Dunia yang Aman

Penjaga pintu tampak bingung ketika mereka bertiga tiba di pintu masuk.

Leyla menunjukkan senyum ramah padanya seolah-olah dia mengerti mengapa penjaga pintu menatapnya dengan heran karena tidak ada yang pernah membawa sepeda jelek ke hotel terbaik di kota.

Sepedanya diambil setelah penjaga pintu memeriksanya dan Claudine selama beberapa menit. Leyla memasuki hotel setelah mengucapkan terima kasih dengan salam sederhana.

Ruang minum teh terletak di sisi kanan lobi utama. Manajer membawa mereka dengan langkah cepat ke teras yang menghadap ke seberang sungai.

Yang terakhir duduk di meja adalah Leyla.

Tidak yakin apakah dia bernasib buruk hari ini, tetapi kebetulan kursinya berada tepat di seberang Duke Herhardt.

Untuk menghindari tatapan dinginnya, Leyla buru-buru menatap pahanya.

Matahari musim panas terpantul dengan cemerlang pada kacamata tipis berbingkai emasnya. Duke terus menatapnya dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi di sungai, Leyla benar-benar menakjubkan.

Bukankah orang yang ketahuan telanjang seharusnya merasa lebih malu daripada orang yang melihatnya?

Sulit untuk menyangkal bahwa rakyat jelata dan pelayan tidak lebih dari furnitur atau lukisan bagi orang-orang aristokrat.

Mereka tidak malu telanjang di depan perabot. Dan tidak ada satu pun perabot yang terkejut saat melihat orang telanjang.

Meja teh sudah disiapkan pada saat Leyla sampai pada kesimpulannya.

Meskipun Duke Herhardt belum memberi perintah, secangkir kopi beraroma kuat diletakkan di depannya. Kemudian, dia memegang gagang cangkir teh dengan jari- jarinya yang lancip halus dan menyesapnya.

Seperti mereka telah melupakan keberadaan Leyla, Claudine dan Matthias asyik melanjutkan diskusi mereka sendiri.

Dari pameran yang mereka lihat hari ini, berita tentang kerabat mereka, hingga rencana pesta akhir pekan di mansion, percakapan mereka mencakup semua topik sekilas ini.

Suara bariton lembut Matthias dan nada tinggi sopran Claudine tumpang tindih secara berkala.Leyla bingung mengapa mereka membawanya jika mereka akan mengobrol di antara mereka sendiri.

Tindakan Lady Brandt sepenuhnya di luar pemahamannya.

Leyla selalu gagal memahami Claudine sejak pertemuan pertama mereka di musim panas itu.

"Jadi, Leila. Bagaimana sekolah mu? Apakah kamu bersenang-senang?"

Suara Claudine dan suara cangkir yang diletakkan di atas piring bisa terdengar pada saat yang sama. Meskipun dia hanya satu tahun di atas usianya, dia selalu berbicara dengan Leyla seolah-olah dia berbicara kepada seorang anak dengan cara seperti orang dewasa.

"Ya, Nona."

Untuk Paman Bill.

Leyla meneriakkan di kepalanya ketika dia menjawab Claudine. Dia berulang kali menjawab dengan senyum konstan setiap kali Claudine mengajukan beberapa pertanyaan lagi tentang kehidupan sekolahnya dan mengangguk puas.

Claudine ingin jawaban Leyla menjadi 'Ya, Nona.' Dan Leyla juga sudah terbiasa merespons dengan cara itu.

"Kamu akan lulus tahun depan kan?"

Nada bicara Claudine masih terdengar ramah, meski Leyla hanya memberikan jawaban sepintas.

"Ya, Nona"

"Setelah lulus, apa yang ingin kamu lakukan?"

"Saya akan mendaftar ke program untuk sertifikat mengajar."

"Oh, seorang guru...?"

Claudine mengangkat sudut bibirnya sambil meraih cangkir tehnya. Anggukannya menggetarkan pita dan korsase yang menghiasi topi kecilnya.

"Kau gadis yang baik, Leyla. Itu adalah tujuan yang luar biasa. Saya percaya itu akan cocok untuk kamu. " Claudine tersenyum sekali lagi, memuji Leyla atas mimpinya yang mengagumkan. "Bukankah itu benar, Duke Herhardt?"

Secara tidak sengaja, Leyla mengalihkan fokusnya ke Matthias. Mata berwarna birunya lebih jernih saat dia memakai kacamatanya.

Leyla buru-buru menurunkan matanya saat dia menyadari dia telah melihat Duke terlalu lama.

"Saya mengerti."

Dengan tenang, Matthias setuju.

Kehadiran Leyla kemudian memudar lagi. Dia merasa lega karena dia ingin waktu minum teh yang tidak nyaman ini berakhir secepat mungkin.

Kyle pergi bermain tenis, dan dia seharusnya menemuinya di kota. Jadi Leyla khawatir dia akan terlambat untuk janjinya.

Leyla, yang cemas, mengangkat kepalanya. Pada saat yang sama, Matthias menoleh dan menatapnya. Leyla tidak menghindari kontak matanya seperti yang dia lakukan sebelumnya dan membalas tatapannya dalam diam.

Ketika dia masih muda, mata biru Matthias mengingatkannya pada permen kristal bundar berwarna mazarine yang rasanya manis seperti gula. Leyla menggelengkan kepalanya tidak percaya pada kebodohan masa mudanya.

"Yah, Duke Herhardt dan Lady Claudine, mohon permisi."

Leyla sudah cukup duduk diam dan membuka bibirnya yang lembut.

"Apakah kalian keberatan jika aku permisi?"

Dia merasa seolah-olah bisa bernapas lagi setelah mengalihkan pandangannya dari mata Matthias ke mata Claudine.

"Aku berjanji pada temanku bahwa aku akan bertemu dengannya sore ini."

Leyla mengobrol dengan ekspresi cemas di wajahnya. Tapi segera, ekspresi gugupnya menghilang dan dia menghela nafas lega setelah Claudine tersenyum, mengangguk, dan memberikan izinnya.

Dia berlari keluar dari hotel dan segera mengayuh sepedanya melalui jalan-jalan yang ramai setelah dengan sopan mengucapkan selamat tinggal kepada keduanya.

Namun ada sesuatu yang aneh tentang itu; semakin Leyla mengayuh lebih jauh dari Duke, semakin tak terlupakan wajahnya di benaknya.

Apa karena kacamatanya?

Sambil menghela napas panjang, Leyla merenung. Penjelasan terbesar dia terhipnotis oleh Duke, dia percaya, adalah karena kacamatanya. Dengan penglihatannya yang ditingkatkan, itu normal jika napasnya terhenti ketika dia melihatnya.

Leyla tiba di titik pertemuan tepat saat dia akan pingsan karena lelah mengayuh pedal yang dia lakukan.

Kyle, yang pertama kali tiba di hadapannya, tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.

Akhirnya, dia berhasil masuk ke tempat amannya.

***

"Dia sudah dewasa, kan? Dia terlihat seperti seorang wanita sekarang."

Claudine mengalihkan pandangannya ke arah yang ditinggalkan Leyla beberapa waktu lalu. Dia terdengar seperti seorang ibu yang melihat putrinya meskipun dia hanya setahun lebih tua darinya.

Matthias melontarkan senyum yang pantas, "Karena dia seorang wanita."

Dia memberikan jawaban yang moderat dan tanpa ekspresi. "Ya. Memang."

Claudine kemudian berhenti sejenak, tenggelam dalam pikirannya, sebelum menunjukkan senyumnya yang seterang sinar matahari musim panas.

"Oh. Apa kah kamu mendengar? Riette baru saja membeli mobil baru." Dia dengan cekatan mengubah topik pembicaraan.

Di dunia yang mereka bagikan, keduanya melanjutkan pembicaraan mereka. Seolah-olah Leyla Lewellin, yang biasa duduk di seberang mereka di meja, tidak pernah ada di sana sama sekali.

Tapi anehnya Leyla dan Matthias bertemu lagi di tempat yang tidak terduga.

Matthias sedang dalam perjalanan kembali ke rumahnya setelah menikmati istirahat minum teh yang santai. Dia dengan santai melirik ke luar jendela penumpang mobil saat mobilnya berhenti karena jalan yang penuh sesak.

Di trotoar, dia melihat sekilas, Leyla yang sedang menyeret sepedanya.

Dia berjalan menyusuri jalan yang sibuk dengan seorang anak laki-laki. Pemuda yang akrab yang pernah dia lihat sebelumnya di masa lalu tampaknya adalah teman yang dia janjikan untuk dia temui.

Matthias kemudian mengingat nama anak laki-laki yang tampak familiar itu.Putra dokter Herhardt. Kyle Etman.

Leyla Lewellin meneriaki anak laki-laki yang terus mengetuk-ngetuk kacamatanya, tapi anak laki-laki itu tampak seperti mengatakan sesuatu yang lebih nakal, membuat Leyla menghela nafas kesal, diikuti dengan tawa kecil.

Keduanya terhenti di depan tangga perpustakaan setelah menghabiskan waktu lama tertawa dan bercanda.

Leyla duduk di bawah tangga setelah memarkir sepedanya.

Bocah itu mengikutinya dengan kantong kertas di tangannya dan mengeluarkan dua botol soda dan sandwich dari dalamnya.

Leyla Lewellin dan anak laki-laki itu duduk bersebelahan di tangga dan berbagi makanan. Dia tertawa terbahak-bahak setiap kali bocah itu mengatakan sesuatu. Ketika Leyla tertawa, anak laki-laki itu ikut tertawa.

Sementara itu, lalu lintas di jalan yang sibuk mulai bubar, dan mobil mulai bergerak lagi.

Matthias mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap Claudine yang duduk di seberang jendela mobil di sisi yang berlawanan.

Setelah bertukar senyum singkat dan kemudian beberapa, keduanya melanjutkan obrolan kecil mereka yang menyenangkan.

Matthias secara tidak sengaja mengingat ingatannya dari waktu minum teh mereka saat itu -

Leyla Lewellin duduk diam dalam posisi tegak dengan tangan di lututnya dan kemudian pergi dengan tenang tanpa menyentuh cangkir teh di depannya.-

'Hmm, dia meninggalkanku untuk anak laki-laki itu.'

Kebenaran yang menyakitkan itu membangkitkan ingatannya akan ekspresi gugup dan kesakitan Leyla.

'Jadi dia memilih untuk melihat bocah itu......... '

Saat pikirannya mencapai titik ini, Matthias mengingat punggungnya saat dia berjalan menjauh dari teras hotel, bergegas seolah dia melarikan diri darinya.

"Jadi, dia meninggalkanku hanya untuk pergi menemui bocah itu."

Sementara dia asyik dengan pikirannya, mobil mereka sudah melewati jalan Platanus menuju perkebunan Arvis.

Saat mobil melaju di sepanjang jalan di mana Leyla jatuh dari sepedanya, Matthias menekankan pada dirinya sendiri bahwa gadis itu.

Leyla Lewellin bukan apa-apa baginya.

Namun, untuk beberapa alasan, dia tidak terlalu senang dengan perasaan tidak nyaman yang ada di dalam dirinya saat itu. 

***

"Aku akan membelikanmu es krim karena aku memakan sandwichmu."

Dengan senyum tipis, Leyla berdiri dari tangga perpustakaan. Dia mengemas kantong kertas kosong, bersama dengan minuman botolan, ke dalam keranjang sepedanya dengan hati-hati.

"Tidak, terima kasih. Kamu tidak perlu membelikan saya apa pun. "

Kyle melompat ke sepedanya dengan seringai canggung. Leyla duduk di kursi belakang sepeda, yang merupakan posisi biasanya.

Bahkan di tengah matahari musim panas, Kyle dapat dengan jelas merasakan suhu tubuhnya dipindahkan ke punggungnya.

Kyle mulai mengayuh untuk mengurangi panas di pipinya. "Astaga, dia bisa memelukku sedikit lebih erat."

Dia bergumam pada dirinya sendiri saat Leyla dengan lembut menggenggam pinggiran kemejanya seolah menggodanya.

Kyle senang dengan cengkeramannya, meskipun dia sedikit berharap.

Sejujurnya, dia sengaja meninggalkan sepedanya di rumah untuk mengendarai Leyla bersamanya.

Leyla, tentu saja, sama sekali tidak mengerti tentang niatnya.

"Kau tahu, Kyle."

Suara menenangkan Leyla tiba-tiba merembes melalui angin yang berputar-putar.

"Hmm?"

"Aku akan tetap membelikanmu es krim."

Kyle terkekeh mendengar tawarannya yang tiba-tiba karena dia sudah penasaran dengan apa yang dia katakan. "Jujur; kamu hanya ingin makan es krim, bukan?

"..... Bukan itu." Itu seperti itu.