webnovel

Iced Cappucino

"Akhir akhir ini sering rame ya, Mas?" Komentar salah satu pembeli yang sedang diproses pesanannya. Seorang mbak-mbak berpakaian sederhana tapi tetap kelihatan cantik, mungkin karena orang cantik pakai apapun tetap kelihatan bagus.

"Hampir bareng semesteran anak sekolah sama kuliahan," jawab Indra meniru ucapan Pak Hendi.

"Pantesan, pie buahnya sering kosong," bibirnya yang agak merah dimanyunkan manja.

"Iya, maaf. Kami ga berani pesan ke orang lain, kuatir beda kualitasnya. Ada lagi yang lain, Mbak?"

"Ini dulu aja, Mas. Berapa totalnya?"

"Semuanya enam puluh ribu, Mbak."

"Pakai Qris bisa, ya?"

"Iya, silahkan."

Sambil menunggu pembayaran dari Mbak tersebut, Indra melirik ke arah meja meracik minuman. Pak Hendi sedang fokus menggiling biji kopi untuk persediaan hingga nanti malam.

"Sudah masuk, Mbak, terimakasih."

"Iya, terimakasih, Mas."

Setelah Mbak cantik tadi, kini giliran pemuda sebaya Indra. Berbeda dari pemuda seusianya, dia memakai kemeja lengan panjang dan celana kain yang rapi. Bahkan rambut hitamnya pun tersisir rapi ke belakang. Mungkin sudah bekerja di kantor atau sedang magang.

"Iced cappucino pakai syrup ekstra whip cream satu, satu creamy cheese waffle, sama satu pudding coklat."

"Bawa pulang atau makan disini?"

Pemuda itu melihat ke area duduk kafe yang padat dan penuh pengunjung meski masih sore.

"Dibawa pulang saja," jawabnya.

"Sebentar, saya siapkan."

Sambil menunggu pesanannya diproses, pemuda tadi mendekati Pak Hendi yang nyambi membuat cappucino.

"Pak, laundry yang bagus sebelah mana, ya?"

"Saya biasanya ke Tokcer di ujung jalan ke selatan situ. Cucinya bersih, setrikanya juga rapi cuman ya harganya di atas rata-rata."

"Ya saya cobain nanti, Pak. Bingung ini mendadak ART di rumah berhenti. Oiya, kalau pesen kue buat diambil pagi jam 8, bisa apa nggak, Pak Hen?"

"Mau pesan berapa, Mas?"

"Sekitar dua puluh kotak, satu kotak isi dua sama air mineral satu."

"Buat kapan? Kalau memang bisa, saya usahakan." Jawab Pak Hendi sambil menyegel minuman yang sudah selesai.

"Belum fix jadwalnya, Pak. Nanti saya kabari lagi," pemuda tadi kembali beralih ke Indra. "Berapa semuanya?"

"Semuanya empat puluh ribu."

Pemuda tadi mengeluarkan selembar lima puluh ribu. "Ambil aja kembaliannya."

"Eh. Kembalinya masih sepuluh ribu," Indra bingung.

"Buat Masnya aja," pemuda tadi langsung ngeloyor sedikit tergesa-gesa.

Masih memegang uang sepuluh ribu, Indra menoleh ke Pak Hendi untuk minta petunjuk.

"Anggap rejeki lebih," Pak Hendi mengangguk tenang.

Mengembalikan uang tadi ke meja kasir, Indra langsung melayani pembeli berikutnya.

. . .

"Pak, ada lagi yang bisa saya bantu?" Tanya Indra saat mendekati waktu pulang. Setelah seminggu bekerja, dia bisa mengira-ngira apa saja yang perlu dilakukannya dengan inisiatif sendiri.

"Uang tip sepuluh ribu tadi ada dimana?"

"Saya taruh di meja kasir, Pak."

Pak Hendi yang sedang membuat catatan penjualan dan menghitung uang, mengambil selembar sepuluh ribu dan memberikannya pada Indra. "Buat kamu."

"Hehehe, makasih, Pak."

"Iya, hati-hati."

Indra sangat senang, biasanya orang tidak mengambil kembalian kalau kurang dari seribu atau dua ribu. Baru kali ini dia mendapat tip sebanyak itu. Selagi muda, Indra ingin menabung sebanyak-banyaknya agar bisa menghidupi keluarganya kelak kalau sudah berumah tangga. Syukur-syukur kalau bisa membuka usaha sendiri dekat rumah.

Untuk sekarang, dia masih belum terpikir akan usaha apa. Usaha yang bisa dijalankan olehnya yang tidak sampai lulus SMA. Yang bisa dijalankan dengan modal kecil, ketekunan dan kerajinan. Mungkin berjualan jajan seperti ibunya dulu, jajan yang bisa dijual dengan harga mahal.

Indra yang sudah keluar dari parkiran menatap lagi ke arah kafe tempatnya bekerja. Makanan dan minuman yang dijual disana termasuk mahal bagi Indra tetapi ada sesuatu yang membuat orang rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli disana dibandingkan di tempat lain. Mungkin dia akan berbicara lebih lanjut ke bossnya yang masih muda kalau bertemu lagi besok.

Sesampainya di kos, Indra langsung ke kamar mandi untuk mencuci pakaian kotor sebelum membersihkan badannya. Karena tempat menjemur terbatas, lebih efisien baginya untuk mencuci sedikit setiap hari dibandingkan menundanya. Pakaian yang dijemur sedari siang juga sudah kering.

Perut Indra lumayan keroncongan meski tadi sudah makan malam di kafe. Matanya melirik ke dompet berisi uang untuk kebutuhannya sehari-hari. Saat dibuka, selain selembar sepuluh ribu yang didapatnya tadi, ada beberapa lembar puluhan ribu yang totalnya tidak sampai seratus.

Masih ada tiga minggu lagi sebelum gaji pertamanya, dan kalau mau lebih irit, memasak sendiri setiap hari. Dari rumah Indra membawa penanak nasi elektrik, beberapa panci dan kompor kecil. Kalau dia berhati-hati untuk makanan seminggu tidak sampai seratus ribu. Khusus untuk makanan, Indra bahkan membeli lemari plastik untuk meminimalkan serangan serangga dan hewan lain.

Untuk menenangkan pikirannya sebelum tidur, Indra membuka kitab suci dan membacanya dengan suara lirih. Awalnya Indra membaca seperti biasa, berusaha untuk khusyuk sambil memahami artinya. Hingga sampai pada bagian yang menjelaskan tentang keutamaan bersabar, hatinya terasa remuk. Walau dengan mata berkaca-kaca dan suara terisak, Indra berusaha melanjutkan sampai matanya terpejam tak kuasa menahan sedih.

"Tuhan, Mohon berikan pertolongan pada hambaMu. Mohon berikan kekuatan dan kesabaran, Ya Tuhan. Ya Tuhaannn.. mohon berikan ampunan pada ummatMu. Berikan kehancuran pada dia, Tuhan, agar dia merasakan sakit yang jauh lebih sakit dari yang dirasakan Ibu dan aku..."

. . .

Pagi itu Indra bangun dengan perasaan yang buruk. Dia berpikir kalau kesedihannya semalam yang membuncah masih bersisa hingga kini. Setelah ibadah subuh, Indra dengan sandal jepitnya, keluar kamar kos dan mulai berjalan menyusuri jalanan sempit sebelum menembus jalanan yang lebih lebar.

Matahari belum juga muncul tapi jalanan sudah ramai lalu lalang orang berangkat kerja atau ke pasar. Udara yang harusnya bersih sejuk, dinodai asap kendaraan dan menyisakan jejak pembakaran berwarna putih.

Indra memang hanya bersekolah sampai tahun kedua di SMA'nya tapi di waktu pendidikannya yang singkat itu, dia sudah membaca banyak hal. Karena lingkungannya yang kecil, ada banyak hal yang memacu keingintahuannya.

Indra percaya suatu saat pengetahuan dan ilmunya itu akan memberi manfaat. Seperti saat dia mempelajari berbagai khasiat tanaman obat dan tanaman berkhasiat lain hanya untuk menghemat agar tidak usah membeli obat.

Pria yang kini berusia dua puluh dua tahun itu memutuskan kembali setelah perasaan hatinya membaik. Di jalan pulang, Indra membeli beberapa bahan masakan untuk hari ini.

. . .

Sejak bekerja di Kafe Javajaya, baru hari itu pembeli sedikit berkurang. Indra yang sudah dianggap bisa memakai mesin pembuat kopi sudah dipasrahi penuh untuk membuat pesanan minuman. Catatan kecil yang dia tempel untuk membedakan antar minuman, membantunya cepat menghafal.

Anya, pegawai wanita shift siang, menjelaskan beberapa hal tambahan sebelum jadwalnya berakhir.

"Kalau kembalian di meja tinggal sedikit, minta uang pas, ya. Kalau benar-benar darurat, baru pakai yang ada di laci ini."

Anya menunjukkan laci yang terkunci dan tidak kelihatan dari luar.

"Jangan ninggal kafe sendirian. Kalau mau poop, kunci aja dari dalam daripada ada barang ilang. Punya nomernya Pak Hendi kan? Kalo ada yang nggak ngerti, telpon aja."

"Lho, Pak Hendi nggak ikut jaga?" Indra merasa dihadapkan pada keadaan tidak terduga.

"Katanya ada urusan di luar jadi baru pulang sore. Kamu nggak dikabari?"

Indra melihat ke ponselnya, ada pesan yang belum terbaca. Isi pesan itu lebih kurang seperti yang dijelaskan Anya.

"Tenang, kalo sore gini nggak terlalu rame koq. Aku pulang dulu, ya.."

"Iya, nanti kalau ada apa-apa, aku telpon kamu atau Pak Hendi, Anya."

Indra meyakinkan diri untuk berpikiran positif. Dia sudah hafal semua menu dan cara membuat minuman. Untuk membersihkan meja akan dia lakukan saat pesanan pembeli sudah selesai. Dengan berhati-hati Indra memeriksa kelengkapan alat dan bahan berjualan agar tidak kelabakan nanti.

Seperti yang dikatakan Anya, kondisi kafe sore itu tidak seramai beberapa hari sebelumnya. Antara pembeli satu dan yang lain ada jeda sekitar sepuluh menit jadi ada cukup waktu baginya untuk menyelesaikan tiap pesanan tanpa ada antrian. Indra bahkan sempat bercakap-cakap dengan beberapa pembeli yang sudah berlangganan.

"Pak'nya yang biasanya mana, Mas?"

"Pak Hendi sedang ada urusan di luar."

"Lama balikny?"

"Saya kurang tahu," jawab Indra sambil pasang senyum bisnis.

Selain pelanggan ada juga orang yang menawarkan kredit atau dagangan mereka. Indra menolak dengan halus, bilang kalau bos sedang tidak di tempat. Indra tidak ada masalah dengan pelanggan, yang membuatnya bingung karena Pak Hendi tidak membalas pesannya saat ditanya kapan balik ke kafe ketika hari mulai gelap

"Iced cappucino ekstra sirup dan whip cream satu. Iced macchiato ekstra sirup, double whip cream dan float satu," ujar salah satu pembeli yang Indra mulai hafal wajahnya. Orang yang menanyakan tentang tempat laundry karena ART'nya berhenti.

"Pak Hendi'nya tumben ga kelihatan?"

"Masih ada urusan sebentar," Indra menjawab dengan senyum agak dipaksakan. Saat membuat minuman pun, jari-jarinya terasa dingin dan kaku. Meski begitu, dia menfokuskan tenaga dan pikirannya untuk menyelesaikan pesanan.

"Mas, ada teman atau kenalan yang mau jadi ART nggak? Buat bantu bersih-bersih rumah... ART yang terakhir berhenti mendadak soalnya orangtuanya sakit."

Pikiran Indra serasa konslet saat itu jadi dia langsung menarik lengan pria muda di depannya.

"Mas, sebenarnya saya mau minta tolong. Tolong bantu jagakan kafe, ya. Dari tadi saya mau kebelakang tapi nggak bisa. Sebentar saja, ya. Kalau ada yang beli, bilang saya kebelakang sebentar."

Indra langsung ngacir tanpa menunggu jawaban pria yang bengong tadi. Dalam hati dia takut kalau pria itu mengambil kesempatan dan berniat tidak baik, tapi selama ini sepertinya tidak ada masalah dan Pak Hendi lumayan akrab dengan dia. Dan yang terpenting adalah Indra bisa melepaskan hasratnya dengan lega.

Ketika akal pikirannya sudah kembali, ada sedikit rasa malu mewarnai wajah Indra.

"Maaf, ya, Mas, saya tinggal begitu aja, tadi," Indra yang balik setelah mencuci tangan, cengar cengir di belakang meja kasir.

"Iya, ga masalah. Saya juga belum bayar tadi," jawabnya tersenyum santai.

"Oh, iya," sahut Indra langsung menyelesaikan transaksi. "Totalnya tujuh puluh dua ribu."

Pemuda itu mengeluarkan seratus ribuan dan Indra memberi kembalian yang sesuai. Pemuda itu menyodorkan sesuatu.

"Ini kartu nama saya, kalau ada kenalan bisa hubungi kesitu."

"Iya, baik, terimakasih, Mas."

.

.

.

下一章