya dengan nama Assel atau Nafilla panggilannya ketika di sekolah. Gadis yang ceria dan suka bercerita dengan wajah menggemaskan itu selalu berhasil memecahkan suasana, namun jika sudah julid Lunar pun bangga dibuatnya. Assel suka sekali jika Yasha mendandaninya, anak itu suka memakai baju yang lucu-lucu dan Falen pernah memberinya hadiah kostum dinosaurus untuknya.

Gadis itu suka sekali mengikuti Ryden kemanapun dia pergi, walaupun kembarannya yang satu itu tak mau di temani, Ryden lebih suka sendirian tapi baik Assel atau Lingga tak pernah membiarkannya sendiri. Assel suka berbelanja bersama Lunar dan hobi bermain gitar, gadis itu pernah ikut lomba dance ketika SD dan mendapat juara satu. Mengemaskan begini omongannya yang kelewat jujur sering kali membuat Yasha ketar-ketir ketika membiarkannya sendiri apalagi ketika bersama si kembar ada saja tingkahnya yang ikut membuat Yasha istighfar.

Ia bisa bersikap dewasa disaat tertentu, contohnya jika bersama Ryden sifatnya yang suka menjaga itu muncul atau ketika bersama Lingga sifat manjanya akan ia tunjukkan pada kembarannya yang hobi bermain basket itu. Si cantik Assel yang tawanya melengking seperti lumba-lumba itu sangat membuat Ryden sabar dengan tingkahnya.

Hanya gadis itu yang bisa membuat Rheana dengan rela hati berbagi camilan dengannya, Rheana juga yang mengajarkan bela diri teknik dasar agar Assel bisa menjaga dirinya. Gadis itu suka sekali membuat Falen kesal karena tingkahnya yang diluar nalar bagi Falen, walaupun kakaknya yang satu itu tak bisa marah lama dengannya. Saat kecil keduanya sangat dekat dan tak terpisahkan walaupun sekarang banyak berdebat. Assel suka sekali membuat kue untuk adik bungsunya, anak itu bahkan punya buku resep aneka kue yang ingin ia coba buat walaupun berakhir dapur berantakan dan kena marah Falen.

_________

"ASSEL PULANGGGG,"

Gadis yang kini mengepang rambutnya dikedua sisi itu membuka pintu gerbang dengan wajah ceria, berlari masuk menghampiri Falen yang tengah duduk di sofa sambil menonton televisi kemudian memeluk lengannya. Falen tak berminat menoleh ia hanya menepuk-nepuk puncak kepala sang adik dengan mata fokus pada tayangan di televisi.

"How's your day, dek? Kok tumben pergi sendirian? I mean si kembar nggak ngintilin kamu gitu," Yasha datang dengan beberapa camilan di kedua tangannya, ia dengan senang hati membukakan tutupnya satu persatu agar adik-adiknya bisa langsung memakannya

"Yaa gitu.. aku ancam dikit," ucap Assel lirih membuat kedua kakak perempuannya itu mendekatkan wajahnya. Assel menghela nafas bersiap untuk cerita. "Tadi tuh Assel ketemu sama temen-temen, kita mau girls time kalo Ai sama Yaden ikut bakal kaya bodyguard.. Assel nggak suka ih diikutin gitu mana mukanya datar banget," gadis itu mencebikkan bibirnya diakhir ceritanya

Yasha menepuk-nepuk puncak kepala sang adik, ia tentu paham betapa posesifnya kedua adik laki-lakinya itu mengingat kejadian yang membuat mereka hampir saja kehilangan gadis ceria bersuara lumba-lumba itu. Dulu, Assel memang hampir diculik ketika pulang sendiri untung saja Lingga dengan sigap menolongnya atau mereka akan frustasi kehilangan gadis itu. "Gakpapa, tapi lain kali biarin Ai sama Yaden ikut aja. Minimal biarin mereka boys time gitu, beda meja gakpapa kok."

"Gitu gitu mereka sayang sama lu, cil. Kasian penculiknya soalnya kalo bawa lu,"

"Kok gitu?!" Ucap Assel kesal, ia menjauh dari Falen dengan wajah kesal yang justru begitu menggemaskan di mata kakaknya

Falen menahan senyum menatap gadis itu, "Mana ada sih yang mau nyulik manusia lumba-lumba begini? Yang ada telinga mereka rusak denger suara melengking mu itu,"

"Kak.." Assel menatap Yasha dengan wajah sedihnya, Yasha sendiri hanya melebarkan tangannya agar adiknya itu memeluknya

"Gimana? Lancar gak?" Tanya Lingga menuruni anak tangga, ia sudah berniat turun begitu mendengar suara melengking kembarannya itu namun memilih duduk di anak tangga mendengarkan pembicaraan mereka

"Yaa gitu.."

"Masih berteman sama Shella emang?" Tanya anak laki-laki itu duduk lesehan, ia mencomot kue kering yang tengah Falen peluk toplesnya

Falen hendak protes namun ada hal yang membuatnya penasaran, "Shella sape? Eh, ini adek gue nggak dibully kan?"

Assel menggelengkan kepalanya dengan heboh, wajahnya yang terlihat panik sangat membuat Falen dan Yasha merasa curiga, Lingga memilih acuh saja menonton televisi dengan telinga yang siap mendengarkan penjelasan masuk akal kembarannya itu.

"Terus?" Tanya Falen

"Kita berteman baik kok, cuma---" ada jeda panjang yang membuat Falen geram sendiri namun melihat wajah tenang Yasha membuatnya mengurungkan niatnya untuk emosi

"Aku tuh nggak tau salahnya dimana tapi setiap kali jalan sama Shella tuh ada aja hal yang bikin aku nggak nyaman atau tentang hal yang bikin dia nggak suka, menurut aku nggak wajar aja pembicaraannya.."

Kedua gadis yang paling tua itu saling menatap tak mengerti, Falen menyenggol lengan Lingga dengan kakinya. Adik laki-lakinya itu menoleh dengan mulut penuh wafer yang membuat pipi sebelah kirinya menggembung layaknya tupai yang menyimpan makanannya, Lingga berdehem menyadarkan tatapan ketiganya, ia buru-buru mengunyah sebelum berbicara.

"Apa?" Katanya dengan wajah polos

"Menurut lu Shella orangnya gimana?" Tanya Falen membuat adiknya itu berpikir sambil mengemil

"Hmmm orangnya centil sama kecakepan sih," Yasha mengerjapkan matanya, terkejut dengan ucapan menohok sang adik. Lingga yang menyadari tatapan si sulung lantas mengubah arah duduknya jadi membelakangi televisi dan menghadap ketiganya dengan wajah serius. "Maksud Ai tuh emang dia cakep sih tapi terlalu pede yang nyakitin orang aja kalo ngomong, rada toxic lah anaknya. Makanya Ai larang Assel temenan sama dia tapi Assel bandel, mana Yaden nggak bisa diandelin lagi."

Yasha mengangguk mengerti, ia mengelus rambut kepang sang adik, "Kalo emang Assel nggak nyaman berteman sama mereka gakpapa jauhin aja, mungkin emang susah tapi kalo Assel udah tegur kesalahan mereka dan nggak didengerin bukan salah Assel kalo milih pergi,"

Gadis berpipi chubby itu menunduk sambil memainkan jari jemarinya, ia terdiam saat Yasha menggenggam kedua tangannya.

"Kak Yash yakin kok kalo masih banyak orang yang mau berteman sama adiknya kakak yang cantik ini," Yasha memeluknya dengan erat, tanpa kata, hanya tepukan menenangkan yang Assel bisa rasakan

"RADEN! SINI GAK LO!!"

"NAMAKU RYDEN BUKAN RADEN!"

"SAMA AJA TEMENNYA PAK OGAH!"

"KAK RHEAN!"

"RADEN!"

Keempatnya bersaudara itu hanya menatap Rheana yang tengah mengejar Ryden yang memeluk tasnya dengan erat. Kedua bersaudara itu berlarian memutari ruang tamu hingga membuat Falen pening sendiri.

"Jangan lari-lari, nanti jatuh terus luka." Ucap Yasha

"DENGERIN NOH RADEN." Rheana berkacak pinggang menatap nyalang pada sang adik yang menaiki anak tangga "SINI GAK LU!"

Ryden panik saat Rheana kembali mengejarnya, laki-laki itu segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia bernafas lega saat lolos dari kejaran kakak kelimanya itu, tersentak kaget saat gadis itu menggedor-gedor pintu kamarnya dengan brutal.

"RHEAN JANGAN BERISIK, GANGGU TETANGGA NANTI." Dapat Ryden dengar decakan kesal dari sang kakak begitu suara si sulung terdengar dari lantai bawah

"Ish Kakak tuh berisik tau tidak? Adik sedang menggambar jadi salah terus tau!"

Ryden melempar tasnya ke sembarang arah, memilih memeluk adik bungsunya yang tengah menggambar diatas kasurnya, tak peduli rengekan yang keluar dari si bungsu.

Ketokan pintu membuatnya mendengus malas, ia sudah berbaring dengan mata terpejam. Ryden menoel pipi Seanne yang pasrah saja ia peluk. "Adik buka pintu gih, Kak Yaden mager,"

Seanne menepuk tangan sang kakak yang memeluk tubuhnya dengan erat, hampir saja menggigit jika Ryden tak segera melepaskan pelukannya. Dengan terpaksa anak itu turun untuk membukakan pintu dengan rambut acak-acakan.

Lingga melewati adik bungsunya begitu saja, berbaring di kasur miliknya dengan menenggelamkan wajah ke bantal. Ia memekik begitu tubuhnya dipeluk dari dua arah, tanpa melihat siapa tersangkanya pun ia sudah tau. Tubuhnya terlalu lelah hanya untuk bergerak.

"Alay bet padahal cuma turun tangga nyamperin Assel doang berasa kaya marathon setahun, dasar introvert." Ryden melepaskan pelukannya dan berguling ke kasurnya sendiri, ia menatap langit-langit kamar

Lingga melirik sinis kembarannya itu, andai saja sifat magernya tidak keluar habis sudah Ryden. Sekarang Lingga hanya memejamkan mata merasakan peluk hangat Seanne.

"Minggir, minggir!"

Mau tak mau Ryden berguling ke sisi kiri agar Assel bisa berbaring juga, untung saja ia tak jatuh dari tempat tidur karena ketiga kasur itu tak disatukan. Mau tak mau Ryden mengalah dan memilih tiduran di kasur milik si bungsu.

"Ayo bobo berempat. Adik bobo didekat Abang!"

Lingga merubah posisinya menjadi terlentang, melebarkan tangannya begitu Seanne ingin dipeluk. "Nanti kamu gelundungan kalo tidur disini, tidur di tempatmu sana," usirnya namun tak sedikitpun melepaskan pelukannya

Kedua anak kembar itu menoleh saat mendengar suara yang Ryden timbulkan, ternyata lengan laki-laki itu menabrak pembatas kasur yang mengelilingi kasur si bungsu. Gama sengaja membedakan kasur Seanne dan keduanya, milik Seanne lebih mirip kasur bayi yang bisa diturunkan pembatasnya sementara kasur si kembar layaknya kasur pada umumnya.

"Sakit?" Tanya Lingga dengan wajah meledek

Ryden tak menjawab, ia merajuk membelakangi ketiga saudaranya, memeluk boneka berbentuk Winnie the Pooh berukuran besar itu.

"Udah lama ya kita nggak tidur berempat," ucap Assel tiba-tiba membuat Lingga yang tengah bercanda dengan Seanne lantas berhenti "Padahal dulu kita nggak bisa dipisahin, selalu bertiga ehh berempat sama Adik beda kasur."

Ryden mengangguk dalam diamnya, ia menoleh begitu Lingga mematikan lampu, hanya cahaya lampu tumblr yang menyala bekas dari tujuh belasan tahun lalu. Membuat kamar luas itu tak terlalu gelap, karena Ryden takut gelap.

"Perlu camilan nggak buat deeptalk?" Laki-laki berkaos merah itu duduk bersila diatas kasur menatap kembarannya, dengan pelan ia mengangkat kepala Seanne ke pahanya. "Atau mau tisu? Perlu gue ambil nih?"

"Nggak usah neko-neko deh kucing garong!"

"Elu noh kucing Oren,"

"Gue lebih penguasa berarti,"

"Kena senggol dikit aja oleng, lemah." Cibir Lingga membuat kembaran laki-lakinya itu melemparkan boneka Seanne padanya, ia menoel pipi Seanne "Adik, liat tuh bonekanya dibuang Kak Yaden, marahin gih,"

"Adu domba anjirr,"

"Fakta cuyy."

Assel menggelengkan kepalanya mendengar keributan yang dibuat kedua kembarannya itu, "Ini kalo Bunda liat kalian udah dijewer sih, yakin gue tuh."

"Mana ada! Bunda tuh orang baik, nggak akan gitu!" Kata Lingga

"Baik sih bener, tapi pantaslah Bunda jewer lu kalo nakal, inget gak waktu Ai jatuh di got gara-gara berantem? Bunda yang lagi beli sayur sampe marah anjirrr, mana itu sayuran belum dibayar lagi sampai tukangnya nagih ke rumah," mereka tertawa mendengar Ryden bercerita, tentu ketiganya mengingat masa itu dengan jelas

"Gue paling inget Assel sih, Bunda sampai telepon polisi karena dia mainnya nggak sama kita, parah lu!"

"Kan gue udah izin waktu itu sama Ayah, bundanya nggak denger ternyata."

Ryden mengangguk setuju, "Ayah juga lupa anaknya udah izin, kita yang lagi makan mie disuruh ikut nyari juga, pas elu ketemu mie kita udah melar buset, karena takut ketahuan bunda jadi kita makan aja di kamar,"

"Yaden juga pernah tuh dimarahin Bunda karena salah beli, Bunda minta dibeliin garam dia beli gula," Lingga tertawa menunjuk Ryden yang kembali melempar boneka si bungsu, kali ini laki-laki itu tak bisa menangkapnya dan membuat boneka panda itu jatuh ke kolong kasur "Parah lu, Raden."

Lingga menggapai boneka tersebut dengan susah payah, tak ingin bergerak lebih karena kepala sang adik ada diatas pahanya. Namun yang menarik perhatiannya adalah mata Seanne yang berkaca-kaca berhasil membuat Lingga membeku.

Ia menatap kedua kembarannya yang juga terdiam akibat reaksi yang ditimbulkan Lingga, mereka seakan lupa jika adiknya tak ikut berada di masa itu bersama mereka. Assel yang segera sadar mendekati Seanne yang masih diam di posisinya, gadis itu berjongkok didepannya, menghapus air mata yang menetes di pipi adik mereka.

Seanne yang tersadar telah membuat ketiga kakak kembarnya hening lantas bergegas duduk, menghapus wajahnya dengan tergesa namun Lingga menahannya dan memeluk tubuhnya yang mungil.

"Nangis aja nggak papa kok, Kakak jahat ya?" Melihat Seanne menggeleng justru makin membuat dada Lingga terasa sesak

"Ayo ceritakan lagi tentang Ayah dan Bunda, Adik mau dengar," ucap anak itu dengan lirih membuat ketiganya saling tatap

"Haus nih, mau minum dulu gak?" Lingga mengipasi wajahnya begitu matanya ikut berkaca-kaca, ia mendengus saat melihat Ryden sudah menangis dengan wajah merah "Nggak usah nangis lu jelek." Kini giliran Lingga yg melempar bantalnya kearah Ryden, namun kembarannya itu hanya diam saja

"Adik mau minum apa? Makan ice cream mau? Kita cerita sambil makan ice cream ya?" Tak perlu menunggu jawaban para saudaranya Lingga segera bangkit dari duduknya, kini Assel yang memeluk sang adik

"Bunda itu baik, Ayah juga baik, mereka sayang banget sama kita,"

"Kenapa Ayah berganti menjadi Daddy? Karena Adik lahir ya?" Pertanyaan itu tak kuasa keduanya jawab, Ryden memilih keluar dari kamar dengan mata sembab, tak peduli jika bertemu dengan Rheana nantinya

Assel menarik nafas dalam-dalam, di otaknya menyusun kata-kata yang sekiranya bisa diterima adik kecilnya itu walaupun pada intinya Assel belum siap menjelaskan kebenaran itu. "Adik di sekolah dipanggil siapa?"

"Shankara.."

"Kak Yaden?"

"Kak Hanasta,"

"Abang Lingga?"

"Bang Madha,"

"Kak Rheana?"

"Kak Aru,"

"Kalo Kak Falen?"

"Kak Ayanna."

"Terus Mbak Gifya?"

"Eumm Mbak Amaya,"

"Kak Lunar?"

"Kak Ara dan Kak Yasha dipanggil Kak Nayan."

Assel mengangguk sebagai jawaban, ia mengelus rambut sang adik yang sudah panjang itu. Sepertinya ia akan mengajak anak itu untuk potong rambut Minggu ini. "Nggak peduli entah Ayah atau Daddy yang jelas kita semua sayang sama Adik, okay?"

Walaupun masih banyak pertanyaan didalam benaknya, yang mampu Seanne lakukan hanya menganggukkan kepalanya. Ia menghapus air matanya menatap sekeliling yang sepi lalu menatap Assel. "Kak Assel, kenapa kita dipanggil pakai nama depan bukan nama kita yang di rumah?"

"Anggap aja itu panggilan sayang yang paling istimewa, panggilan khusus seseorang yang disebut keluarga. Adik sayang kita semua kan?" Anak itu menganggukkan kepalanya dengan antusias "Nanti kita cerita-cerita lagi ya tentang Bunda, sekarang Adik tidur aja,"

Assel menuntun adik bungsunya untuk naik ke ranjang paling pojok, menaikkan pembatas agar adiknya tidak jatuh dalam tidurnya tak lupa mengecup keningnya sebelum benar-benar menutup rapat pintu kamar mereka.

"Loh udahan?" Tanya Lingga yang datang dengan tiga ice cream di kedua tangannya sementara dibelakangnya ada Ryden yang tengah menggigit ice cream dengan wajahnya yang masih memerah, anak itu yang paling ketara jika sedang menangis, makanya tak jarang Lingga suka meledeknya cengeng walaupun bagi Assel keduanya sama-sama cengeng.

"Elu sih lama, pake nangis dulu lagi, huuu cengeng." Ledek Lingga mengacak-acak rambut kembarannya itu, Ryden hanya menatap Lingga dengan tatapan datar namun dengan wajahnya yang memerah begitu bukannya lebih terlihat lucu?

Assel menarik tangan keduanya untuk duduk di pendopo, mengambil satu cup ice cream rasa strawberry dari tangan Lingga lalu ia makan dengan mata berkaca-kaca. Lingga juga melakukan hal yang sama dengan helaan nafas berat yang membuat Ryden kembali terisak.

"Kok nangis sih?" Assel menyenggol lengan Ryden yang duduk disamping kanannya sementara Lingga ada di sisi kirinya

Linggga menahan tawa namun tangannya menepuk-nepuk pundak sang kembaran.

"Adik kasian, kita jahat ya kalo bahas masa lalu? Kita pernah bahagia sama Ayah dan Bunda sementara Adik--" Ryden kembali terisak membuat Assel dan Lingga saling tatap, menahan tawa begitu Ryden yang terkenal tanpa ekspresi itu menangis sesenggukan begini

"Makanya sekarang kita buat Adik bahagia sama kita, sama Kakak yang lain dan Daddy. Ayah dan Bunda juga pasti bahagia liat kita," Assel menatap langit gelap itu, hatinya juga ikut sakit namun ia tak ingin membuat kembarannya ikut bersedih "Tau gak? Aku nggak pernah membayangkan loh kita punya Daddy dan Kakak, aku pikir kita bakal tinggal di panti atau diasuh Om sama Tante,"

"Yaden yang nggak mau diasuh mereka, orang jahat!" Ryden menghapus sisa air matanya, dari raut wajahnya yang ketakutan membuat Assel segera memeluknya. "Yaden nggak mau ikut mereka,"

"Kalo itu gue juga gak mau kali, mending jadi gelandangan aja," ucap Lingga

"Daddy yang nggak akan biarin kalian jadi gelandangan tuh,"

Ketiganya menoleh saat mendengar suara Gama, duda tampan dengan kemeja digulung sampai siku itu mendekat kearah mereka, memeluk Ryden yang kini menangis di pelukan Gama.

"Lagi bahas masa lalu sambil makan ice cream ya? Harusnya pecel lele gak si? Daddy bawain tuh sembilan kotak,"

"Dad, yang bener aja! Udah malam juga pake dibawain pecel lele, nggak laku ya?"

Gama mengacak-acak rambut Lingga, "Kebanyakan bergaul sama si kembar nih anak. Mana ada! Sejak kapan Cafe Daddy jualan pecel lele?"

"Tapi Tante Binar punya usaha pecel lele, kali aja nggak laku," celetuk Lingga membuat Assel menaboknya. "Dad, ayo kapan-kapan ajak kita ke resto Tante Binar, aku mau malak makanan,"

"Nanti ya kalo Daddy ada waktu," Gama mengelus puncak kepala ketiga anaknya

"Ayo makan," Ryden mengerjapkan matanya saat kembaran dan Gama menatapnya. "Apa? Aku lapar loh, nangis juga butuh tenaga."

"Cepat banget moodnya berubah buset.. " heran Lingga melihat kembarannya yang satu itu sudah melangkah masuk ke dalam rumah

🍁🍁🍁

下一章